Oleh: RDbanjar
Â
“Alvano Alister? Maksudmu ini rumah Vano?” tanya Chalse yang sedikit membelalakkan kedua mataknya, karena perkataan yang dilontarkan oleh Arjun.
“Ya. Dan aku harap, kau tidak melakukan hal yang bisa membuat mood-nya menjadi jelek. Jika kau tidak ingin terjadi sesuatu pada dirimu.”
Mendengar peringatan Arjun, Chalse pun semakin was-was takut untuk bertemu dengan lelaki itu. Seolah ia tahu akan hal yang nanti terjadi jika dirinya merusak mood orang itu. Belum lagi saat ia tahu jika Vano tidaklah main-main saat melakukan aksinya. Seperti kejadian tempo hari, di mana dia menghabisi dua orang pria dewasa dengan sadisnya dalam hitungan menit saja. Bahkan sampai dirinya hampir menjadi korban.
Menoleh ke arah Nana yang berada di sampingnya, membuat rasa takutnya pun bertambah, sampai-sampai air keringatnya pun ikut keluar dari pelipis ubun-ubun. Bukan tanpa alasan ia seperti itu, di karena ia yang membawa Nana bersamanya untuk bertemu dengan orang itu. Chalse takut, jika Vano akan menyakiti adiknya jika ia ataupun Nana membuat kesalahan.
“Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Biarkan aku yang terluka, jangan adikku,” batinnya.
Menghela nafas panjang, Chalse pun menyendarkan punggungnya di jok mobil. Dan kembali ia melihat ke arah luar jendela mobil, memandang betapa besar dan mewahnya kediaman dari orang yang ingin ia temui.
Memejamkan matanya untuk menghilangkan rasa takut, tapi malah rasa takut itu semakin menjadi dan membuat pikirannya melayang entah ke mana. Hingga membuat dirinya berpikir yang tidak-tidak, terutama pada Nana. Apakah dia akan benar baik-baik saja di sana? Karena orang yang akan ia temui ini sangatlah berbahaya.
Tidak ingin ia mengambil pusing karena terlalu memikirkan hal tersebut, Chalse pun memutuskan untuk mendengarkan musik yang berada di handphonenya, sambil menggunakan earphone dan memasangnya di kedua telinganya. Setidaknya dengan begitu ia bisa sedikit tenang sekarang.
Saat tengah asik memperhatikan persekitaran dari dalam mobil, sebuah dering handphone pun berbunyi dan tenyata itu adalah milik Arjun. Dilihatnya sebentar siapa yang menelepon. Setelah tahu, ia pun segera mengangkatnya. Dan beberapa menit kemudian, ia pun memutuskan sambungan telepon tersebut.
Entah dengan siapa dia bicara dan apa yang mereka bahas Chalse tidak tahu dan tidak perduli. Karena yang di benaknya hanyalah satu, yaitu tidak ingin bertemu dengan Vano.
Chalse pun kembali melihat ke arah luar jendela, sembari menghela nafas panjang. Lelah rasanya hanya duduk di dalam mobil. Namun, itu lebih baik dari pada ia harus bertemu dengannya.
Tidak lama berselang, mobil yang dikendarai oleh Arjun pun berhenti. Tepat di sebuah parkiran mobil yang cukup luas. Bahkan lebih luas dari pada gedung sekolah.
“Turun,” beo Arjun yang sudah keluar dari mobil duluan. Chalse pun hanya menurut, sembari menggandeng tangan Nana agar tidak lepas dari pengawasannya.
Baru saja turun dari mobil, ia dan adiknya sudah terkesiap melihat banyak mobil mewah dan mahal yang terpakir di tempat itu. Dari yang klasik sampai yang super wah ada di sana semua. Tidak heran jika perkarangan untuk parkirnya itu sangat luas.
“Ikuti aku,” ucap Arjun yang membuat Chalse tersadar dari keterpakuannya memandang kagum tempat yang saat ini ia datangi.
“Kak, mobilnya banyak banget. Keren-keren lagi,” ujar Nana yang terus memperhatikan satu demi satu mobil itu. Dan sebagai jawabannya, Chalse hanya mengiyakannya saja.
“Kalian tunggu apa lagi? Ayo cepat, jika tidak mood-nya akan segera berubah.”
Mendengar itu, Chalse hanya bisa mengangguk pelan dan kemudian mengikutinya dari belakang.
Sembari menggandeng tangan Nana, ia sedikit melihat kiri dan kanan tempat yang setiap kali ia lewati. Takjub sudah pasti. Karena selama ini dirinya belum pernah melihat pemandangan yang seperti itu, di mana rumah yang seperti istana terpampang jelas di depan matanya.
“Luarnya aja seperti ini, apalagi kalau didalam sana nanti,” batinnya yang takjub.
Saat sedang asik memperhatikan sekitar rumah yang bak istana itu, tanpa sengaja atensinya melihat seseorang yang tengah berdiri dibdepan jendela. Dan saat ia perhatikan lagi, ternyata itu adalah Vano.
Segera raut wajah Chalse pun berubah menjadi sedikit pucat. Jantungnya yang semula tenang kini berdegup kencang. Tapi sebisa mungkin dirinya mencoba untuk tetap tenang, apa lagi ada Nana di sampingnya saat ini.
Chalse pun kembali menoleh ke arah Vano yang sudah pasti melihat ke arah tempatnya berada saat ini. Dan di saat itu juga, arah pandang merekapun bertemu. Dapat ia lihat kalau Vano sedikit tersenyum. Tapi bukan senyum manis atau hangat yang ia tunjukkan, melainkan senyum menyeringai yang sangat creepy. Dan setelah itu, ia pun pergi dari tempatnya membuat Chalse menelan susah payah salivanya. Entah apa maksud dari senyumannya, tapi yang pasti dirinya harus berjaga-jaga dan waspada padanya.
Tanpa terasa mereka pun sampai di depan pintu mansion keluarga Alister, yang sudah dibukakan oleh dua maid yang berada di sisi pintu. Lalu, seorang gadis remaja pun datang menghampiri.
“Kenapa kau begitu lama sekali, Kak? Aku sudah menunggumu dari tadi,” ucapnya dengan wajah sedikit cemberut. Membuat Chalse sedikit kebingungan dan menoleh ke semua sisi untuk memastikan, apakah perempuan itu tengah berbicara padanya atau bukan.
“Kenapa?” tanya nya lagi, yang membuat Chalse langsung tersenyum kikuk.
“Ah, tidak … aku hanya memastikan, apakah kamu berbicara padaku atau tidak.”
“Tentu saja aku berbicara padamu, Kak. Tidak mungkin dengan dia,” tunjuknya pada Arjun yang sedang bermain gawainya. Mendengar itu, Chalse hanya bisa tersenyum saja.
“Senyum Kakak sangat manis. Pantas saja kak Vano tertarik dengan Kakak,” ucap perempuan itu yang membuat Chalse sedikit terbelalak.
“Maksud kamu, apa?” tanya Chalse yang bingung dengan perkataan tadi.
Bukannya menjawab, perempuan itu malah tersenyum dan kemudian mengalihkan atensinya pada Nana.
“Hai,” sapanya yang dibalas oleh Nana.
“Nama kamu siapa?”
“Nana.”
“Nama yang lucu, seperti orangnya,” ujarnya sembari mencubit gemas pipi Nana.
Arjun yang sedari tadi diam pun tiba-tiba berdeham cukup keras, membuat atensi mereka langsung teralih padanya. Entah apa maksudnya, tapi yang pasti, dia seperti memberi kode pada gadis tersebut.
“Nana, kamu mau makan buah stroberi dan anggur yang langsung dipetik dari pohonnya, enggak?” tawar gadis itu. Dan sudah pasti Nana pun menerimanya. Chalse mencoba untuk menahannya, tapi gadis itu melarang.
“Kakak ingin bertemu dengan kak Vano, ‘kan?” tanyanya yang membuat Chalse terdiam seketika.
“Kalau iya, sebaiknya Nana bersamaku saja. Itu lebih baik, Kak. Dan untuk keamanannya, kau tidak perlu khawatir. Aku akan menjaganya,” sambungnya dengan tersenyum ramah.
Setelah itu, ia pun membawa Nana pergi. Hingga bayangan mereka menghilang di sebalik pintu.
“Kau tidak perlu takut, adikmu aman bersamanya,” ujar Arjun dari belakangnya. Tapi Chalse sama sekali tidak menanggapi perkataannya. Karena saat ini pikirannya sangat kalut.
“Sudahlah, tidak perlu terlalu kau pikirkan. Lebih baik sekarang kau temui Vano, karena dia sudah menunggumu,” ucapnya yang membalikkan badan hendak pergi.
“Kau mau ke mana?”
“Aku masih ada urusan. Para Maid yang akan mengantarmu sampai ke tempat dia berada. Dan …,” ucapnya yang menggantung, membuat Chalse jadi keheranan.
“Apa?”
“Jangan melakukan hal bodoh yang bisa membahayakan mu.”