Oleh: Yuan_bee
Di saat mereka saling berpelukan satu sama lain, ada suara ketukan pintu. Suara ketukan itu masih berlanjut, membuat mereka berdua terusik.
“Siapa ya?” tanya Revan dari dalam kamar.
Revan dan Putri saling memandang, padahal mereka berdua akan melakukan ritual malam seperti biasanya. Hasratnya sudah menggebu karena ingin bermain dengan Putri.
“Mengganggu saja!” umpat Revan kesal.
“Revan, buka pintunya, plis!” ucap seseorang dari luar kamar sambil menggedor-gedor pintu.
“Putri, sekarang kamu sembunyi ya. Situasi tidak aman!” suruh Revan.
“Tapi kan, kita belum melakukan …,” ujar Putri belum selesai bicara.
“Kita lanjutkan nanti kalau sudah aman, oke?”
Revan mencium kening Putri dan menyuruhnya cepat-cepat bersembunyi, atau segera menghilang saja agar aman.
Sementara itu, Revan buru-buru memakai kaosnya, tapi lupa untuk menata selimutnya yang masih berantakan.
Pintu pun dibuka oleh Revan, sosok orang yang dia kenal terlihat di hadapannya.
“Ada apa?” tanya Revan, rupanya Amira yang berada di depan pintu. Dengan cepat, dia masuk ke kamar Revan. Dia mencari-cari sesuatu yang Revan tidak mengerti. Revan mengerutkan keningnya melihat tingkah laku Amira.
“Lama sekali kau buka pintu, dasar jomblo jelek,” ledek Amira.
Revan tidak menjawabnya, dia hanya menaikkan alisnya saja setelah mendengar ucapan Amira.
‘Kuharap Putri tidak muncul,’ batin Revan dalam hatinya.
Setelah memeriksa semuanya, Amira memasang wajah curiga kepada Revan. Sementara itu, Revan pun takut, apabila rahasianya diketahui oleh Amira.
“Tadi aku mendengar suara perempuan di kamarmu, siapa dia?”
Jantung Revan berdegup kencang. Darahnya mengalir deras melalui nadi. Sementara keringat dinginnya pun mulai mengucur di wajahnya. ‘Apakah Amira mendengar suara Putri?’ batin Revan dalam hatinya.
“Perempuan siapa? Tidak ada perempuan di kamarku?” dalih Revan.
“Pendengaranku pasti tidaklah salah, kamu sembunyikan perempuan itu di mana?” sangkal Amira sambil memeriksa kolong tempat tidur Revan.
“Tadi aku ngobrol dengan perempuan lewat telepon, aku pakai loudspeaker,” ujar Revan beralasan.
“Aneh sekali kamu, menelepon seseorang pakai loudspeaker, Coba lihat log panggilannya!”
“Udah aku hapus.”
“Kenapa kamu hapus? Kamu order wanita panggilan?”
“I-I-I-Iya, dia wanita panggilan.” Revan terpaksa berbohong untuk melindungi Putri dari Amira yang selalu menguntitnya.
Amira masih mencari sesuatu di dalam kamar Revan, karena tidak mempercayai alasan Revan tadi. Hingga pandangannya tertuju pada lemari pakaian Revan.
Amira tidak menemukan apa pun di dalamnya. Hingga dia kejatuhan celana dalam Revan yang diletakkan di bagian atas lemari. Celana dalam itu jatuh tepat di wajah Amira yang saat itu berada di bawahnya.
Amira memasang wajah jelek. Sementara itu, Revan ingin tertawa tapi takut apabila dimarahi olehnya, dia berusaha menahan ketawanya sampai menunggu Amira keluar dari kamarnya.
“Tidak ada apa-apa kan?”
“Iya. Tak kusangka kau memiliki kebiasaan buruk dalam bermain wanita,” kata Amira sambil tersenyum cabul.
“Begitulah aku …,” celetuk Revan.
“Baiklah, aku akan kembali. Ternyata tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Selamat malam.”
“Malam juga.”
Pada akhirnya, Revan mengembuskan napas lega karena Amira sudah pergi dari kamarnya.
Revan dengan segera menutup pintu, lalu menguncinya kembali. Karena tidak tahan dengan sesuatu yang lucu, dia pun tertawa lepas setelah mengingat kalau celana dalamnya jatuh tepat di wajah Amira.
“Dia judes sekali ya,” kata Putri yang tiba-tiba muncul dari sudut kamar.
“Benar, sikapnya memanglah dingin,” jawab Revan.
“Kau harus janji padaku, kau tidak boleh suka padanya!”
“Iya, aku janji. Lagian, mana mungkin aku suka pada perempuan yang sikapnya dingin,” tutur Revan, lalu mereka berdua saling melingkarkan jari kelingking masing-masing. Mereka pun saling berjanji akan terus bersama meskipun cinta beda alam.
Revan mencium Putri dan kembali melakukan ritual malamnya. Lampu utama di kamarnya dimatikan, hanya lampu remang-remang saja yang dinyalakan. Revan dan Putri saling menikmati sentuhan satu sama lain.
Setelah semakin lamanya, hubungan yang mereka jalani semakin dekat. Setiap sore hari, dia selalu berlatih agar dirinya bisa lebih kuat. Lalu, setiap malam dia selalu memberi nafkah batin kepada hantu cantik itu. Kedua pasangan itu bahagia dengan hubungan cinta mereka yang abnormal.
Lambat laun, mereka berdua saling membutuhkan satu sama lain dan bekerja sama dalam memecahkan masalah mereka masing-masing.
*Sementara, di sebuah kampung*
Malam itu, seorang wanita pemandu karaoke tiba-tiba muncul dari sebuah kegelapan. Dia berjalan menuju pos ojek sendirian.
“Ojek bang,” ucap seorang perempuan berpakaian minim yang berjalan mendekat ke arah tukang ojek yang sedang mangkal.
“Wah, rezeki nih,” ucap Joko lirih. Dia mengkal di pos ojek sendirian karena teman yang lain ada keperluan.
Joko yang punya sifat cabul itu pun menjilat bibirnya setelah melihat lekukan tubuh wanita itu. Pakaiannya yang terbuka membuat isi tubuhnya terlihat sebagian.
“Mau ke mana, Mbak?” tanya Joko.
“Ke Desa Suro Dlemok, Mas!” jawab wanita itu.
“Desa Suro Dlemok? Daerah mana ya?”
“Sebelah kampung Suropati, Mas.”
“Baik, pegangan yang erat ya, Mbak.”
“Iya, Mas.”
Joko sebenarnya curiga dengan tempat tujuan wanita itu. Dia pikir, mana ada Desa Suro Dlemok di daerah sana. Namun, karena malam itu dia butuh uang, dia pun bersedia mengantar wanita itu.
“Mbak tidak kedinginan, memakai pakaian yang seperti itu?” tanya Joko.
“Sudah biasa, Mas.”
“Memangnya kamu kerja di mana? Kok pulang malam-malam begini? Sendirian lagi?”
“Aku biasa mangkal di Cafe Terong, Mas.”
Joko merasa kalau wanita itu ada keanehan, karena tidak mungkin pulang saat tengah malam. Namun, dia coba memastikan wanita itu dengan memutar salah satu spionnya menuju wajahnya. Wanita itu pun tersenyum dan mengangguk sopan setelah mengetahui kalau dia dilihat oleh Joko.
‘Sepertinya dia memanglah manusia,’ gumam Joko dalam hati.
Joko kembali memastikan dengan menyentuh paha mulusnya dengan tangan kiri. Dia merasakan kalau sentuhan itu nyata. Memang benar, kalau dia itu manusia, bukan jelmaan dari sosok jin, pikirnya.
“Mas nakal deh.” Sontak, Joko menarik kembali tangannya karena sudah ketahuan menyentuhnya.
“Jangan mas, ntar suamiku di rumah marah.”
“Maaf, Mbak. Aku tidak sengaja,” dalih Joko. Wanita itu tidak marah setelah kaki bagian atasnya di elus-elus oleh Joko.
Semakin lama, Joko semakin merasa ada keanehan pada wanita itu, karena jalan yang dia lalui menjadi lebih sempit dari sebelumnya. Jalanan pun yang tadinya rata menjadi banyak lubang. Ada rasa hangat yang ia rasakan di punggungnya. Rupanya pada punggung Joko, ada gunung Fuji milik wanita tadi yang menempel. Entah kenapa, tiba-tiba wanita itu mendekat, mungkin saja takut dengan situasi jalanan yang sepi.
“Mbak, apakah jalan yang kamu tunjukkan itu benar?” tanya Joko.
“Benar dong, Mas. Jalan ini memang rusak. Aku kan tinggal di kampung depan itu.”
“Kenapa kamu pulang malam-malam? Tidakkah lebih baik pulang sore saja, sebelum hari mulai gelap.”
“Aku pulangnya tidak menentu, Mas. Kadang aku sempat lembur, sehingga mengharuskan untuk pulang malam. Lantas, kenapa Mas sendiri mangkal di pos ojek malam-malam?”
“Aku mangkalnya siang dan malam, Mbak. Namanya aja nyari rezeki.”
“Oh, gitu, Mas.”
Mereka berdua masih terus melanjutkan perjalanannya, saat melewati jalanan yang berlubang, tanpa sengaja kedua gunung wanita itu menyentuh punggung Joko lagi. Hingga dia merasakan sesuatu yang empuk yang tidak bisa ia jelaskan.
“Itu rumahku sudah mulai terlihat,” ujar wanita itu sambil mengacungkan jari telunjuknya.
“Rumah kamu bagus juga ya,” puji Joko.
“Begitulah, Mas. Hasil jerih payahku pulang malam.”
Setelah beberapa saat, wanita itu menyuruhnya berhenti pada suatu tempat ….