Oleh: aisakurachan
Ellie merapatkan selimut, saat merasakan tangannya tersentuh udara dingin. Dia juga berbalik, mencari ruang hangat, yang sedari tadi meliputi punggungnya.
“Hmmm….” Sambil mendesah nyaman, Ellie mengeratkan pelukan pada bantal—Ellie mengerutkan kening, karena bantal yang ada dipelukannya, berukuran tidak normal. Dan meski belum membuka mata, dia bisa merasakan kalau bantal itu bernafas.
Menarik nafas lebih dalam lagi, hidung Ellie kini dipenuhi aroma yang selama ini mencoba untuk dihindarinya.
“Aku bisa mendengar nafasmu yang mulai memburu. Tidak ada gunanya kau berpura-pura tidur.”
Suara Raven yang berat dan serak, terdengar begitu dekat di telinganya. Mata Ellie terbuka lebar seketika, dan mendapati jika bantal hangat, yang dipeluknya dengan begitu erat, adalah Raven.
“Aaaaghhh!” Ellie menjerit kaget, sambil berguling menjauh dari Raven. Dia duduk sambil mencengkeram bajunya erat-erat.
“Kenapa… Kenapa kau ada di sini? Bukan di ranjangmu sendiri?” Ellie duduk, sambil menunjuk Raven dengan galak.
“Ranjang? Apa benar kau sudah bangun? Lihat di sekelilingmu dulu! Kau tidak tiba-tiba berubah buta juga bukan?” Raven duduk, dan menunjuk sekitar.
Ellie menolehkan kepala cepat, dan menyadari jika mereka masih berada di depan perapian.
“Aww!” Ellie mencengkeram kepalanya, yang tiba-tiba berdenyut menyakitkan saat bergerak.
“Aku sarankan sup. Itu akan mengurangi sakit kepala. Lalu mandi air hangat dan kau akan kembali segar,” kata Raven. Dia sudah berhasil merambat, dan menarik dirinya ke atas kursi roda.
Ellie menekan pelipis, sambil berusaha menarik ingatannya yang berkabut. Dia hanya ingat saat dimana dia mengambil puding dan mengobrol.
“Kau tak ingat?” Raven kini mulai menyandarkan kepala ke tangan, bersiap untuk kejadian yang pasti menarik.
“Apa yang terjadi?” Ellie benar-benar bingung.
“Apa kau punya toleransi rendah pada alkohol?”
“Ya…Tapi bagaimana kau tahu?” Ellie meragukan Jasper akan membagi info tidak penting itu pada Raven.
“Info untukmu, Sophie selalu menambahkan wine dalam jumlah lumayan dalam puding anggur buatannya,” kata Raven, dengan tenang.
Senyumnya melebar, karena bisa membayangkan bagaimana mimik wajah panik Ellie, yang sekarang mulai berubah warna. Ellie tentu saja sudah meneriakkan sumpah serapah dalam hati. Dia menenggelamkan wajah dalam selimut, karena dilanda malu yang amat sangat.
Dia menghabiskan paling tidak enam potong puding. Pantas saja puding itu terasa begitu eksotik dan lezat, karena dia belum pernah meminum anggur sebelum kemarin. Ellie tidak bisa membayangkan apa saja hal yang telah dilakukannya, sampai akhirnya dia bisa tertidur sambil memeluk Raven di depan perapian.
“INI MEMALUKAN!” Ellie menjerit dalam kepalannya.
Lalu kesadaran lain menghampirinya. Ellie mulai khawatir, jika tanpa sengaja menyebut nama Ellie, atau mungkin Lonan. Hazel seharusnya tidak mengenal Lonan. Ellie melirik ke arah Raven. Pria itu tidak terlihat aneh. Dia duduk dengan bibir tersenyum yang terlihat menyebalkan di mata Ellie. Dia pasti sangat puas, mendapati segala kelakuan Ellie yang memalukan. Tapi sikap itu normal. Raven tidak mungkin akan setenang itu jika Ellie mengatakan hal yang tidak semestinya.
“Apa saja yang aku lakukan? Apa aku mengatakan sesuatu yang aneh?” tanya Ellie, dengan jantung berdebar.
“Tidak ada yang aneh. Kau hanya menjabarkan sekitar dua puluh macam sikap tercela yang ada padaku, dan menasehatiku untuk menjadi manusia yang lebih baik. Ini bukan masalah, aku selalu terbuka terhadap kritik yang membangun,” kata Raven. Masih dengan mengulum senyum.
Ellie menghembuskan nafas lega. Tingkah lakunya tidak seburuk yang dia duga.
“Nasehat itu akan lebih manjur, jika saja kau tidak menyelipkan sederet pujian untuk wajah dan tubuhku. Ini sedikit membuatku kehilangan fokus. Belum lagi kau dengan agresif menyereng leherku dan menolak untuk melepaskan pelukan. Tapi aku mengikuti nasehatmu, untuk menjadi seorang gentlemen. Jadi aku berbaik hati melepaskanmu tadi malam. Kau sekarang tentu bisa melihat akibat dari perbuatanmu,” kata Raven, sambil menunjuk karpet yang kini penuh kerutan dan berantakan.
Kalimat panjang Raven dan bukti yang ditunjukkannya, berhasil mencabut seluruh sisa harga diri Ellie, dan menghempaskannya ke tanah.
“Kau bohong! Aku tidak mungkin men….lehermu!” Ellie sedikit berharap Raven hanya menggodanya. Bisa jadi itu adalah bentuk kejahilannya yang lain.
Raven melengkan kepala ke kiri. “Masih ada bekasnya. Kau mau lihat?” katanya, sambil menunjuk leher.
“Ya..Tuhan! Ya.. Tuhan!”
Ellie kembali mengubur wajahnya dalam tangan, sambil bergumam putus asa. Bahkan dari kejauhan dia bisa melihat leher Raven memiliki bercak kemerahan. Perbuatannya lebih dari sekadar memalukan.
“Apa kau sudah selesai menyesali diri? Jika sudah sebaiknya kita kembali ke kamar. Kau kesiangan. Jadwal latihan pagi kita sudah lewat dua jam lalu.”
Masih dengan menutup wajah, Ellie bangkit lalu mendorong kursi Raven ke arah lift.
Raven terlihat tenang, tapi kemudian perlahan bahunya terguncang. Dan saat Ellie mengeluarkan keluhan kesal, tawa terbahak Raven terpecah membahana.
“HA…HA…HA…” Dia terus tertawa sampai air matanya bercucuran, bahkan setelah sampai di depan kamar dia masih memegangi perutnya yang kaku.
“Berhenti tertawa!!” Ellie menggeram malu. Wajahnya sudah tidak berbentuk. Dia ingin sekali melarikan diri.
Tapi itu berarti akan meninggalkan Raven di lingkungan asing. Dia tidak akan bisa mencapai kamar dengan mata itu.
“Aku baru sekali ini melihat ada orang yang mabuk karena puding. Ini akan aku catat sebagai kejadian paling menarik di tahun baru ini…Oh, puding….”
Sambil mengusap air matanya, Raven menjalankan kursi ke kamar mandi, begitu Ellie membuka pintu kamar.
Tinggalah Ellie yang membanting dirinya ke ranjang, lalu mengacak-acak segala yang ada di atasnya dengan kesal. Mengingat sifat Raven, dia pasti akan menggunakan kejadian ini sebagai bahan ejekan untuknya nanti.
“Kau bodoh!!” Ellie berteriak kesal
Tapi sedikit kelegaan menyusup di hatinya. Setidaknya dia tidak membuka rahasia soal siapa dirinya yang sebenarnya.
***
Ellie menghampiri Raven yang sudah akan mulai bekerja. Dia menarik keluar rekaman Jasper dari laci.
“Ada apa?” Raven mendengar langkah kaki Ellie mendekat.
Ellie memainkan jarinya dengan tekun, sementara kakinya bergerak gelisah.
“Aku buta, Hazel. Kau tidak bisa hanya diam. Aku tidak bisa mendengar meski kau mengubah raut wajahmu.” Raven menegur.
“Aku minta maaf.” Ellie akhirnya berani bersuara. Wajahnya kembali memerah.
Raven tersenyum kecil. “Aku sudah mengatakannya tadi. Kau tidak perlu khawatir aku tersinggung. Aku menyukai kritik jujur yang membangun.”
“Aku tetap harus meminta maaf. Aku berada di sini bukan dalam kapasitas untuk mengkritik sikap maupun sifatmu. Dan juga…. leher.”
Suara Ellie berubah semakin samar saat dia menyebut leher, tapi Raven masih bisa mendengar, karena senyumnya semakin lebar.
“Kau juga tidak perlu meminta maaf untuk itu. Aku menikmatinya. Ciumanmu sedikit ceroboh, tapi lumayan menggoda. Sayang sekali saat itu aku sudah memutuskan untuk menjadi orang baik. Aku masih menyesal karena tidak menerima godaan menggiurkan itu.”
Raven menggelengkan kepala dengan mata terpejam. Menampakkan mimik wajah menyesal yang sangat meyakinkan.
“Aku mohon…. Jangan menggodaku terus soal ini….”
Ellie akhirnya memohon sambil menutup wajahnya lagi. Dia tak sanggup lagi melawan dengan balasan pedas.
Ellie tidak melihatnya, tapi wajah Raven berubah lebih serius. Dia menggosok dagunya sebentar, lalu tersenyum.
“Baiklah… Aku akan berhenti menggodamu. Tapi kau harus melakukan satu hal untukku,” kata Raven.
“Apa?” Ellie mendongak.