Oleh: Muti Anjani
Bab 15. Tentangnya.
Pak Sailendra menatap jauh ke halaman taman yang berbunga, matanya berkaca-kaca. Tapi ia membelakangi ku. Mungkin dia merasa malu jika wajahnya yang menyedihkan ini terlihat olehku.
Sedangkan istrinya masih mengusap liontin dan sesekali membolak-balikan nya bagai mainan. Tapi anehnya, sorot matanya masih kosong. Mungkin tingkat depresi nya sudah di tahap mengkhawatirkan.
“Istriku, dia begitu bersemangat menantikan kelahiran anak pertama kami,” ujarnya seraya menghela napas panjang.
Taman yang semula ramai ini terasa begitu hening, hanya suara detak jam tangan yang terdengar. Pria asing yang membawaku juga masih disini mengawasi ku.
“Ia selalu bercerita tentang bagaimana ia akan mengajarkan putri kami bermain piano, atau membacakan dongeng sebelum tidur,” lanjutnya.
Pak Sailendra berbalik badan dan menunjukkan foto yang ia simpan di dompetnya, foto seorang wanita dengan senyum lebar memegang buku cerita anak-anak.
Aku menerima selembar foto itu, kutatap dengan senyuman saat melihat betapa wanita didepan ku ini sangat bahagia.
“Ibu Diana terlihat sangat bahagia dan cantik dengan perut besarnya.” Spontan aku mengucapkan gambaran yang ada di foto itu.
“Iya, tapi kebahagiaan itu tak bertahan lama. Hanya beberapa hari setelah melahirkan, ketika istriku masih lemah, seorang pembantu yang baru saja saya pekerjakan menghilang bersama bayi kami.”
“Hah?” Aku spontan mengalihkan pandangan ke Sailendra yang masih juga menatapku sendu.
Aku melihat disudut matanya berair, pasti Sailendra menahan kesedihan nya selama ini. Jika ada yang hidup nya menderita, pastilah Sailendra. Dia kehilangan bayinya, juga kehilangan istri tercinta nya. Bodohnya aku yang menganggap jika di seluruh dunia ini hanya aku yang hidup nya menderita. Ternyata masih banyak orang diluar sana yang lebih parah dariku. Harusnya aku bersyukur, masih ada nenek dan pakdhe Sudirman yang masih ada dan menyayangiku.
“Kami mencarinya ke mana-mana, memasang iklan di koran, melapor ke polisi, tapi tidak ada hasil,” suaranya bergetar, mencoba menahan emosi.
Aku ikut merasakan kecemasan, kesedihan, dan rasa kesepian nya. Orang yang berkuasa dan kaya raya seperti Sailendra ternyata memiliki kepahitan di hidupnya. Pria ini pasti orang baik, nyatanya dia tetap setia menunggu istrinya kembali seperti semula.
“Dari hari ke hari, keadaan istriku semakin memburuk. Dia mulai berbicara sendiri, tertawa tanpa alasan, dan sering terbangun tengah malam berteriak memanggil nama anak kami.”
Aku masih menyimak cerita masalalu Sailendra. Sangat menyakitkan jika aku berada diposisi ibu Diana. Konon katanya, kehilangan anak seperti kehilangan dunia nya. Mungkin benar kata orang.
“Akhirnya, dokter mendiagnosa dia dengan depresi berat dan skizofrenia,” tutur Pak Sailendra dengan mata yang kini berkabut oleh air mata.
Dari berkabut, menjadi deraian air mata. Bahkan aku bisa mendengar suara tangisnya walau pria itu mencoba menekan suara nya agar selirih mungkin.
Hatiku berdenyut nyeri, seakan ikut larut dalam kesedihan yang sama. Entah mengapa aku merasa sangat kasihan pada nasib mereka. Padahal kami tidak memiliki ikatan apapun. Apalagi saat aku melihat wajah polos ibu Diana, kenapa rasanya hatiku terkoyak oleh sesuatu.
“Sampai sekarang, setiap hari saya mengunjungi istriku di rumah sakit jiwa. Biasanya saya membawakan bunga, buku cerita yang dulu ingin dibacakan, dan berita-berita tentang pencarian putri kami yang masih terus berlangsung, meski harapan untuk menemukannya kian menipis. Tapi hari ini, saya hanya membawamu.”
Aku termangu beberapa saat mengartikan ucapan Sailendra yang menurutku selalu penuh teka-teki. Tapi, ya sudahlah! Mungkin hanya aku saja yang baperan. Sudah kuyakini sebelumnya, jika mungkin ayah kandungku Sailendra yang lain. Tapi, kenapa cerita nya ada kemiripan dengan ku yang saat bayi ditemukan ibu?
“Pak, jangan menyerah! Pasti suatu saat Anda bisa menemukan putri Anda yang hilang itu. Dan ibu Diana juga akan sembuh setelah menemukan kembali putrinya.” Aku mengatakan apa yang aku bisa sesuai hati nurani. Entah mengapa aku yang sedang butuh dukungan justru menyemangati orang lain.
“Saya berjanji tidak akan menyerah, untuk istri dan putri saya,” tegasnya, kepalanya tertunduk, menutupi kesedihan yang mendalam.
Ibu Diana nampak asyik dengan liontinku, sesekali tangannya mengusap pipiku. Ekspresi kosongnya sudah mulai berubah, sesekali wanita ini tersenyum, lalu tiba-tiba menangis. Entahlah, mungkin hatinya mengingat sang putri, tapi akalnya menentang.
Seorang perawat berjalan ke arah kami, kemudian menyapa ibu Diana dengan ceria seperti anak kecil. Setelah nya suster menghampiri Sailendra yang sedang berbincang dengan pria asing itu. Entah sedang membicarakan apa sampai seserius itu.
“Maaf, Pak. Pasien harus masuk dan beristirahat. Hari sudah mulai petang.”
Sailendra membalik badan, kemudian menganggukkan kepala. Ia pun berjalan beriringan dengan suster ke arah kami.
“Sus, tolong lebih diperhatikan lagi soal makannya! Seperti nya istriku terlihat lebih kurus dari minggu lalu.” Mimik wajah Sailendra terlihat sendu.
Aku juga sangat kagum, bahkan sedetail itu dia memperhatikan istrinya meski tidak tinggal satu rumah.
“Daaah…Ibu Diana, selamat beristirahat. Semoga lekas sembuh.” Aku melambaikan tangan yang disambut dengan senyuman. Perlahan tangannya mulai bergerak dan ikut melambai padaku.
Suster yang melihat interaksi kami, entah mengapa terlihat gembira. Sailendra juga sampai menangis detik itu juga. Padahal bagiku itu biasa saja. Seperti kelakuan anak kecil yang polos tanpa dosa.
“Mbak, sering-sering kesini jenguk Bu Diana. Saya lihat, beliau sangat agresif saat bersama Anda. Ini bagus untuk perkembangan nya. Sebelumnya, beliau hanya diam dengan tatapan kosong. Seperti tidak memiliki gairah hidup lagi, walau pak Sailendra di dekat nya.” Ucapan suster mengantungkan harapan padaku.
“Oh, begitukah?”
Aku hanya menganggukkan kepala, kemudian aku berjongkok didepan kursi roda nya, lalu kubelai pipinya lembut. Setelah nya kucium keningnya penuh kasih sayang, seperti perlakuan ku pada almarhumah ibu.
Bu Diana merespon dengan melompat-lompat dari duduknya. Semua orang khawatir jika beliau akan jatuh dari kursi roda.
“Hussst! Bu, duduk nya yang manis ya. Sampai ketemu lagi, Zia janji besok kesini lagi. Kita maen boneka, ya.”
Bu Diana mengangguk terus tanpa henti. Setelah nya, Suster membawa bu Diana kembali. Karena memang matahari sudah mulai kembali tenggelam.
Aku melihat punggung suster yang membawa bu Diana sampai hilang di balik dinding. Aku kenapa? Hatiku merasa sedih untuk wanita itu. Bahkan aku menjanjikan untuk datang lagi tanpa kupikir terlebih dahulu. Yah, rasanya aku ingin melihatnya setiap hari dan setiap saat. Mungkin karena kisahnya yang memilukan. Aku menjadi iba dan simpati.
“Roni akan mengantar kamu pulang, dia juga yang akan menjemput kamu besok. Dia juga akan berjaga didepan rumah kamu, jadi kalau butuh apa-apa, panggil saja Roni.”
Aku melongo tak percaya, ini gak salah denger aku? Pak Sailendra memperlakukan aku sangat istimewa, eh berlebihan maksudnya. Padahal aku bukan siapa-siapanya kan?