Oleh: Pena_Receh01
“Pala lo kalau ditoyor di gosok gak?” tanya Amel menatap kesal Shilla.
“Gak di gosok kok, cuma di usap aja,” balas Shilla dengan sebuah seringai di bibirnya membuat Amel mendengkus.
“Sama aja dodol!” geram Amel.
“Udah jangan berantem, mendingan saling tonjok-tonjokkan aja,” lerai Sekar yang membuat kedua gadis itu menoleh ke arahnya.
“Gak sekalian disuruh smakedown aja” ketus Amel yang membuat Sekar terkekeh lalu mencubit pipi anaknya itu.
“Gak dong, Ibu bercanda. Udah mendingan kalian makan aja dulu, kan, katanya mau anter makanan buat Rafa, itu Ibu udah siapin. Lain kali kamu yang harus masakin buat calon suamimu, Mel,” ujar Sekar memandang anaknya yang hanya mengangguk malas lalu gadis itu melahap makanannya lagi.
“Lo demen banget numpang makan sih, di sini,” ucap Amel yang membuat Sekar mengembuskan napas, sepertinya kalau sehari aja gak cek cok mereka gak bakal tenang.
“Demen banget, Beb. Biar hemat juga,” jawab Shilla membuat Amel melirik malas.
“Itu bukan jawaban dodol! Harusnya gue yang minta makan di rumah lo, biar Ibu gue gak terlalu ngeluarin duit banyak,” omel Amel lalu melahap makanan dengan buru-buru karna melihat tatapan marah Ibunya.
“Jangan dengerin ucapan, Amel, La. Tante, seneng kok kalau kamu ikut makan sama kami, apalagi kamu sekarang calon adik ipar Amel,” lontar Sekar menggoda anaknya.
“Apaan sih, Bu. Ini aku udah selesai makannya, ayo cepat, La!” ucap Amel bangkit dari duduknya lalu mengambil rantang yang berisi makanan.
“Sabar dikit, napa! Ini makanan gue tinggal seumprit lagi, mubazir kalau kebuang,” jawab Shilla lalu memasukan semua makanan ke mulutnya.
“Dasar! Makan banyak tapi badan kegitu-gitu aja,” ejek Amel yang membuat Shilla memutarkan bola mata dengan malas lalu mensejajarkan langkah dengan sang sahabat.
“Lo mah, dari bangun tidur ngomel-ngomel mulu,” gerutu Shilla, mereka sudah salim pada Sekar kala selesai makan.
“Assalamualaikum, Bu!” teriak Amel membuat Shilla yang disampingnya menutup telinga.
“Yang bener aja, Mel! Gak usah teriak juga kali,” geram Shilla menggosok telinganya.
“Bodo! Ya udah buruan,” ajak Amel lalu menarik lengan temannya.
“Ciee … ngebet banget sih ketemu Ka Raffa,” goda Shilla yang langsung mendapatkan tatapan tajam Amel yang membuat Shilla terkekeh.
“Gue percaya sama Ka Raffa, dia bisa bahagiain lo. Pernikahan yang dulu itu bukan salah Ka Raffa, tapi mantan istrinya itu aja yang rese! Gak bersyukur banget,” papar Shilla dengan nada menggebu membuat Amel menoleh memandang temannya lalu mengulas senyum.
“Moga aja, keputusan gue gak salah,” kata itu meluncur dari bibir Amel, kini mereka berada di dalam taksi.
Sedangkan di perusahaan milik Raffa, lelaki itu benar-benar gila kerja. Semuanya dikerjakan terus menerus, padahal sebentar lagi jam istirahat. Sang sekertaris sudah menawarkan mau dibelikan apa, Raffa sama sekali tidak menjawab malah mengusir bawahannya itu.
“Ayo buruan, masuk!” ajak Shilla menarik tangan sahabatnya kala sampai di perusahaan Raffa.
“Duh, gue balik aja ya. Kok gue jadi insecure gini, lihat Om Duda udah mapan banget punya perusahaan segede ini, gue kira gak bakal segede gini lho. Lah, malah bersanding ama gue yang baru aja lulus sekolah,” cicit Amel, yang membuat Shilla menggelengkan kepala lalu menarik lengan sang teman dan mengajak masuk lalu melangkah menuju ruangan Raffa.
“Udah saya bilang, jangan ganggu saya lagi kerja!” hardik Raffa mendongak memandang pintu, lalu ia terdiam kala melihat adik dan calon istrinya tengah berdiri diambang pintu.
“Tuh, Om Duda gak mau diganggu. Yuk! Mendingan kita pergi aja.” Amel hendak pergi tetapi cepat dicegah Raffa.
“Eh, kamu jangan pergi. Ayo sini ikut aku!” pinta Raffa.
Lelaki itu menarik lengan Amel, membuat Shilla memberengut dan melepaskan pegangannya pada tangan sang teman. Memilih berdiri di pintu sambil bersidekap. Ia mengembuskan napas kasar kala Raffa seperti tidak menganggap dia ada.
“Kamu ngapain ke sini?” tanya Raffa lembut terus memandang wajah Amel.
“Aku mau anterin makan siang buat, Om Duda, kata Shilla, Om pasti belum makan.”
Amel menjawab dengan suara pelan, entah kenapa dadanyajadi berdebar. Ia sangat bingung, dulu sebelum kejadian itu terjadi dia sama sekali tak merasakan hal ini.
“Ohh, kalau gitu ayo dong disiapin,” pinta Raffa.
Amel yang tadi melamun terkejut, ia mengangguk dengan wajah polos membuat Raffa gemas.
“Wihhh … terasa dunia milik berdua.” Shilla memandang sinis ke arah Raffa dan Amel dengan tangan bersidekap di dada.
“Apaan sih! Kamu lagian ngapain berdiri di situ, cepat masuk dan tutup pintunya!” omel Raffa.
Shilla berdecak kesal, ia menutup pintu dengan kencang. Melangkah mendekati kedua sejoli itu dengan langkah menghentak-hentak.
“Dih! Kok ke akumah marah sih, padahal tadi ke Amel lembut banget lho, beda jauh banget bagai langit dan bumi!” seru Shilla protes pada Kakaknya setelah mendaratkan bokong di sofa.
Raffa memutarkan bola matanya dengan malas. Shilla memang suka begitu, kebanyakan mendrama. Lelaki itu memilih fokus pada calon istrinya yang agak berbeda, padahal pas mendekati acara lamaran itu gadis tersebut masih ngomel-ngomel dan meminta agar membuat batal rencana Wulan yang mereka kira hanya bualan.
“Om Duda, ini udah rapi, tinggal makan! Aku pulang dulu ya,” papar Amel.
Perempuan itu bangkit dari duduk lalu ditahan Raffa. Membuat gadis tersebut menoleh dan tatapan mereka beradu pandang.
“Apa! Om Duda, hahahaha ….”
Shilla tertawa sangat keras, sampai memegang perutnya. Membuat suasana tatapan itu kedua sejoli itu kacau gara-gara suara Shilla.
“Kamu ke sini ngapaian sih! Ganggu banget deh, emang pacar kamu ke mana sampe gangguin kami,” geram Raffa, lalu meminta Amel agar duduk kembali.
“Dih, marah! Aku udah bagus lho pergi ke rumah Amel, bangunin dia yang ternyata masih tidur padahal matahari udah tinggi banget. Terus kasih tau dia kalau Ka Raffa biasanya suka lupa makan kalau lagi sibuk banget, dan lihat! Aku bener, kan, di jam istirahat ini Kakak masih duduk di meja kebesaran Kakak itu,” cerocos Shilla yang menggebu-gebu dengan tangan yang gak bisa diam dan hendak mencomot makanan Raffa.
“Apaan sih! Maen asal comot aja, ini buat Kakak lho,” sembur Raffa lalu menepis tangan adiknya itu.
“Gak usah diperjelas kali, kalau gue masih tidur,” ucap Amel dengan nada kesal.
“Hehehe … sorry, gue kebablasan.”
Shilla memasang wajah dengan senyuman memamerkan gigi dan mata berkedip-kedip. Tangan gadis itu menangkup tanda meminta maaf pada temannya itu.
“Udah jangan gitu, gue jijik lihatnya!”
Amel berkata demikian membuat Shilla mempautkan bibirnya bahkan menghentakan kakinya karna kesal.
“Ya udah kalau gitu gue pergi aja dah.” Shilla berkata sambil bangkit, membuat Amel memegang tangannya dan ikut berdiri.
“Jangan gitu dong, lo kok cepet ngambek banget. Kaya bocah dah,” sembur Amel spontan.
“Lo itu mau ngehalangin atau gimana,” geram Shilla.
Gadis itu melipat tangannya dan menatap menatap kesal ke arah Amel yang kini menyeringai.
“Kamu mendingan keluar deh, kapan Kakak makan kalau kalian aja berantem terus,” usir Raffa sambil melihat jam tangannya.
“Jangan maen usir-usir aja kali Om Duda, nanti aku pulang sama siapa! Kalau Shilla balik aku juga balik,” seru Amel yang membuat Shilla cekikikan dan di tatap tajam Raffa yang kebingungan.
“Diem! Jangan ketawa, bikin rusuh aja,” dengkus Raffa.
Shilla langsung mengatupkan bibirnya. Ia melihat sorot lelah sang kakak, bahkan lelaki itu sesekali mengaup.
“Eh, maaf. Tenang aja kali, Mel. Gue kagak bakal balik ini, cuma pengen jalan-jalan aja di perusahaan Ka raffa.”
Amel yang mendengar penuturan Shilla menjadi lega, perempuan itu akhirnya kembali duduk di sofa.
“Pergi ya, eh, Ka! Awas jangan macem-macem lho sama temen Shilla,” lontar Shilla yang dilirik malas oleh Raffa tetapi lelaki itu mengangguk.
Kala pintu sudah tertutup, Amel langsung menjauh. Membuat Raffa mengeryitkan kening, dan memiringkan kepala memandang bingung ke arah sang calon istri. Amel yang kesal ditatap demikian akhirnya menyodorkan rantang-rantang berisi makanan itu pada Raffa lalu gadis itu segera memainkan ponsel.
“Kamu kenapa, Mel, kok berubah gini. Udah kaya power rangers,” celetuk Raffa yang akhirnya melahap makanan itu, padahal tadi ia ingin disuapi Amel.
“Gak papah! Udah buruan makannya, aku mau ngomong sesuatu nih.”
Raffa memandang heran Amel tetapi akhirnya lelaki itu mengedikkan bahu. Memilih mengisi perut yang kini keroncongan meminta diisi. Biasanya ia sangat tak peduli, tetapi mencium aroma masakan di hadapannya membuat dia lapar. Pria tersebut dengan lahap menyuap ke mulut, Amel sampai tersenyum geli melihat sang calon suami.
Wanita itu langsung memfokuskan matanya ke handphone lagi kala ketahuan oleh Raffa karena memandang lelaki itu.
“Gak papa kok diliatin terus, asal jangan hilaf aja. Aku tau kok kalau aku tuh memang ganteng,” tutur Raffa kala menangkap basah Amel yang memandangnya.
“Ihhh … apaan sih! Geer banget. Akumah bingung itu makan udah kaya gak ketemu makanan berhari-hari.”
Amel mengelak dari tuduhan Raffa, padahal yang dikatakan lelaki itu benar. Tetapi memang Amel, perempuan yang gengsian jadi ia tak mengakuinya. Raffa hanya tersenyum geli dan memilih melanjutkan melahap makanan di hadapannya.
“Om Duda, lama banget sih makannya. Ngalahin aku tau,” omel Amel yang melirik makanan yang di makan Raffa masih ada saja.
“Ini saya udah kenyang, tapi maksain abisin ini semua demi kamu. Kamu aja masa bawa makanan sampe udah kaya buat dua orang aja,” balas Raffa.
Lelaki itu tak mau disalahkan, akhirnya menghentikan melahap makanan. Memandang sang calon istri, membuat perempuan itu memalingkan wajah karna tiba-tiba dadanya semakin berdebar.
“Kayanya gue kudu ke rumah sakit deh, cek jantung gue,” batin Amel berseru.
Tanpa perempuan itu sadari, ia memegang dadanya membuat Raffa yang melihat menyeringai.
“Perlahan aku pastikan kamu akan jatuh hati padaku, insyaallah aku tidak akan mengkhianatimu,” gumam Raffa pelan.
Amel yang samar-samar mendengar langsung menoleh ke arah lelaki itu.
“Apa yang Om Duda, katakan. Bisa ulangi sekali lagi,” pinta Amel.
Tangan wanita itu meremas pakaian tanpa sadar. Jantungnya semakin berpacu menantikan perkataan Rafa.