Oleh: Muti Anjani
Bab 19. Panggilan Nona. Siapa aku?
Seharian aku sibuk dirumah sakit jiwa menemani bu Diana. Aku senang melihat perubahan nya yang spesifik. Berharap, wanita cantik ini cepat sembuh. Benar, ini keinginan ku yang tulus dari dalam lubuk hati.
Hingga pada saat aku akan pulang, bu Diana menggenggam erat tanganku. Matanya menyiratkan ketakutan, kesedihan, kesepian, dan luka. Seolah dia tidak ingin ditinggal.
“A-Le-A.”
Suster segera berjongkok di depan bu Diana dengan senyum mengembang. Seperti ada kelegaan, harapan dari sorot matanya yang berbinar.
“Coba ulang lagi, Bu. Yang keras, biar semua orang denger!” Perintah suster dengan lembut.
Tapi bu Diana tak bergeming, membuat suster mendesah kasar. Ia lalu menoleh padaku dengan wajah mengiba.
“Ini adalah pertama kalinya bu Diana membuka suara sejak tinggal dirumah sakit puluhan tahun lalu.” Jelas suster padaku.
Aku mengerti, bu Diana menjadi lebih terbuka padaku karena mungkin dia merasa nyaman. Atau mungkin dia beranggapan bahwa aku ini putrinya yang diculik itu.
Berjongkok disamping suster, aku mengajaknya untuk bicara. Dengan begitu, proses penyembuhannya akan semakin cepat bukan?
“Alea? Namanya bagus, pasti cantik seperti mamahnya.”
Tangan bu Diana mengusap pipiku lembut. Membuatku semakin sesak mengingat penderitanya yang begitu besar. Tapi bukankah tidak ada ikatan apapun antara kami? Kenapa rasanya aku sangat sakit melihat nya seperti ini.
“Bu Diana, aku pamit pulang dulu ya. Besok Zia akan datang lagi.”
Meskipun bu Diana tidak mau melepaskan tanganku, tapi suster berusaha untuk melepaskan genggaman tangan nya. Hari sudah gelap, aku juga sudah lelah seharian di sini. Tega gak tega, ya harus tega sih. Pihak rumah sakit juga pasti akan mengusirku yang tidak tahu batasan. Sudah tahu jam berkunjung habis, masih saja tidak mau pergi.
Kulihat kursi roda yang semakin menjauh, hatiku merasakan perih. Ini sih rasanya lebih sakit saat dicampakkan Elfayed.
***
Rutinitas setiap hari yang kujalani sekarang adalah menghibur bu Diana. Semua kebutuhan sudah dipenuhi oleh Roni atas perintah pak Sailendra.
Pagi ini aku bangun kesiangan. Hampir tengah hari aku baru siuman dari mimpi panjang. Mungkin karena semalam terlalu asyik berbalas chat dengan Arka sampai tidurnya kemalaman.
Saat keluar dari kamar, aku sedikit terkejut. Banyak kotak-kotak hadiah berjajar rapih menghalangi jalan.
“Ron, siapa yang ulang tahun?” tanyaku.
“Ini hadiah dari tuan.”
“Sebanyak ini?” tanyaku lagi.
Otakku kembali bekerja, mengingat apa yang sudah kulakukan sampai mendapatkan hadiah sebanyak itu.
Oh, pikirku karena kemaren bu Diana membuka suara untuk pertama kalinya. Jadi, ini balasan dari pak Sailendra. Dia memang suami yang sangat mencintai istri nya. Seandainya anaknya masih ada, pasti dia juga akan menyayangi nya dan memperlakukan nya bagai putri kerajaan.
Saat aku sadar dari pemikiranku sendiri, semua kotak hadiah sudah bersih dari jalanku. Lah, gesit juga si Roni. Padahal aku belum bilang mau menerima semua hadiah ini.
“Silahkan, Non!”
Aku mendelik, karena panggilan baru yang disematkan Roni padaku membuatku aneh. Padahal biasanya juga, mbak.
“Tuan sudah menunggu dibawah dari jam 8 tadi sampai sekarang.” Jelasnya dengan menundukkan kepala.
Rasanya aneh gak sih sikap Roni hari ini. Kenapa seolah dia sedang bicara dengan majikan nya, padahal status kita ini juga sama. Sama-sama pesuruh pak Sailendra.
Lupakan saja! Dari ucapan Roni barusan pak Sailendra menungguku dari jam 8. Segera aku menilik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku.
“Hah, sudah mau jam 1.” Aku terkejut pastinya, sambil kuketuk-ketuk kaca jam. Siapa tahu jam tanganku yang salah.
Tapi, jamku berdetak normal. Bagaimana ini? Aku lebih takut sih seandainya pak Sailendra marah. Pasalnya, bos besar itu sudah menunggu hampir 5 jam.
Aku berjalan cepat setengah berlari kecil. Soal Roni, bahkan aku lupa kalau dia mungkin tertinggal di belakangku.
Saat sampai di lobby, aku menghentikan langkahku sambil mengatur napas yang sedikit ngos-ngosan. Kulihat ke sekeliling mencari sosok Pak Sailendra yang pastinya saat ini memasang wajah seperti malaikat pencabut nyawa. Seram!
“Disini!”
Aku mencari ke sumber suara, kulihat pak Sailendra tersenyum padaku. Eh, dia gak marah toh?
Kupikir sebelumnya pak Sailendra akan mengamuk dan memaki-maki aku. Tapi dia tersenyum begitu hangat. Tidak ada kemarahan walaupun aku melihat kelelahan dimatanya yang teduh.
Kami satu mobil dan entah pak Sailendra akan membawaku kemana. Sedangkan Roni mengikuti dengan mobil lain dibelakang kami.
“Emmm, Pak. Maaf saya terlambat bangun. Saya tidak bermaksud membuat Anda menunggu lama.” Ucapku dengan kepala menunduk.
“Gak masalah, jika kamu lelah istirahat aja.”
Aku menyipitkan mata mendengar jawaban pak Sailendra. Diluar dugaan, kukira dia akan marah dan mengamuk. Eh, gak taunya dia selembut ini padaku.
Mobil berhenti di depan sebuah kantor firma hukum. Itu sih yang aku baca di papan besar saat mobil mulai memasuki wilayah sepi ini.
Loh, kok aku dibawa kesini? Langkahku menjadi berat, karena aku yang udik tidak bisa menyimpulkan apapun kenapa aku dibawa ke ketempat seperti ini.
“Silahkan masuk, Pak Sailendra! Pak Jeremy sudah menunggu Anda didalam.”
Pak Sailendra hanya mengangguk kecil tanpa sepatah katapun. Dia juga terus berjalan tanpa beramah tamah dengan wanita yang menyapa nya tadi.
Aku mengikuti langkah pak Sailendra, tapi saat melewati wanita itu aku tersenyum manis. Diapun membalas dengan senyuman serupa. Pakaiannya sangat rapih, kupikir dia asisten pak Jeremy.
“Sailendra yang super sibuk! Janji jam 9 datang tapi tengah hari bolong baru nongol.”
“Jeremy! Mukamu terlihat lebih tua dariku kalau terlalu serius.”
Pak Sailendra tertawa dan duduk tanpa disuruh. Mereka juga terlihat akrab, karena bertegur sapa tanpa embel-embel nama besar.
Aku harus bagaimana, berdiri atau ikut duduk. Tapi dimana aku harus duduk?
“Zia, duduk disini!”
Seperti mengerti kebingungan ku, pak Sailendra memintaku duduk disebelah nya. Tapi, rasanya aneh ah. Masa pelayan duduk di samping bosnya.
“Zia, ayo duduk!”
Perintah nya lembut dengan wajah yang adem kalau dilihat. Akhirnya aku terpaksa duduk dengan perasaan tidak enak. Orang rendahan seperti aku duduk disamping bos besar, konglomerat nomor satu di kotaku. Orang akan berpikir, aku menjual diri demi status. Iya kan? Padahal pak Sailendra hanya menyewa ku untuk menghibur istrinya saja. Sudah, tidak lebih.
“Emmmh, Pak. Apa sebaiknya saya tunggu di luar aja? Saya takut mengganggu kalau disini.”
Begini lebih baik, daripada harus duduk disini dan tidak mengerti apapun.
“Tidak, duduklah dengan tenang! Kamu tidak akan menggangu apapun, karena kami memang akan membahas tentang kamu disini.”
Hah? Membahas tentang diriku? Apa maksud pak Sailendra? Aku kok makin bingung.