Oleh: SANZ FY
Trisya monica melangkah memasuki gerbang sekolah. Sepi, sudah tidak ada siapapun di lingkungan sekolah itu. Ia tersenyum melihat pohon dimana ia selalu duduk menunggu mamanya, Ariana Dewi menjemput pulang sekolah.
Bangunan sekolah itu sudah sangat jauh berubah. 17 tahun yang lalu jika ia berjalan menuju ke arah kanan, ada ruang guru dimana wali kelasnya yang bernama Tania duduk menunggu mama setiap pulang sekolah, sekarang ruangan itu sudah berganti menjadi ruang pustaka. Dulu, tidak jarang akhirnya Tania mengantar Trisya pulang karena hingga sore, Ariana tak menjemputnya. Sering pula Tania menghabiskan waktunya di rumah menemani Trisya yang masih berusia 8 tahun hingga tertidur di pelukannya.
“Trisya…” sebuah panggilan membuyarkan lamunan.
Trisya menoleh.
“Renata..”
Perempuan yang dipanggil Renata itu langsung memeluknya.
“Kapan datang?” tanya Renata. “Kenapa tidak bilang? Aku kan bisa menjemputmu?”
“Kenapa kamu bisa disini?”
“Sudah 2 tahun aku mengajar di sekolah ini. Apa kamu lupa?”
“Oh ya. Maaf, aku lupa.”
“Awalnya terasa aneh, dulu bersekolah sekarang menjadi pengajar.”
Trisya tersenyum.
“Akhirnya kamu benar-benar menjadi guru, seperti bu Tania.”
“Ya, dia guru terbaik. Kamu kesini juga ingin mengenang beliau?”
Trisya mengangguk.
“Aku menangis berhari-hari saat bu Tania meninggal. Disitu pertama kali kita saling bicara.”
“Ya. Padahal sudah di kelas yang sama sejak pertama masuk sekolah, tapi kita tidak pernah bicara.”
“Aku sering mengajakmu bicara, tapi kamu tak pernah menjawabku.”
Handphone Trisya berdering. Trisya melihat siapa yang menelponnya.
“Siapa?” tanya Renata.
“Mama..” Trisya menerima telpon. “Ya, Ma..”
“Kamu dimana? Papa Richard menjemputmu tapi dia tak melihatmu. Ditelpon tidak kamu angkat.”
“Tidak usah menjemputku. Aku menginap di hotel.”
“Apa? Kamu sudah gila? Disini kamu punya rumah!”
“Itu bukan rumah kita, Ma.. itu rumah om Richard!”
“Om Richard membeli rumah itu untuk kita!”
“Nanti setelah aku menemukan kontrakan, aku akan menelpon mama.”
Trisya menutup telpon.
“Kamu menginap di hotel?”
“Ya.”
“Kenapa?”
“Tidak ingin tinggal seatap dengan orang lain.”
“Om Richard itu baik..”
“Nanti juga berubah. Aku mau balik ke hotel. Ingin istirahat. Besok harus mencari kontrakan.”
“Aku antar. Sudah makan?” tanya Renata.
Trisya menggeleng.
“Ayo, makan di restoran langgananku. Murah dan enak. Tapi kita naik motor ya? Aku belum mampu membeli mobil.”
Trisya tersenyum.
“Lama tak melihatmu, Trisya.. Kau semakin cantik,” puji Renata saat mereka sudah sama-sama menikmati menu makan siang.
“Kamu juga.”
“Bulan lalu baru bertemu dengan teman SMA kita, sepakat mengadakan reuni.”
“SMA?”
“Apa kamu juga lupa kalau kita satu SMA?”
“Maaf..”
“Setelah tamat SD kita sekolah di SMP yang berbeda. Lalu bertemu di SMA yang sama, hanya beda jurusan. Kamu IPA aku IPS.”
“Oh iya. Maaf, aku banyak lupa.”
Renata terdiam.
“Tidak. Aku yang lupa. Kamu hanya sekolah di SMA itu hingga semester pertama di kelas 11. Tiba-tiba kamu tak pernah masuk lagi. Aku dan Sandi berulang-ulang datang ke rumahmu. Sudah kosong. Tetanggamu bilang kamu dan mama pindah setelah om Lucas jatuh dari lantai 2. Sandi meraung-raung kehilanganmu. Dia bilang sudah tak ada lagi yang akan membelanya ketika dia dibully.”
“Apa kabarnya sekarang?”
“Tidak tahu. Sudah lebih 5 tahun dia menghilang.”
Trisya meneguk minumannya.
“Oya, besok kamu bisa menemaniku mencari kontrakan?”
“Di dekat rumahku ada rumah yang dikontrakkan. Lumayan besar dan tidak mahal. Hanya memang designnya masih mode jadul.”
“Tidak apa, yang penting bisa ditempati dengan nyaman.”
“Ok, besok sepulang mengajar aku jemput kamu ke hotel.”
“Tidak usah, aku besok akan berkeliling dulu melihat setiap sudut kota. Setelahnya aku akan menunggu di sekolah.”
“Tidak ke rumah Mama?”
“Tidak. Aku akan ajak mama bertemu di luar saja. Itupun juga jika dia mau datang”.
“Mamamu direpotkan mengurusi adikmu..”
“Salah sendiri. Sudah hampir kepala 5 kenapa masih punya balita?”
“Jangan begitu, Trisya.. Adikmu itu anugrah dari Tuhan. Meski dia terlahir kurang sempurna. Tapi adikmu yang berkebutuhan khusus itu adalah harta keluargamu.”
“Lebih tepatnya harta mama dan Om Richard.”
“Itu om Richard,” bisik Renata.
Seorang lelaki mengenakan kemeja berwarna putih berusia 44 tahun berjalan masuk ke restoran itu. Wajahnya sangat tampan didukung oleh tubuh yang atletis. Dia adalah kombespol. Richard Adrian, lelaki yang menikahi Ariana 6 tahun lalu.
“Om Richard,” panggil Renata.
“Kenapa memanggil dia?”
Richard menoleh.
“Renata. Trisya?”
Richard berjalan menghampiri. Renata segera mencium tangan Richard.
“Makan Om?”
“Ya, lanjut.. Om janji bertemu teman disini.”
“Sudah lama tak melihat Om. Terakhir waktu Rena bawa anak anak ke kantor polisi untuk belajar rambu lalu lintas, kita bertemu di pintu gerbang.”
Richard memandang Trisya.
“Kamu sudah sampai? Tadi Papa menjemputmu di bandara..”
“Tidak perlu!”
“Mama tidak sabar ingin melihatmu sejak kamu bilang akan pulang. Sudah sangat rindu”.
“Kan sudah punya anak baru, yang mungkin lebih patuh dibanding aku? Ngapain nunggu aku”.
“Trisya!” tegur Renata.
“Aku mau makan! Jangan merusak mood!”
“Maaf, om..” Renata merasa tidak enak.
“Tidak apa-apa, Ok kalian teruskan makan. Om dengan teman om,” pamit Richard.
“Oya. Mampirlah ke rumah untuk melihat mama, Trisya..”
Trisya tak menjawab.
Renata memandang Trisya.
“Kenapa begitu sih pada om Richard? Kamu tidak suka mama menikah lagi?”
“Menikah itu harusnya cukup sekali. Ok, menjadi 2 kali karena salah memilih lelaki di pernikahan pertama. Ternyata di pernikahan kedua masih salah pilih. Kok ya nggak kapok? Masih mencoba mengulangi lagi? Menurutmu apa? Dan memilih yang usianya lebih muda 5 tahun pula!”
“Kalau tidak bertemu om Richard, mungkin mama kamu tak akan hidup seperti ini. Om Richard membuat mama kamu merasa kalau hidup ini tak selalu mengecewakan.”
“Halah! Untuk merubah hidup tidak perlu harus menikah lagi dan lagi!”
“Hei, jangan begitu dengan mama kamu!”
“Aku mau pulang..” Trisya berdiri dan berjalan meninggalkan meja itu.
Renata menghela nafas. Sejak dulu mengenal Trisya sebagai sosok yang tak pernah akur dengan Ariana ibunya. Pernah saat SMA Renata menemani Trisya bermain sepuasnya di Mall, menghabiskan semua uang belanja satu bulan yang baru diberikan Ariana.
“Mall Sudah mau tutup, kamu tidak mau pulang?” tanya Renata.
“Ayo, uang juga sudah habis,” Trisya menjawab datar.
“Mama bisa marah jika besok kamu minta uang jajan lagi.”
“Biar saja, sudah biasa melihat dia marah.”
“Tak jelas bagaimana? Kamu menghabiskan uang jajan untuk satu bulan.”
“Dia tinggal minta sama om Lucas, suaminya yang tajir melintir itu.
“Tapi..”
“Renata? Tidak jadi mengantarku?” tanya Trisya membuyarkan lamunan Renata.
“Ya..” Renata segera berdiri.
Ia melihat ke arah Richard yang duduk bersama beberapa temannya.
“Om, duluan ya..” pamit Renata. “Mau mengantar Trisya”
“Oh iya, hati-hati. Trisya, jangan lupa telpon mama sesampai di hotel ya?”
Trisya tak menjawab, melangkah keluar disusul Renata.
“Siapa itu?” Tanya teman Richard.
“Putri mamanya Aldo,” jawab Richard.
“Cantik sekali anak tirimu. Sudah punya pacar belum.”
“Tidak pernah cerita,” Richard memungut sebuah gelang yang jatuh di lantai.
Ia memandang lelaki muda yang duduk di meja belakang.
“Ardi. Sepertinya gelang Trisya lepas. Coba segera susul dia dan Renata ke parkiran.”
“Siap, Dan.”
Lelaki itu bergegas menyusul keluar.
Renata dan Trisya sudah naik ke atas motoŕ ketika Ardi memanggil Renata.
“Ya, bang. Ada apa?” tanya Renata.
“Mungkin punya Trisya.”
Ia mengulurkan gelang itu. Trisya menatap wajah Ardi. Lelaki bernama Rifki Ardiansyah itu adalah salah satu penyidik kepercayaan Richard. Wajahnya tampan meski terlihat sedingin es, apalagi ditunjang tubuh tinggi dan atletis mungkin akan menjadi incaran para wanita yang melihatnya.
“Terimakasih,” Trisya menerima gelang itu dan menyimpannya di dalam tas.
“Yuk, bang..” pamit Renata.
“Itu siapa?” tanya Trisya setelah mereka di perjalanan.
“Anggotanya om Richard. Kenapa?”
“Tidak boleh bertanya?”
“Tampan kan? Tapi sayang dia terlalu cool. Aku rasa kecuali polwan dan wartawan tidak akan ada yang mau di dekatnya.”