Oleh: Muti Anjani
Bab 14. Bertemu Kembaran.
Aku duduk dengan gelisah, menatap kejalan raya saat kendaraan lainnya disalip satu per satu. Takut merasuki setiap celah hati, mencoba mencari ketenangan di tengah hiruk pikuk kota.
“Tenang, kamu hanya perlu ikut saya,” bisiknya dengan suara yang mencoba menenangkan, namun justru menambah ketakutan. Aku ingin meronta, ingin mencoba melepaskan diri, tapi bagaimana caranya? Haruskah aku melompat dari mobil?
Dalam perjalanan, aku terus bertanya-tanya kenapa ia membawaku dengan cara seperti ini. Ke rumah sakit jiwa? Yang benar saja!
Beberapa saat kemudian, mobil itu berhenti di depan sebuah bangunan besar dengan papan nama ‘Rumah Sakit Jiwa’. Jantungku semakin berdebar, mataku membelalak tak percaya. Pria asing ini benar-benar membawaku kesini.
Hallo! Apa pria ini bermaksud memasukkan aku ke rumah sakit istimewa ini? Aku cuma menangis untuk mengurangi kesedihan ku saat di taman, bukan berarti aku sudah tidak waras. Aku juga tidak tahu kenapa tiba-tiba seseorang ingin menculik ku dan membius ku sampai pingsan. Tapi bukan berarti aku ini orang gila kan?
“Apa maksudmu membawaku ke sini?” tanyaku dengan suara gemetar. Aku menatap pria itu yang seolah sedang mencari keberadaan seseorang.
Pria ini terus saja menggandeng tanganku berjalan menyusuri rumah sakit yang luas itu. Berbelok kanan dan kiri mengikuti lorong.
“Seseorang perlu bantuan Mbak, kita di sini untuk itu,” jawabnya dengan nada yang datar, seolah itu adalah hal yang wajar. Minta bantuan bukan begini caranya, menakutiku setengah mati. Huuuh!
Sampai di suatu taman belakang rumah sakit, pria ini baru mau melepaskan aku. Aku dipersilahkan duduk dan menunggu. Entah bantuan seperti apa yang dimaksud pria ini. Sedangkan aku sendiri tidak pernah bertemu sebelum nya.
Aku masih terpaku di kursi, ketakutan masih menyelimuti seluruh pikiran. Apa yang terjadi? Mengapa aku harus berurusan dengan orang gila? Apa yang telah kulakukan? Hanya menangis doang kan. Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikiranku saat ini.
“Selamat sore, Tuan.”
Aku mengalihkan pandangan ke sumber suara. Tapi pandangan ku terhalang oleh punggung lebar pria yang belum diketahui namanya.
Seperti yang dikatakan sebelum nya, dia diperintahkan oleh atasan. Jadi, ini atasan pria asing itu.
“Hem.”
Aku penasaran, pria asing ini terlihat sangat menghormati pria didepan nya. Aku hanya bisa melihat kursi roda yang didorong semakin dekat.
Mungkinkah bantuan yang dimaksud untuk menyembuhkan orang gila? Hallo… Aku ini cuma wanita biasa yang banyak memikul beban penderitaan. Bukan dokter spesialis yang handal. Seandainya dokter aja pasti perlu waktu dan pemeriksaan lebih lanjut. Dikira aku ini penyihir apa, yang bisa melakukan apapun dengan sekejap mata.
Aku melengos dan menatap ke arah lain. Sementara kursi roda semakin mendekat ke arahku. Aku tidak peduli, yang jelas aku ingin segera bebas dan pergi dari sini. Tempat dimana banyak orang gila yamg lama-lama membuatku gila.
“Arzia,”
Aku tertegun mendengar namaku dipanggil dengan lembut. Bukan itu saja, suaranya kenapa sangat familiar. Aku merasa pernah mendengar suara ini tapi, dimana kiranya?
Pasti seseorang yang sudah mengenalku, kalau tidak kenapa dia mengetahui namaku. Gak mungkin dia asal menebak kan?
“Arzia.”
Panggilannya masih dengan suara lembut. Perlahan aku memutar pandangan mataku yang semula acuh ke sumber suara yang memanggil namaku. Aku mengerjap tak percaya dengan yang kulihat saat ini.
Sejenak aku mencoba menenangkan diri, tapi pandangan mataku tak teralihkan pada sosok didepan ku yang masih menggenggam kursi roda.
Dia, Sailendra. Atasan ku di perusahaan yang tadinya kupikir ayah kandungku. Tapi kenapa dia diam-diam membawaku kesini? Lalu, siapa wanita yang duduk di kursi roda?
Sailendra terlihat sangat mencintai wanita itu. Aku bisa merasakan dari sorot matanya saat mengusap wajah wanita itu yang tanpa ekspresi.
“Kenalkan, dia istriku. Namanya Diana.”
Oh, pantas saja Sailendra sangat lembut pada wanita itu. Tapi kenapa istri orang kaya bisa masuk rumah sakit jiwa.
Aku memperhatikan wanita itu dengan seksama. Cantik, meskipun wajahnya polos dan rambut acak-acakan. Kulitnya juga putih bersih meskipun tinggal dirumah sakit jiwa. Boneka di pelukan nya tidak pernah lepas sejak aku melihat nya.
Biar kutebak! Wanita ini pasti kehilangan anaknya sampai membuat nya depresi dan akhirnya tinggal dirumah sakit jiwa. Kasian juga sih, tapi aku bisa bantu apa dong?
Mungkinkah Sailendra ingin aku menjadi perawat nya? Mana bisa, seandainya aku butuh sekali pekerjaan aku tidak akan menerima tawaran ini. Sangat beresiko seandainya terus berada di lingkungan orang gila. Bisa-bisa imanku yang setipis tisu membuatku sama dengan mereka yang tinggal disini.
“Maaf, Pak. Saya gak bisa bantu merawat istri Anda. Saya bukan dokter, saya cuma orang biasa dengan pendidikan rendah.”
Agak takut sih, seandainya Sailendra marah besar. Dari yang kudengar, rumor nya atasan kami itu memiliki tempramen aneh. Suka marah dan tidak mau di bantah. Apa yang dia inginkan harus terpenuhi. Termasuk target produksi yang selalu diwaspadai semua karyawan. Kadang kami yang karyawan biasa harus kocar-kacir mengejar target produksi. Terkadang lembur sampai petang tanpa dibayar demi memenuhi target produksi. Ah, mengingat ini aku menjadi rindu dengan suasana seperti ini.
“Kamu harus membantu saya.” Suara nya masih lembut, mungkin karena ada tujuan.
Tuh ‘kan? Rumor yang kudengar itu benar adanya. Apapun yang dia inginkan harus terpenuhi. Lah, tapi aku gak mau jadi perawat orang gila. Lebih baik aku jadi babu timbang merawat orang gila. Bisa ikutan stres aku nanti.
“Gimana ya, Pak? Anda orang kaya, sudah pasti punya banyak uang untuk menyewa perawat terbaik di kota ini. Jadi, untuk apa meminta saya yang tidak berguna ini?”
Tidak bisa! Aku harus menolaknya dengan tegas. Biar saja dia marah, toh aku bukan karyawan nya lagi. Aku bebas memilih apapun yang kusukai.
“Kamu pasti mau dengan tulus kalau ada bukti nyata.” Kata-kata Sailendra kenapa mengandung misteri. Bukti? Bukti apa yang dimaksud? Aku terlihat seperti orang bodoh yang tidak mengerti apapun.
Aku mengerutkan keningku, lalu menatap wanita yang bernama Diana. Lama ku tatap matanya yang teduh. Entah mengapa aku merasa sangat kasihan? Padahal baru pertama kali ini aku melihat nya.
Eh, tunggu! Tangan wanita itu bergerak ke arahku. Mau apa dia? Tapi herannya aku membeku tanpa ingin menjauh, kemana ketakutan ku hilang? Apa rasa kasihan membuatku seperti ini.
Aku memejamkan mataku dengan rapat. Kedua tanganku meremas ujung celana hitam ku sampai kusut. Tiba-tiba aku merasakan sentuhan di dadaku. Yah, di dadaku. Bukan si kembar, tapi ternyata liontin ku.
“Namanya Arzia.” Sailendra mengenalkan aku pada istrinya.
Aku sendiri masih pada posisi sama, diam tak bergerak saat ibu Diana membolak-balikan liontin.
Lalu, setelah sekian detik. Aku melihat istri Sailendra menitikkan air mata. Tapi wajahnya masih tanpa ekspresi. Seperti pikirannya masih kosong, hanya hatinya yang bisa merasakan.