Oleh: Rika Jhon
Malam itu, suasana di belakang paviliun tepatnya di penangkaran buaya, terlihat Harnum masih digantung di atas danau dan sudah tampak lemas.
Sementara buaya-buaya yang besar sudah siaga menanti tubuhnya jatuh ke bawah, sedangkan Albern masih senantiasa mempermainkan tubuh Harnum dan menaik turunkannya.
Harnum sudah kehilangan suara untuk berteriak meminta tolong agar dilepaskan. Namun, semakin ia meminta tolong untuk dilepaskan, maka semakin menggilalah Albern untuk mempermainkan tubuhnya.
Kesadaran Harnum sudah mulai menipis, dan dalam bayangannya terlihatlah sang suami yang menggunakan pakaian serba putih menghampirinya. Reno terlihat mengulurkan tangan untuk mengajak Harnum pergi, lalu Harnum dalam keadaan mata terpejam tangannya melambai-lambai seakan-akan sedang meraih sesuatu. Dan tindakannya tersebut menjadi perhatian Albern.
“Mas Reno, aku ingin ikut denganmu, Mas. Bawa aku pergi dari dunia yang kejam ini, Mas. Aku ingin bersamamu dan anak kita. Aku sudah tidak kuat di dunia ini, Mas.”
Suara racauan Harnum tersebut terdengar jelas di telinga Albern. Dan entah mengapa emosinya semakin memuncak ketika mendengar Harnum yang kembali menyebut nama Reno, laki-laki yang sangat dibencinya.
Akhirnya Albern menarik tubuh Harnum menggunakan tali. Ketika tubuh Harnum sudah semakin mendekat dengannya, maka ia menembak tali tersebut hingga tali itu putus.
Tubuh Harnum langsung terlempar jatuh ke bawah, dan Albern langsung menangkapnya. Harnum sudah tidak sadarkan diri. Albern langsung membawa tumbuhnya ke dalam gudang. Lalu ia memerintahkan Mira untuk mengurus Harnum. Mira dan Toni merasa iba dan kasihan melihat kondisi Harnum yang menjadi tempat pelampiasan emosi Albern dan selalu disiksa olehnya.
“Dasar, wanita jalang, kau! Kau selalu menyusahkanku saja!”
Albern mengumpat kesal. Setelah itu berlalu pergi meninggalkan Harnum. Mira pun langsung membersihkan tubuh Harnum, sedangkan Toni yang pengertian kepada istrinya itu langsung menuju ke dapur, dia menghangatkan makanan untuk Harnum.
Ketika Toni kembali ke dalam gudang, ternyata Harnum sudah siuman. Lalu dia memberikan makanan yang dibawa, dan Mira langsung menyuapi Harnum, tetapi Harnum menolaknya.
“Non Harnum. Non harus makan dulu supaya tubuh Non kembali sehat dan bugar.”
Harnum menggelengkan kepala dan menolak. “Tidak usah, Bu. Terima kasih. Aku tidak ingin hidup lagi rasanya. Jadi lebih baik aku mati saja. Jika aku kelaparan mungkin aku akan bisa secepatnya mati.”
Mata Mira dan Toni berkaca-kaca mendengarnya. Mereka benar-benar merasa kasihan, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. “Non tidak boleh berbicara seperti itu. Ibu tahu bahwa Non sedih karena telah kehilangan suami dan anak. Namun, Non tidak boleh berputus asa.”
“Non Harnum harus tetap semangat menjalani hidup ini. Non masih memiliki masa depan. Dan lebih baik Non mendoakan almarhum suami dan anak Non agar mereka tenang di alam sana.”
Mira menasehati Harnum. Air mata Harnum semakin deras jatuh membasahi pipi. Ia kembali teringat dengan suami dan anaknya yang telah tewas akibat perbuatan keji Albern. Rasa bencinya kepada Albern semakin besar.
“Aku benar-benar sangat membencimu, Tuan Albern. Kau benar-benar laki-laki iblis, laki-laki keji, laki-laki kejam! Aku benar-benar membencimu!”
Mira berusaha menenangkan Harnum. “Non, ibu tahu kesedihanmu. Tetapi lebih baik berdoa saja ya, untuk suami dan anaknya Non. Hanya ini yang bisa ibu nasehatkan kepadamu, Non.”
“Bagaimana aku bisa mendoakan suami dan anakku, sementara makam mereka saja aku tidak tahu. Bahkan mayatnya entah dimakamkan entah diapakan, aku pun tidak tahu. Lalu bagaimana aku bisa tenang dan bisa mendoakannya? Karena aku tidak bisa berziarah ke makamnya, Bu.”
“Non, ibu mengerti. Tetapi untuk mendoakan orang yang meninggal kita tidak harus mendatangi makamnya, mendoakan di saat sedang shalat itu pun tetap sama saja.”
Harnum mendengarkan ucapan Mira dengan terus terisak.
“Ya, memang ibu mengerti kalau kita tidak datang langsung ke pemakaman rasanya memang seperti kurang afdol, tetapi sebagai seorang muslim bukankah yang paling utama itu adalah doa?”
Harnum yang tadinya menangis dan pikirannya sudah buntu itu tiba-tiba hatinya terasa damai dan tenang. Mungkin karena dia stres memikirkan suami dan anaknya dalam kondisi yang mengenaskan, sehingga membuatnya berputus asa dan menyerah dengan keadaan hidup ini. Namun akhirnya dia pun mau menerima suapan demi suapan dari Mira.
Sementara Albern di dalam kamar tengah menenggak minuman beralkohol. Setelah habis dia langsung melemparkan botol-botol kosong itu ke tembok, sehingga kini kamarnya telah dipenuhi oleh pecahan beling.
“Sialan kau, Reno! Walaupun kau sudah mati kubunuh, tetapi kau masih tetap menjadi bumerang dan kau masih mengganggu pikiran Wanita Sialan itu! Aku akan semakin menyiksa istri tercintamu itu! Kau lihat saja, Reno. Aku tidak akan pernah berhenti untuk menyiksanya dan bahkan akan lebih sadis dan parah menyiksa Wanita Jalang itu!”
Albern terus saja menenggak minuman beralkohol tanpa henti. Hingga tanpa terasa ia telah menghabiskan berpuluh botol minuman. Bayangan bagaimana saat dulu Reno menunjukkan rasa cintanya kepada Harnum di saat terakhir hidupnya semakin membuat emosi Albern memuncak.
“Reno, kau laki-laki biadab! Setelah kau berhasil menyakiti kakakku dan membuatnya hamil, kau justru meninggalkannya. Kau mengkhianatinya dengan menikahi Wanita Jalang itu! Aku akan menyiksa wanita jalangmu itu di sisa-sisa hidupnya!”
Siang itu, Rully sengaja mendatangi rumah tua. Entah mengapa dia ingin sekali bertemu dengan Harnum. Ketika sampai di rumah tua ternyata Harnum sedang sibuk membersihkan kolam renang. Albern sengaja menyiksanya dengan cara itu. Membersihkan kolam renang yang luas dan tanpa bantuan siapa pun, sementara Toni dan Mira dilarang agar tidak membantunya.
Rully yang baru sampai itu melihat bagaimana Harnum kesulitan membersihkan kolam renang tersebut, dia menatap iba.
‘Sungguh malangnya nasibmu, Nona Harnum. Kau benar-benar disiksa oleh King. Aku tidak tega melihatmu membersihkan kolam renang seluas itu seorang diri tanpa bantuan orang lain. Jika seandainya King tidak melarang, aku akan mengerjakannya sendiri, tidak usah kau yang mengerjakannya, cukup aku saja.’Â Rully membatin sambil menatap Harnum.
“Ehem … sedang apa kau di situ, Rully?!”
Rully tersentak dan langsung melihat ke arah sumber suara. Ternyata itu adalah suara sang King Mafia. Rully merasa ketar-ketir, ia seperti dipergoki sedang mengintip istri orang. Dengan susah payah ia meneguk ludah.
“Sedang apa kau di situ?”
Albern kembali bertanya sembari memasukkan kedua tangan di saku celana, sementara Rully merasa seperti maling yang tertangkap basah. Dia sedang berpikir keras alasan apa yang tepat agar sang king mafia tidak murka.
“King, maaf. Karena aku kemari tanpa menghubungimu terlebih dahulu. Aku kemari karena ingin membicarakan tentang bisnis tanah yang sedang kita jalani di pulau seberang.”
“Hmm … bukankah untuk masalah bisnis tanah itu sudah aku serahkan padamu dan aku percayakan padamu? Jadi silakan kau yang mengurusnya karena kau tahu sendiri aku sedang sibuk mengurus urusan pribadiku!”