Oleh: Muti Anjani
Bab 12. Dia Ayahku bukan?
“Siapa namamu?” tanya Sailendra, bos perusahaan ini.
Suaranya serak dan berat, akan tapi tetap berkharisma. Auranya menakutkan siapa saja yang berada di dekat nya. Tatapan matanya tajam saat menatap lawan bicara nya. Pantas jika bos besar itu disegani dan dihormati.
Aku tersenyum tipis saat pertanyaan ditujukan padaku, kemudian aku membenahi rambut panjangku ke belakang. Merapikan kemeja yang kusut dan liontin yang sengaja agar terlihat oleh Sailendra. Berharap, sasaran dan feeling ku tepat. Bukan maksud hati ingin memiliki latar belakang keluarga kaya raya, tapi memang pada dasarnya atasan ku memiliki nama yang sama.
Kemudian aku berdiri perlahan dan berbalik ke arahnya. Sekarang kami saling berhadapan tanpa penghalang apapun. Sengaja aku merapikan kalung kembali padahal itu sangat tidak perlu. Tujuanku agar Sailendra melihat nya dengan lebih jelas.
“Arzia. Namaku Arzia.”
Aku menjawab singkat sambil memperhatikan perubahan raut wajahnya. Bos besarku itu terlihat mengerutkan kening, tapi sepasang matanya tidak juga menatapku. Aku bisa merasakan, jika Sailendra mungkin mengenal kalung liontin yang sedang kupamerkan. Buktinya pandangan matanya yang tajam itu hanya menatap liontinku.
Berbeda dengan Elfayed yang mungkin menganggapku menggoda atasan. Dan dua pengawas lainnya mungkin juga berpikiran sama. Ah, apalagi dua wanita jahanam itu. Pasti mereka akan mengobral gosip yang di lebih-lebihkan.
“Tidak sopan! Rudi, seret dia keluar!”
Elfayed yang sok berkuasa dan bijak itu mengusirku. Memang aku terlihat tidak sopan dari mananya? Aku menjawab saat ditanya, aku juga tidak meninggikan suara. Aku juga tidak sedang merayu bos besar dengan membuka aurat. Aku hanya ingin menunjukkan kalung di leherku untuk membuktikan sesuatu. Masalah hormat, aku sudah meyakini bukan tanggung jawabku lagi karena aku bukan karyawan perusahaan itu setelah dipecat.
Pengawas yang bernama Rudi itu menarik lenganku dengan kuat sampai jalanku terseok-seok. Kasar dan tidak pandang bulu, oleh sebab itu dia menjadi kepercayaan Elfayed. Sedangkan pengawas ditimku hanya dapat menunduk takut. Aku benar-benar diseret keluar olehnya seperti pengemis. Tatapan mataku tak teralihkan, aku hanya menatap Sailendra dan berharap dugaanku benar tentang nya.
Aku mulai resah, karena tinggal beberapa langkah lagi mencapai pintu tapi Sailendra tak juga mencegahnya. Sementara dua wanita jahanam itu tersenyum sinis melihat ke arahku yang sedang di seret paksa. Mungkin saat ini mereka merasa telah menang.
Apa aku sudah salah sasaran? Mungkinkah bukan Sailendra, bosku? Sailendra lain yang entah dimana rimbanya. Aku pasrah, mungkin suatu saat nanti jodoh akan mempertemukan aku pada orang tua kandungku.
“Tu-tunggu!”
Tepat saat aku sudah berada diambang pintu dengan putus asa, suara Sailendra menghentikan langkahku dan Rudi. Aku segera berbalik, menatap Sailendra yang berjalan mendekatiku. Mimik wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. Aku bisa melihat nya dengan jelas, di pelupuk matanya ada sedikit genangan air mata.
Mungkinkah benar jika Sailendra itu ayahku? Jika iya, kesempatan untuk membalas dendam pada mereka yang menyakitiku akan sangat mudah. Tapi, aku harus bahagia atau bagaimana? Andai pria ini ayahku, kenapa tega membiarkanku yang masih bayi diluar dalam keadaan hujan pula. Padahal dia kaya raya. Apa aku ini anak yang tidak diinginkan? Sejenak aku menjadi ragu dengan keputusanku untuk menemukan orang tua kandungku.
“Dari mana kamu dapat kalung itu?” tanyanya dengan suara lembut dan nada yang sangat rendah. Jari telunjuknya menunjuk tepat ke liontin kalungku.
“Ini, ini mi… “
Mendadak Elfayed mendahului Sailendra dan menarik kalung yang sedang melingkar di leherku. Aku yang belum siap hanya terkejut, saat kalungku sudah berpindah tangan.
Tanpa bertanya dan minta izin terlebih dahulu dia merebut barang orang lain. Mungkin dulu aku yang buta karena cinta, tidak bisa melihat warna asli Elfayed selama ini. Bodohnya aku!
“Kamu pasti mencuri! Orang miskin seperti kamu mana punya kalung mahal seperti ini.” Sambil mengangkat tinggi kalung digenggaman tangan nya.
Sumpah Demi apapun, aku sangat membenci Elfayed. Bisa-bisanya dia merendahkanku setelah penghinaan dimalam itu. Bukannya iba dan merasa bersalah karena mencampakkan aku, justru pria itu menunjukkan sikap tak waras hari ini.
Tidak, aku bukan Zia yang polos dan lemah lembut seperti sebelumnya. Aku harus menghadapi dengan berani jika memang tidak bersalah.
Aku mengepalkan kedua tangan, tanpa hitungan detik segera kulayangkan bogem mentah versi Arzia.
Buggh!
Aku meninju wajahnya tepat dibagian hidung sampai kemerahan. Pria itu kesakitan, dari lubang hidung keluar cairan merah yang membuat nya lengah hingga kesempatan datang padaku untuk merebut kembali apa yang menjadi milikku.
Aku tidak peduli dianggap wanita bar-bar atau apapun sebutan nya. Aku hanya tidak rela ditindas terus menerus. Aku akan melawan siapapun yang menyakitiku.
“Zia, jangan membuat keributan! Kendalikan dirimu, ya!” Pengawasku memang berhati baik, dia selalu tegas dan bijaksana. Jika salah maka akan menegur dengan sopan, sebab itu aku betah bekerja dibawah kepemimpinan nya.
Pengawasku menuntunku keluar, tidak seperti Rudi yang kasar. Tapi aku berhenti tepat didepan pintu, aku merasa seperti ada sesuatu yang masih mengganjal dihatiku. Aku belum menemukan jawaban yang benar, dia ayahku atau bukan?
Aku berbalik dan menunjukkan kalungku yang saat ini berada di genggaman tangan dengan liontin yang menjuntai ke bawah.
“Ini milikku! Milikku sejak bayi! Kalung ini sudah ada di leherku saat aku ditemukan. Aku memang hidup miskin, tapi aku sangat bersyukur memiliki orang tua yang menyayangiku hingga akhir hayat nya. Meskipun… “
Aku menjeda ucapan ku, karena emosi menggelegak sampai ke tenggorokan. Rasanya aku ingin menangis mengingat pengorbanan dan kasih sayang mereka yang belum sempat aku balas. Beberapa detik aku mencoba menenangkan diri, lalu kulihat dalam-dalam Sailendra dengan penuh harapan. Aku semakin melangkah mendekat hingga jarak kami selisih dua langkah.
“Meskipun aku hanya anak pungut me…”
Setitik air mata menetes di pipiku, sungguh aku tidak sanggup meneruskan kalimat berikutnya. Aku memilih pergi untuk meluapkan kesedihan dihati.
Aku berlari sekencang mungkin sambil menangis, meninggalkan perusahaan yang sudah beberapa tahun memberiku kenangan.
Tak tahu kemana tujuan, aku hanya berhenti setelah lelah berlari. Aku duduk di bangku sebuah taman yang jika kulihat ini masih dekat dengan perusahaan. Ah, biarlah! Aku hanya butuh kesunyian untuk menenangkan diri.
Lama aku merenungi nasib badan yang selalu tidak beruntung. Ditelantarkan saat baru lahir, ibu meninggal karena aku, jadi janda dalam hitungan jam. Sekarang, dipecat dan jadi pengangguran. Mana tempat tinggal aja masih numpang.
Aku terhanyut dalam lamunan panjang yang tidak berujung, mendadak pundakku terasa disentuh oleh seseorang.
“Mbak.”
Lamunanku buyar seketika, berganti dengan jantung yang berdegup kencang. Aku berdiri dan membalik badan.
“Siapa kamu?!”