Oleh: Lil Seven
Darren terbangun karena suara alarm di ponselnya.
Bersungut-sungut, dia menjulurkan tangan untuk mengambil ponsel yang tak jauh darinya tersebut dan mematikan alarm.
Kepalanya terasa sangat pening, dia sepertinya minum banyak semalam, dia harus meminta pembantu untuk membuatkan sup anti pengar sebagai sarapan nanti.
Darren duduk seraya memegangi sebagian sisi kepalanya dengan telapak tangan.
Tangannya meraih segelas air putih di atas nakas lalu meminumnya sampai habis setengah.
Di mana ini?
Dengan mata sedikit menyipit, Darren memandang sekeliling
Darren baru sadar jika sekarang dia terjaga di kamarnya sendiri, padahal pria itu tak ingat kapan dia pulang semalam?
Apakah dia menyetir sambil mabuk? Sepertinya tidak. Itu tidak mungkin.
Darren mengarahkan kepalanya ke sisi samping tempat tidur, mendapati seorang perempuan berbaring memunggunginya.
Awalnya, Darren mengira bahwa itu Alice, istrinya. Namun, saat dia mengerjap beberapa kali untuk memastikan penglihatannya, kedua mata pria itu terbuka lebar.
“Rania?!”
“Hey! Bagaimana bisa kau ada di sini?! Di atas tempat tidurku?!”
Darren cepat-cepat melihat ke balik selimut dan merasa lega saat masih memakai kemeja dan celana, setidaknya, mungkin tak terjadi apa pun semalam antara dirinya dan sang kekasih.
Perempuan yang berbaring memunggungi Darren tersebut menggeliat dan berbalik menghadap ke arah Darren.
“Kenapa pagi-pagi ribut sekali, sih?!”
Wanita itu terlihat mengantuk dan akan tertidur lagi, tapi Darren buru-buru menyingkap selimutnya sehingga mata Rania terbuka.
“Kalau kamu di sini, di mana Alice?!”
Rania hanya mencibir seraya mengendikkan bahu.
“Mana aku tahu, toh yang berhak di sini aku, bukan? Bukan istri kontrak itu?” sahutnya acuh tak acuh.
“Kamu sudah tidak waras, hah?!”
Darren mengusap wajahnya dengan kasar dan memandang Rania dengan penuh kemarahan.
Bagaimana bisa dia membuat ulah seperti ini?! Kalau kakeknya mendengar kabar bahwa Darren membawa masuk perempuan lain setelah menikah, maka hak warisnya pasti akan dicabut saat itu juga!
“Kenapa marah-marah sih, Sayang? Ayo tidur lagi,” ucap Rania sambil berusaha memeluk pinggang Darren yang segera ditepis oleh pria tersebut.
“Cepat menyingkir dari sini! Kamu mau aku jadi gelandangan karena tak mendapat warisan, hah?!”
Rania bangun dan menggaruk kepalanya, dia menatap pacarnya tersebut dengan bibir cemberut.
Di mata Darren dia terlihat sangat jelek dan menyebalkan, Darren benar-benar tak habis pikir bagaimana bisa wanita ini terus menerus menyusahkan dirinya.
“Kalau kau berulah seperti ini, kenapa dulu menolak kunikahi? Tingkahmu ini benar-benar menyebalkan!”
Darren turun dari tempat tidurnya dan menyeret Rania ke kamar mandi.
“Cepat bersihkan tubuhmu dan hengkang dari rumah ini secepatnya!”
Darren berteriak, menahan amarah.
Rania hanya bersungut-sungut dan berjalan masuk ke kamar mandi.
Darren menyugar rambutnya ke belakang dengan kesal, bisa-bisanya semalam dia mabuk berat dan membiarkan Rania berulah seperti ini?
Sepertinya, Rania memang sudah merencanakan hal seperti ini sejak semalam, terbukti dari dirinya yang memaksa Darren menemani dirinya untuk minum setelah pulang kerja.
Darren mengambil ponsel untuk mengecek apakah dia sudah mengirimkan pesan kepada Alice dan meminta istrinya tersebut untuk tak usah menunggu kepulangannya, tapi saat melihat ternyata pesan itu belum sempat dia kirimkan karena terlalu sibuk meladeni Rania, Darren hanya bisa menepuk dahinya.
Darren keluar kamar dengan tergesa-gesa, mencari keberadaan Alice.
Bagaimana perasaannya saat ini, apakah dia marah?
Astaga. Perempuan itu pasti marah.
“Di mana Nyonya kalian, kenapa tidak sarapan?”
Darren mencari Alice di ruang makan karena ini adalah jam biasa dia sarapan pagi, tapi wanita itu ternyata tak ada di sana.
“E-hm, itu, Tuan. Nyonya bilang dia makan di kamar saja,” jawab salah satu pembantunya dengan takut-takut.
“Kamar? Kamar mana yang kau maksud?” sergah Darrren menahan marah saat ingat betapa lancangnya Rania tidur di kamar pengantin yang seharusnya ditempati Alice.
“Kamar tamu, Tuan.”
Mendengar itu, Darren seketika mengumpat.
“Sial!”
Pasti Rania yang telah menyuruh Alice itu tidur di sana, Darren sekarang benar-benar berpikir bahwa Rania adalah gangguan dalam kehidupannya.
“Kenapa dia sarapan di kamar, apakah dia tak mau bertemu aku?!”
Pembantu yang ditanyainya tersebut menunduk dan menjawab dengan gemetaran.
“K-katanya, Nyonya … Nyonya sedang sakit perut dan sedikit tak enak badan, Tuan.”
Darren menarik napas panjang dan bergegas menuju kamar tamu tempat Alice sekarang berada.
Begitu sampai di sana, Darren segera membuka pintu dan berteriak.
“Alice!”
Alice yang sedang sarapan pagi dengan ditunggu beberapa pembantu, mendongak dari sarapannya, terlihat kaget.
“S-suamiku? Apakah kau sudah bangun?”
Darren tak menyangka bahwa Istrinya tersebut akan menyapa selembut itu, seakan-akan tak terjadi apa pun di antara mereka.
Seakan-akan Darren tidak pernah membawa seorang wanita masuk dan menyakiti hatinya
Alice tampak segar pagi ini, dia seperti bunga mawar yang mekar di pagi hari, meski wajahnya terlihat agak pucat.
Darren berjalan cepat ke arahnya dan menyentuh kening sang istri.
“Kamu panas.”
“Iya, aku sedikit tidak enak badan. Apakah kau sudah sarapan, Suamiku?”
Alice bertanya dengan senyum lebar seperti pagi hari di pagi-pagi biasanya, membuat Darren benar-benar tak enak hati.
“Perutmu bagaimana? Masih sakit?”
Darren kini duduk di samping istrinya, sedang Melissa meminta para pembantu untuk menyingkirkan nampan dari dirinya.
“Aku sedikit kembung,” jawab Melissa malu-malu, Darren menatap dirinya dengan ekspresi bersalah.
“Apakah sudah diolesi minyak angin? Perlukah kupanggilkan dokter?”
Melissa buru-buru menggeleng.
“Tidak perlu, Sayang. Sakitku tak separah itu.”
Darren menghela napas panjang, memegang tangan Alice istrinya.
“Maafkan aku, semalam aku mabuk berat sehingga tak sadar dan membiarkan Rania tidur di tempatmu,” ucap Darren dengan sungguh-sungguh.
Alice menggeleng dan tersenyum lembut.
“Aku tidak apa-apa, Sayang. Apakah kau sudah sarapan?”
Melihat tatapan Alice yang sayu dan penuh perhatian, sesuatu di dalam diri Darren seperti bangkit.
Pria itu segera mengusir para pembantu keluar sehingga kini tinggal mereka berdua di kamar.
Dia naik ke atas ranjang dan duduk di samping Alice, membelai lembut leher mulus istrinya tersebut.
“Maafkan aku, apakah semalam kau menungguku, Sayang?”
Darrren menyentuh pipi istrinya tersebut sebagai ungkapan permintaan maaf.
“Aku sudah bermaksud mengirim pesan padamu, tapi pesan itu ternyata tak terkirim. Aku benar-benar minta maaf.”
Melissa balas menyentuh tangan Darren di pipinya dan tersenyum penuh pengertian.
Hatinya terasa menghangat mendengar ucapan Darren tersebut, dia ternyata tak serendah ucapan Rania semalam, buktinya Darren kini minta maaf padanya.
“Aku tidak apa-apa, Suamiku. Aku paham posisiku sebagai apa,” jawab Melissa berusaha menyingkirkan kekhawatiran di wajah Darren.
Namun, jawaban Melissa tersebut malah membuat Darren seperti tertohok, dia merasa semakin bersalah.
Dia tahu bahwa meski ini hanyalah sebuah hubungan penuh sandiwara, tidak seharusnya dia membawa perempuan lain masuk ke dalam rumah.
Darren mendekatkan wajahnya ke wajah Melissa, melayangkan sebuah ciuman lembut ke bibir merah muda istrinya tersebut sebagai bentuk permintaan maaf yang tulus.
Awalnya, ciuman itu memang diniatkan Darren sebagai ciuman permintaan maaf, tapi saat Alice istrinya membalas ciuman tersebut, Darren semakin tak bisa mengontrol gairah yang bangkit di pagi hari.
“Sayang ….”
Darren melayangkan kembali sebuah ciuman di bibir istrinya, kali ini dengan sebuah ciuman yang dalam dan penuh perasaan.
Dia membelai kepala belakang istrinya tersebut, sebelum kemudian membaringkan istrinya yang cantik itu ke atas tempat tidur dan mulai menindihnya.
“Kamu selalu pintar dalam membangkitkan gairah bercintaku, Alice.”
Melissa sedikit mengalami sensasi kesemutan yang aneh saat merasakan jemari besar milik Darren meraba paha bagian dalam, tanpa sadar mengeluarkan erangan pelan yang membuat Darren menyumpal mulut istrinya dengan bibirnya yang basah.
Erangan sang istri selalu membuat Darren bergairah, seakan sebagai dopping untuk nafsunya yang menggelora.
Darren membelai paha dalam istrinya dan berbisik dengan suara rendah, desah napasnya membuat Melissa menahan napas dengan sesuatu yang berdenyut di bawah sana.
“Istriku, apakah kau menginginkan sentuhanku dalam dirimu, menusuk sangat dalam dan mengirim dirimu ke puncak kenikmatan?” bisiknya dengan suara rendah yang membuat jantung Melissa berdebar sangat kencang.
Melissa memejamkan mata karena malu-malu, tapi sedetik kemudian dia menganggukkan kepala, mengakui bahwa sangat merindukan barang milik Darren mengisi tubuhnya dan membuat dirinya banjir keringat di pagi hari.
“Bagaimana, Sayang?”
Darren bertanya, kini dengan menusuk jari tengahnya pada lubang Melissa yang sudah basah.
“L-lakukan apa pun yang kamu mau, Sayang.”
Melissa, dengan menahan napas menjawab pertanyaan suaminya tersebut.
Darren tersenyum lebar mendengar jawaban istrinya yang sangat memuaskan dan mulai naik ke atas tubuh seksi Alice, sementara Melissa yang berada dalam tubuh Alice, membenamkan wajah di leher pria tampan itu, leher Darren harum dan terasa hangat.
saat Melissa melihat wajah Darren yang merah padam oleh gairah, sensasi seperti demam naik ke atas kepala wanita itu, keinginan untuk membuat pria yang telah mengecewakannya semalam ini lebih kacau, tiba-tiba membubung tinggi di dalam dirinya.
Melissa mulai menyelipkan tangan di bawah kemejanya, menyapu pinggang ramping milik Darren yang ditutupi otot-otot halus, Darren menarik napas panjang diperlakukan seperti itu oleh Melissa, keduanya kini semakin bergairah.
Dari telapak tangan, Melissa bisa merasakan perut Darren yang menegang seperti batu akibat sentuhan ringannya ini.
Melissa mendongak dan mendapati wajah Darren yang tegang oleh hasrat yang membakar dirinya, dia pun mengangkat kepala dan mencium sedikit di ujung bibir suaminya tersebut, Darren terlihat sedikit kaget sebelum kemudian balas memperdalam ciuman tersebut.
Penampilan Darren saat ini sangat memesona, tak ada hal terbaik selain melihat dirinya ketika dalam kondisi seperti ini, pria yang selalu membuat jantung Melissa berdetak kencang, meski pertemuan pertama mereka bisa dibilang tidak biasa.
“Apakah sudah tegang?”