Oleh: Lil Seven
Sambil menunggu sekretarisnya tersebut datang, Darren meminta Melissa untuk duduk santai di sofa, sementara dia mendapatkan telepon dari Rania sehingga agak menjauh dari Melissa yang juga sibuk dengan ponselnya.
Ketika keduanya sedang sibuk dengan ponsel masing-masing itulah, terdengar bel dari pintu depan dan seseorang yang masuk ke dalam rumah dengan marah-marah.
“Tuan muda, aku memang bekerja sebagai sekretarismu, tapi ini sudah di luar jam kerja dan kau memerintah untuk membeli semua ini? Kalau kau tak memberiku gaji lembur, aku tak akan mau melakukan hal ini lagi!”
Seorang pria muda yang usianya sedikit lebih banyak dari Melissa, berjalan mendekati mereka berdua.
Darren hanya tertawa pelan saat petugas minimarket datang bersama Rafael dengan membaw dua kardus besar yang ditaruh di dekat pria itu.
“Terima kasih, kau boleh pergi sekarang,” ucap Rafael sambil memberi uang lebih kepada petugas minimarket tersebut.
Setelah kepergiannya, Rafael kembali mengajukan protes kepada Darren.
“Ini sangat menyebalkan, Tuan Muda! Jangan lagi mengekploitasi pegawai seperti ini, tidak bagus!”
Rafael sang sekretaris, masih terus mengomel saat Darren membuka isi kardus itu untuk memastikan pesanannya benar.
Saat melihat banyaknya varian mie instan di dalam kardus, Darren tersenyum puas karena istrinya akan senang melihat ini.
“Tuan, Anda tidak mendengarkan saya!”
Darren menatap tenang kepada Rafael yang marah-marah tersebut lalu mengambil sesuatu dari sakunya.
“Minggu ini kamu berniat jalan-jalan dengan selingkuhanmu ke luar negeri dengan memakai alasan bisnis, bukan?” tanyanya dengan suara tenang.
Rafael hanya tertawa sumbang, lalu menjawab dengan bibir mencibir.
“Anda tahu sekali jadwal saya, Tuan Muda. Tidak, jangan katakan bahwa saya harus lembur lagi, ini sudah ketiga kalinya saya membatalkan janji kencan itu, bisa-bisa Jane akan membunuh saya kalau kali ini gagal lagi!”
Rafael menggeleng tegas tanda tak mau diperintahkan hal lain oleh Darren di jam libur kerja.
Kening pria muda itu berkerut seakan benar-benar mengantisipasi kalau Darren akan mengambil waktu liburannya lagi.
“Nih. Kau bisa menggunakannya untuk menyenangkan selingkuhannmu itu tanpa mengambil jatah gaji, sehingga istrimu tak akan tahu.”
Darren menyerahkan selembar cek yang diterima oleh Rafael dengan mata berbinar cerah.
“T-Tuan Muda? Anda serius? Sejak kapan bos yang terkenal pelit itu jadi dermawan seperti ini?” tanya Rafael sambil mencium kertas cek itu saat melihat nominalnya.
Darren hanya mengendikkan bahu sebagai jawaban.
“Apakah kau tak mau menerima kedermawananku?”
Buru-buru Rafael memasukkan cek tersebut ke saku kemejanya dan menggeleng-geleng.
“Astaga, kalau begitu kapan-kapan suruh aku melakukan pekerjaan ini lagi kalau bayarannya hal seperti ini. Omong-omong untuk apa semua mie instan ini, Tuan Muda? Bukankah Anda sangat anti dengan yang namanya sesuatu yang instan?”
Darren hanya kembali mengendikkan bahu dan beralih menatap Melissa yang duduk di sofa tak jauh darinya.
“Istriku,” panggilnya, melambaikan tangan dan meminta wanita itu mendekat.”
“Pilihlah mana mie instan yang kau ingin makan malam ini, aku tak tahu apa seleramu jadi meminta Rafael membeli semua varian rasa yang ada di minimarket terdekat, semoga dari semua rasa itu, ada yang menjadi seleramu.”
“Baik, Suamiku.”
Melissa yang sedang membungkuk di depan kardus besar berisi aneka mie instan, terlihat berbinar cerah saat menemukan mie goreng di sana.
Mendengar pemandangan tak biasa di depannya tersebut, Rafael menatap Darren dengan mulut menganga lebar.
“T-Tuan, apakah saya tak salah lihat? Bukankah dia … ehm, Istri Anda? Sejak kapan wanita itu mau makan makanan seperti ini?”
Dia menatap Melissa dengan kening berkerut, seakan-akan apa yang dilihatnya itu adalah sebuah mimpi.
“Apakah Anda mengenal saya?”
Pertanyaan dengan nada bingung yang dilontarkan Melissa, membuat Rafael tertawa keras, lalu memandang dirinya dengan tatapan mencemooh.
“Kau ini bicara apa, tentu saja aku kenal dirimu, kau adalah wanita yang akan dibuang oleh—”
“Rafe, pulang.”
Darren segera memotong ucapan Rafael dan mendorong punggung pria muda ke arah pintu keluar sebelum selesai berbicara dengan Melissa.
“Kau, cepat pulang sana,” ulang Darren saat melihat Rafael yang sepertinya masih ingin mengatakan sesuatu tentang diriku.
“T-Tuan, apakah kiamat sudah dekat? Sejak kapan Anda membela dia? Bukankah yang Anda lakukan saat menikahi dirinya adalah untuk menghancurkannya? Lalu apa ini, Tuan Muda? Anda bahkan menyuruh saya memborong semua mie instan demi dia?”
“Kamu tak perlu tahu hal itu.”
Jawaban tegas dan dingin dari Darren tak membuat sekretarisnya itu berhenti bertanya.
“Tunggu, kenapa seorang Alice yang biasanya anti makanan tak sehat, tiba-tiba ingin makan mie instan. Jangan-jangan … dia hamil? Apakah Anda sudah mengajak periksa ke dokter, Tuan Muda?”
Kening Darren berlipat mendengar pertanyaan dari sekretarisnya tersebut.
“Hamil? Apa maksudmu? Kami baru seminggu menikah,” sergah Darren.
“Tidak, tidak. Bukan dengan Anda, tapi dengan pria lain, Bastian misalnya.”
Ucapan dari nada serius Rafael tersebut, membuat rahang Darren mengeras saat dia menyebutkan nama Bastian.
Semua orang tahu bagaimana perasaan Alice kepada Bastian, meskipun mereka belum berpacaran tapi apa yang diucapkan Rafael tersebut sangat menggangu Darren.
Jika benar kalau saat menikah Alice ternyata tidak perawan, dia akan menuntut ke jalur hukum sebagai tuduhan penipuan!
Dia harus membawa istrinya tersebut ke rumah sakit besok untuk mengecek apakah dia hamil atau tidak.
“Kau tak perlu memikirkan hal yang bukan urusanmu, Rafe.”
Ucapan tegas Darren tersebut seperti ultimatum untuk Rafael yang masih penasaran, pria itu segera menutup mulut dan berganti peran menjadi posisi bawahan.
“B-baiklah. K-kalau begitu, saya izin pergi dulu, Tuan Muda. Jangan lupa besok jadwal anda masuk ke kantor.”
“Hmmm, ya.”
Darren hanya menjawab singkat, tanpa memberi tahu Rafael bahwa dia akan membawa Alice ke rumah sakit untuk memastikan dia tidak sedang hamil.
Kalau benar dia hamil dan itu buah cintanya dengan Bastian, lihat saja nasib buruk yang akan wanita itu terima, geram Darren dalam hati.
Sementara itu, Melissa yang tak tahu apa pun pembicaraan kedua pria tersebut, masih asyik menikmati melihat berbagai macam mie instan di depannya, dilema untuk memilih mie apa yang ingin dia santap terlebih dahulu.
“Suamiku, apakah kau ingin dimasakkan mie juga?”
Melissa mendongak dan menawari Darren untuk dimasakkan mie saat pria itu berjalan dari arah pintu masuk.
Darren yang melihat Melissa dan terbawa ucapan Rafael bahwa mungkin saja istrinya ini saat ini hamil anak Bastian, mengerutkan hidung dengan jijik.
“Lakukan sesukamu!”
Ucapan keras Darren tersebut membuat Melissa terheran-heran dengan sikapnya yang berubah-ubah.
Beberapa saat lalu dia sangat baik hati dengan membelikan semua makanan ini, tapi sekarang dia berubah lagi menjadi suami yang jahat.
Hal itu membuat Melissa hanya geleng-geleng kepala saat melihat suaminya berjalan terburu-buru naik ke atas, menuju kamar mereka.
“Simpan semua makanan ini di dapur,” ucap Melissa kepada pembantu rumah tersebut dan dia sendiri berjalan ke dapur dengan bersenandung kecil.
Mie instan adalah makanan terbaik!
***
Darren yang pagi ini sudah bersiap dengan pakaian kerjanya, memberi tahu Melissa sesuatu ketika mereka sarapan pagi bersama.
“Baik. Kalau akan boleh tahu, apa itu, Suamiku?”
Melissa bertanya dengan hati-hati, semenjak bertemu dengan Rafael semalam dan entah membicarakan apa, Darren terus menatap dirinya dengan ekspresi tak suka.
Melissa takut jika salah bicara maka akan semakin menambah kekesalan di hati Darren.
“Aku akan mengantarmu ke rumah sakit, biasa, pemeriksaan rutin,” jawab Darren dinyin sambil menyuap sarapannya.
Melissa menganggukkan kepala dengan patuh, tak ingin membicarakan apa pun lagi.
“Ah, begitu. Aku mengerti.”
Sementara itu, Darren mengawasi istrinya diam-diam, meneliti apakah dia terlihat hamil atau tidak.
Dia senang jika Alice hamil karena itu artinya kakej Darren akan memberikan hal warisan kepada dirinya, tapi … kalau hamilnya dengan pria lain, maka mungkin Darren tak akan kasihan untuk melenyapkan wanita jalang ini.
Selepas sarapan, keduanya masuk ke dalam mobil menuju rumah sakit dengan disopiri oleh Darren sendiri.
Di dalam mobil, Melissa tak banyak bicara, pikirannya tertuju pada black card di tas dan dia ingin mengatakan kepada Darren bahwa butuh berbelanja.
Melissa memikirkan hal itu dengan gelisah, kira-kira apakah Darren akan memperbolehkan dirinya berbelanja menggunakan kartu itu?
Dia ingin sedikit refreshing dan membeli beberapa kebutuhan, tapi takut mengatakannya kepada sang suami.
“Hm, mungkin setelah kita dari rumah sakit,” batin Melissa menghibur diri.
Di rumah besar nan mewah milik Darren dia tak kekurangan apa pun, tapi berbelanja di mall sekali-kali sepertinya tidak buruk.
Melissa dan Darren sampai di sebuah rumah sakit, untungnya bukan rumah sakit yang sama dengan Rania, tapi Melissa merasa aneh karena Darren membawanya periksa ke dokter kandungan.
“Kenapa kita ke sini, Suamiku? Katanya periksa kesehatan rutin?”
Darren hanya melirik dengan tatapan dingin dan menjawab acuh tak acuh.
“Kau sangat diperlukan untuk periksa di bagian ini karena tujuanku menikah dirimu adalah supaya kau bisa menghasilkan anak untukku, jadi yang pertama diperiksa adalah kesehatan rahimmu.”
Melissa mengangguk-angguk mendengar itu, sedangkan Darren berdehem satu kali karena telah berbohong dan membuat alasan yang mengada-ada seperti itu hanya untuk membuktikan bahwa Alice istrinya saat ini hamil atau tidak.
Melissa pun masuk ke ruangan dokter obgyn tersebut, sedang Darren menunggu di luar dengan jantung berdebar kencang.
Dia memang menyukai Alice, tapi kalau wanita itu diam-diam main belakang dengan pria lain, dia tak aja segan-segan membunuhnya.
Darren paling benci memakai bekas orang lain.