Oleh: Yuan_bee
“Hentikan! Letakkan pisau itu!” seru Revan dari dekat pintu.
Revan berjalan lambat menuju ke pria itu dengan sikap arogan, sebenarnya ada rasa ketakutan pada dirinya. Namun, sengaja dia sembunyikan demi menjadi pahlawan di hati Nanda. Sebenarnya dia melakukannya pura-pura untuk menguji pria itu.
“Jangan campuri urusanku dengan dia!” teriak pria itu.
“Kamu jangan macam-macam ya, kalau kamu tidak membawa senjata tajam, pasti aku tidak akan bertindak!” bentak Revan, “kulihat kau mengeluarkan pisau tajam, aku tidak membiarkan hal itu terjadi. Dia perempuan tak berdosa yang tidak boleh kau bunuh!”
“Kamu siapanya Nanda, kok berani melawanku, Hah?!”
“Aku? Tak perlu kau tahu aku siapa?! Di kampus ini tidak boleh membawa senjata tajam!”
“Maksudmu, pisau ini?!”
“Iya, cepat buang pisau itu! Atau kau akan ….”
“Kau ingin aku membuangnya?! Kenapa?!”
“Aku tidak ingin ada pertumpahan darah. Apalagi sempat ada pembunuhan di tempat ini!”
“Ini hanya pisau mainan yang tumpul yang kubuat jadi gantungan kunci,” ucapnya sambil memainkan pisau itu di lengannya. Memang, pisau itu tak mampu menggores lengannya, “kau mau mencobanya?”
Revan merasa dibodohi oleh dia. Bisa-bisanya dia menipu Revan mentah-mentah. Revan pun malu dan meninggalkan mereka berdua dengan sedikit menutup mukanya. Sementara itu, pria tadi menatap Revan dengan ekspresi meledek.
“Sekarang kita putus!” seru Nanda.
Revan yang mendengarnya pun seketika tersentak. Ucapan dan suaranya mengingatkan saat terakhir kali dia bertemu dengan mantan kekasihnya. Saat itu, dia pernah putus hubungan dengan kekasihnya, memaksanya berpisah dengan perasaan hati yang sedih
“Ya sudah, kalau mau putus, ya putus aja! Jadi, pria itu gebetanmu, hah?!”
“Kalau iya memangnya kenapa? Dia itu lebih baik darimu yang kurang peka dalam menjalin hubungan.
Aku lebih memilih dia dari pada kamu!” hujat Nanda.
Revan kaget setelah mendengarnya, bagaimana bisa dia mengatakan hal seperti itu? Padahal Revan baru saja mengenal dia dan tujuannya untuk bertanggung jawab atas perilakunya yang telah menghancurkan tugas kuliahnya.
“Revan, ayo kita pergi!” seru Nanda yang tiba-tiba menggandeng tangan Revan, lalu keluar dari ruangan itu. Tangan Revan ditarik kuat sehingga dia hanya bisa pasrah, lalu mengikuti ke mana dia pergi.
“Dengar ya! Aku juga sudah punya wanita yang lebih baik darimu!” ucap pria tadi yang terdengar dari kejauhan. Mereka berdua tidak menggubrisnya lagi dan langsung meninggalkan pria tersebut.
“Apa-apaan ini?” tanya Revan kepada Nanda yang sudah keluar dari ruangan fakultas tadi.
“Kamu jangan baper ya, tadi cuma akting saja agar dia marah. Mana mau aku jadi gebetanmu!”
“Aku pun ga mau! Apalagi kamu orangnya emosian!” ledek Revan yang membuatnya menggerutu. Dia mencubit pinggang Revan, hingga seketika Revan menjerit pelan karena sakit.
“Aduh! Beraninya main cubit. Sini aku balas cubitanmu!” suruh Revan. Namun, saat Revan mencoba membalas cubitannya, Nanda mengepalkan tangannya dan matanya melotot, membuatnya mengurungkan niatnya karena takut akan diancam pidana, karena Nanda di fakultas hukum.
“Berani kamu sama aku? Akan kupenjarakan nanti!”
“Maaf, tadi aku cuma bercanda, kok.”
“Makanya, jangan berani sama aku. Ayo pergi! Katanya mau nepati janjimu!”
“Lantas, kita harus pergi ke mana?”
“Antar aku ke warnet dulu, barangkali data backup-nya masih ada.”
“It’s okay.”
Sesampainya di tempat itu, Nanda bertanya kepada admin warnet tentang data tugas yang dia kerjakan sebelumnya.
Akan tetapi, jawaban dari admin mengatakan kalau data itu sudah hilang otomatis setelah komputer dimatikan.
Hal itu membuat pikiran Nanda tak karuan, apalagi tugas itu harus ia kumpulkan besok.
“Ini semua gara-gara kamu sih, main tabrak aja! Jadinya tugas yang aku kerjakan rusak!”
“Aku kan udah bilang, aku tidak sengaja menabrakmu.”
Pada akhirnya, Nanda menyuruh Revan untuk mengantarnya pulang ke rumahnya. Revan harus bertanggung jawab mengetik ulang tugas milik Nanda.
Sesampainya di rumah Nanda, dia langsung disuguhi laptop dan kertas yang banyak oret-oretan untuk diketik kembali. Revan dengan berat hati melakukannya daripada disentil oleh Nanda.
Siang berganti sore, Revan sebenarnya sudah lelah dengan sikap Nanda yang suka memerintah, hingga dia melupakan janji kepada Amira yang dia katakan beberapa waktu lalu untuk bergabung ke kelompoknya.
Di tempat lain, Amira sudah menunggu Revan dari tadi. Dia terus-menerus melihat ke arlojinya.
“Ke mana pemuda bodoh itu? Katanya jam segini akan datang?” ucapnya bermonolog. Dia kembali melihat ke arlojinya, lalu menggelengkan kepalanya.
Beberapa saat kemudian, Revan selesai melakukan tugasnya. Napasnya sudah lega, karena dia merasa sudah berhasil melalui rintangan yang sulit.
“Maaf, Nanda, aku harus segera pergi karena sudah janjian dengan seseorang.”
“Janjian dengan siapa?”
“Dengan temanku.”
“Baik, sana pergi!” usirnya. Sebenarnya Nanda mulai memendam rasa kepada Revan. Dia menyukai Revan karena dia adalah pria yang mau bertanggung jawab. Namun, dia belum mau mengungkapkan perasaannya, karena harus menunggu Revan duluan.
‘Cowok itu meskipun lugu, tapi kok mau bertanggung jawab ya? Apa karena takut dengan ancamanku?’ gumam Nanda dalam hati. Dia melihat Revan yang berjalan semakin menjauh.
Revan dengan cepat menuju ke tempat yang dikatakan oleh Amira. Cukup lamanya dia berjalan, sampailah di tempat yang dijanjikan.
“Kamu sudah telat lima belas menit,” ucap Amira sambil kembali melihat arlojinya.
“Maaf, aku baru saja mengerjakan tugas.”
“Ayo, ikut aku!” suruh Amira.
“Jalan kaki?”
“Iya lah. Masa ngesot. Tempatnya ga jauh, kok.”
Sekian lamanya berjalan, pada akhirnya mereka berdua sampai di tempat yang dimaksud. Meskipun Revan tinggal di kota cukup lama, tapi dia baru saja tahu, ada tempat untuk berlatih bela diri.
“Kata kamu tidak jauh, rupanya lokasinya di sini,” ujar Revan
“Kenapa? Kamu lelah? Itu salah satu awal latihan fisik.”
Revan pun mengernyit tanpa sepengetahuan Amira, lalu masuk ke tempat tersebut, rupanya adalah sebuah padepokan kecil, di mana tempat itu untuk berlatih bela diri dan semacamnya.
“Ini tempat kelompokmu?”
“Iya, tapi bukan kelompok biasa, kamu akan dilatih untuk bela diri dan juga melawan makhluk gaib. Tidak hanya itu saja, kalau ilmu kamu sudah level tinggi, kamu bisa mengobati penyakit yang di sebabkan karena gangguan mistis,” jelas Amira.
Amira menuntun Revan menuju ke suatu tempat sambil melihat-lihat tempat itu.
Dia takjub dengan bangunan itu, dengan kayu jati yang diukir sedemikian rupa seperti kerajaan Majapahit.
“Kenapa tempat ini sepi yah? Harusnya ada orang yang sedang berlatih bela diri,” ujar Revan heran.
“Ini masih setengah empat sore. Latihan dimulai tepat pukul empat,” jawab Amira.
“Lho, kata kamu, aku sudah telat setengah jam?”
Amira tidak menjawab pertanyaan dari Revan, dia terus menerus berjalan sambil menuntun Revan, hingga pada akhirnya sampai di suatu tempat ….