Oleh: Rika Jhon
“Tuan, tunggu!”
Albern langsung menghentikan langkahnya dan menatap suster yang memanggilnya.
“Ada apa?!” tanya Albern dengan ketus dan dingin.
“Maaf, Tuan. Anda dipanggil oleh Dokter yang sedang menangani istri Tuan,” ucap sang suster.
Suster tersebut mengira bahwa Albern adalah suami Harnum. Albern mengernyitkan kening mendengar ucapannya.
“Wanita itu bukan i —”
“Maaf, Tuan. Tolong segera menghadap Dokter karena ini darurat.”
Albern tidak melanjutkan ucapannya. Ia mengikuti suster itu dari belakang. Mereka langsung masuk ke dalam ruangan IGD.
“Dok, ini suami pasien.”
“Baik, Sus. Terima kasih.”
“Ada apa?!” tanya Albern dengan ketus.
“Maaf, Tuan. Kondisi istri Anda sangat kritis. Pasien telah kehilangan banyak darah, dan kondisi janin di dalam kandungannya sudah sangat kritis.”
“Lalu?”
“Istri Anda harus segera dioperasi untuk menyelamatkan nyawanya dan juga nyawa bayinya.”
“Aku tidak peduli dia akan mati bersama bayi di dalam kandungannya itu, itu bukan urusanku! Jadi, itu terserah padamu apa yang akan kau lakukan padanya!”
Deg!
Dokter Rehan merasa sangat syok mendengar ucapan Albern. Ia merasa heran dan aneh mengapa seorang suami begitu tega berkata sedemikian rupa pada istri dan anaknya yang sedang kritis dan sekarat? Itulah yang ada dalam benak sang dokter karena ia mengira bahwa Albern adalah suami Harnum.
Setelah mengatakan itu, Albern berlalu pergi dan langsung keluar dari ruangan IGD tersebut.
‘Seharusnya tadi aku bunuh saja wanita sialan itu. Dia menyusahkanku saja, huh! Tapi … jika aku membunuhnya, maka aku tidak akan bisa menyiksanya. Aahh … jika seperti ini, itu artinya wanita sialan itu harus tetap hidup!’ Albern membatin dan tiba-tiba membalikkan tubuh. Ia kembali masuk ke dalam ruangan IGD.
“Dok, lakukan yang terbaik untuknya!” ucap Albern dengan tegas.
Dokter Rehan merasa terkejut mendengar ucapan Albern yang tiba-tiba berubah pikiran. Namun, ia merasa senang karena setidaknya suami kejam itu masih memiliki hati nurani. Itulah yang ada di dalam benaknya.
“Baik, Tuan. Kami akan segera melakukan operasi caesar. Karena hanya itu jalan satu-satunya.”
“Hmm ….”
Albern hanya berdehem. Dokter Rehan pun langsung mempersiapkan perlengkapan untuk melakukan operasi caesar. Albern dimintai untuk menandatangani surat persetujuan operasi caesar tersebut karena ia dianggap sebagai suami Harnum.
Albern langsung membubuhkan tanda tangannya. Setelah itu ia langsung keluar dari ruangan tersebut. Sementara Dokter Rehan dan para timnya segera mempersiapkan perlengkapan operasi.
Tubuh Harnum langsung dibawa menuju ruangan operasi karena kondisinya dan kandungannya sudah sangat kritis, maka tim medis mempercepat proses operasinya, sedangkan Albern berdiri menatap kepergian Harnum yang dibawa ke ruangan operasi. Tanpa ia sadari kakinya melangkah mengikuti tim medis.
“Tuan, silakan ikut masuk untuk menemani operasi pada istri Anda.”
Albern tidak menjawab, tetapi ia mengikuti Dokter Rehan. Dia memperhatikan semua yang para dokter laki-laki itu lakukan dan mengernyitkan kening ketika melihat dokter yang akan melakukan operasi caesar itu adalah dokter laki-laki semua.
“Tunggu …!”
“Ya, Tuan. Ada apa?”
“Mengapa dokter yang akan melakukan operasi ini merupakan dokter laki-laki semua?”
Dokter Rehan dan dokter yang lainnya saling bertatapan. Mereka merasa terkejut karena baru kali ini diprotes oleh keluarga pasien.
“Ya, Tuan. Karena kami semua merupakan dokter pilihan untuk melakukan operasi caesar. Apalagi ini merupakan hal yang darurat. Jadi, kami tidak memiliki banyak waktu lagi.”
“Tidak! Aku tidak mengizinkan dokter laki-laki yang melakukan operasi pada wanita ini! Aku mengizinkan hanya dokter wanita saja yang menanganinya! Otak kalian memang mesum ingin memeriksa pasien wanita karena kalian bisa bebas melihat alat vitalnya, begitu?!”
Ucapan Albern tersebut tentu saja sangat membuat syok para dokter. Karena baru kali ini mereka dituduh seperti itu oleh orang lain.
“Maaf, Tuan. Tapi kami tim medis atau para dokter tidak ada berpikiran seperti itu. Karena kami sudah memiliki sumpah. Kami bukannya ingin mencari kesempatan dalam kesempitan. Kami melakukan tugas kami sesuai prosedur. Kami —”
“Cukup! Aku tidak mau mendengar pembelaan diri darimu, atau dari kalian semua! Aku hanya mengizinkan dokter wanita yang menanganinya. Jika tidak, lebih baik tidak usah dilakukan operasi!”
Dokter Rehan dan para dokter yang lainnya kembali dibuat syok oleh ucapan Albern. Akhirnya mereka mengalah demi keselamatan Harnum dan bayinya.
Dokter Rehan langsung menghubungi dokter wanita untuk menggantikan tugasnya dan tugas dokter laki-laki yang lainnya. Setelah itu mereka keluar dan diganti dengan para dokter wanita.
Para dokter wanita itu langsung bergegas melakukan operasi caesar pada Harnum, sedangkan Albern hanya berdiri di samping kepala Harnum sambil bersedekap dada. Sesekali matanya memperhatikan wajah Harnum, dan sesekali juga ia memperhatikan para dokter yang sedang sibuk melakukan operasi di bagian perut.
Tidak berapa lama kemudian, operasi caesar itu telah selesai. Seorang suster wanita yang menggendong bayi mungil langsung mendekati Dokter Helda, yaitu dokter yang bertugas penuh pada proses operasi tersebut.
“Dok, bayinya —”
Dokter Helda langsung melihat ke arah sang bayi perempuan mungil dan sangat cantik itu. Matanya berkaca-kaca menatap sang bayi.
“Tuan, bayi Anda meninggal dunia. Bayi Anda mengalami stillbirth, yaitu kematian pada janin di dalam kandungan yang usia kandungannya sudah lebih dari 37 minggu, dan ini terjadi pada bayi Anda. Karena istri Anda mengalami pendarahan hebat, dan istri Anda mengalami kontraksi yang lama, tetapi tidak segera dilakukan tindakan medis.”
Dokter Helda menghela napas sejenak, kemudian kembali melanjutkan ucapannya. “Sehingga pendarahan berat yang terjadi di trimester akhir mengakibatkan janin mati dalam kandungan. Itu semua terjadi karena plasenta sudah mulai terpisah atau meluruh dari rahim sebelum memasuki masa persalinan. Kondisi ini disebut abrupsio plasenta atau placental abruption.”
Albern bergeming. Matanya hanya menatap pada bayi mungil tersebut yang tidak bergerak sedikitpun juga. Tiba-tiba matanya mengembun. Ia memejamkan mata dan menarik napas yang terasa sesak.
“Lakukan yang terbaik pada wanita ini dan bayinya. Aku serahkan semuanya padamu, Dok! Nanti ada orang suruhanku yang akan ke sini untuk mengurus semuanya karena aku akan pergi dalam beberapa waktu.”
Setelah mengatakan itu Albern pun berlalu pergi meninggalkan ruangan operasi. Harnum yang masih tidak sadarkan diri itu belum mengetahui apa yang telah terjadi pada bayinya.
‘Baguslah jika bayinya mati, untuk menggantikan nyawa keponakanku!’