Oleh: Rika Jhon
“Tuhan, aku tidak tahu apa yang telah aku perbuat dan juga suamiku perbuat terhadap laki-laki itu, tetapi mengapa dia begitu membenci suamiku hingga membunuhnya? Dan bahkan anakku pun yang tidak berdosa telah tiada akibat perbuatannya yang sangat keji itu.”
“Kini aku hanya seorang diri. Aku hanya sebatang kara di dunia ini. Tuhan, tiada tempatku mengadu selain kepadamu, tolonglah aku. Aku sudah menyerah, Tuhan”
Harnum terus menangis dengan terisak-isak sembari mengeluarkan keluh kesah. Kedua tangannya memeluk kedua makam anak dan suaminya. Tubuhnya bergetar hebat karena tengah menangis.
Rully pun ikut menangis. Tanpa terasa air mata terus membanjiri pipinya. Rully adalah laki-laki yang sangat kuat dan kejam, tak ubahnya seperti sang King. Membunuh adalah hal yang sudah biasa ia lakukan.
Akan tetapi, ketika ia melihat keadaan Harnum, hatinya berubah menjadi lembut dan menjadi lemah serta cengeng. Ini merupakan air mata pertama yang ia keluarkan untuk orang lain selain untuk keluarganya. Mungkin karena perasaannya terhadap Harnum semakin tumbuh dan berkembang.
“Nona Harnum, aku tahu bagaimana perasaanmu, tetapi lebih baik kau ikhlaskan semua ini agar suamimu dan anakmu tenang di alam sana. Lebih baik kau mendoakan mereka.”
Rully berkata dengan penuh kebijaksanaan. Harnum yang sedang fokus menangis itu seketika menghentikan tangisannya. Ia menatap Rully dengan berlinangan air mata. Perasaan Rully semakin tidak menentu dibuatnya, dia menjadi salah tingkah.
“Kau benar, Tuan Rully. Mungkin aku saking terharunya bercampur bahagia, sehingga aku menangis seperti ini. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi atas semua kebaikan yang telah kau lakukan kepadaku dan kepada suami serta anakku.”
Perlahan Harnum bangkit dan menghampiri Rully, sementara Rully terus menatapnya tanpa berkedip. Kecantikan Harnum yang natural serta kesederhanaan dan kelembutannya, telah membuat dunia Rully berubah. Ingin rasanya dia memeluk erat tubuh wanita tersebut.
“Aku sungguh tidak menyangka karena kau laki-laki yang kejam, tetapi ternyata masih memiliki sisi hati yang baik dan memiliki kemanusiaan. Tidak seperti pria iblis itu yang telah menyebabkanku menjadi janda dan hidup seperti di neraka ini.”
Harnum menyusut bola-bola kristal yang terus membanjiri pipinya yang putih mulus itu. Rully menatapnya dengan begitu lekat. Perasaannya semakin bertambah besar terhadap Harnum. Rully benar-benar sedang merasakan jatuh cinta kepada Harnum. Dia ingin menjadi sosok laki-laki sebagai pelindung untuk Harnum.
Akan tetapi, semua keinginannya itu hanyalah khayalan belaka. Karena Albern selalu memberikan peringatan dan juga ancaman terhadapnya. Jika dia berani-berani mendekati Harnum apalagi sampai menyentuhnya, maka nyawanya akan melayang.
“Nona Harnum, hanya itu yang bisa aku lakukan untukmu. Maafkan aku karena saat King membunuh suamimu aku tidak bisa mencegahnya ataupun menolongnya. Karena aku ini hanyalah anak buah, jadi aku tidak memiliki kuasa.”
“Aku tahu jika tindakanku itu sangat tidak terpuji, tapi kau tentu tahu risiko seorang bawahan terhadap atasan seperti apa dan mesti bagaimana? Aku hanya manusia biasa yang lemah tak berdaya, Nona Harnum.”
Harnum menatap Rully, dan Rully pun membalas tatapannya. Namun, Harnum langsung memutus kontak mata mereka karena dia bisa melihat begitu dalamnya tatapan mata Rully terhadap dirinya.
“Mungkin ini semua sudah menjadi takdir untukku dan untuk keluarga kecilku, Tuan Rully. Sekarang aku sudah tenang karena ternyata jasad suamiku dimakamkan dengan layak dan tidak dibuang di laut. Apalagi jasad putriku yang masih sangat bayi yang belum memiliki dosa.”
Rully masih dengan setia mendengarkan ucapan Harnum tanpa berniat menyelanya. Ia sangat tahu bahwa Harnum tengah mengeluarkan keluh kesahnya selama ini. Maka dari itu ia akan menjadi pendengar yang setia.
“Tapi … jika nanti Tuan Al sudah kembali lagi ke Indonesia, maka aku sudah tidak bisa lagi untuk berkunjung ke makam suamiku dan anakku.” Wajah Harnum terlihat sendu.
“Jangan khawatir, Nona Harnum. Walaupun nanti King sudah kembali ke sini, aku akan berusaha mencari cara agar kau tetap bisa mengunjungi makam suamimu dan anakmu.” Rully menatap wajah cantik Harnum. Ingin rasanya dia memegang wajahnya.
“Aku tidak berani melakukannya. Yang aku khawatirkan adalah dirimu karena kau akan terlibat dalam masalahku. Jika aku yang disiksa bahkan dibunuh olehnya, aku tidak masalah. Bahkan aku memang menginginkan agar dia segera membunuhku supaya aku bisa berkumpul dengan suami dan anakku di surga.”
“Tapi laki-laki iblis itu tidak pernah mau membunuhku. Dia selalu berdalih bahwa jika aku mati, maka dia tidak akan bisa lagi menyiksaku, dia tidak akan bisa lagi membalaskan dendamnya.”
Harnum terus saja mengeluarkan semua isi hatinya kepada Rully. Rully melihat sosok yang berbeda pada diri Harnum pada saat itu karena sangat banyak berbicara dan mencurahkan isi hatinya.
Setelah selesai mereka pun kembali pulang. Kini setiap hari Harnum selalu mengunjungi makam Reno dan anaknya karena Albern belum kembali dari Italia. Hingga tanpa terasa sudah satu bulan lamanya Albern berada di Italia. Dan selama satu bulan itu Harnum benar-benar sangat menikmati kehidupannya tanpa Albern. Karena dia merasa sangat bebas tanpa adanya siksaan fisik bahkan batin terhadap dirinya, dan juga dia bisa leluasa berziarah ke makam suami dan anaknya.
‘Seandainya saja psycopat itu tidak kembali lagi ke Indonesia, dan dia selamanya tinggal di luar negeri, betapa bahagianya hatiku. Karena hari-hariku pasti terbebas dari siksaannya.’
Malam itu Harnum sedang tertidur pulas. Saat sedang tidur ia merasa ada yang memeluk dan mengecup keningnya. Harnum ingin sekali membuka mata, tetapi rasanya sangat berat sekali.
Dia merasa seperti bermimpi sedang tidur dan berpelukan dengan Reno. Wangi mint begitu menusuk hidungnya. Harnum hanya menyunggingngkan senyum dan membalas pelukan tersebut dengan mata yang terpejam. Ia menelusupkan wajahnya di dada bidang yang ia anggap adalah Reno. Dan yang memeluk tubuh Harnum tersebut pun semakin mempererat pelukannya. Harnum pun sama eratnya memeluk tubuh kekar itu.
Hingga waktu menjelang subuh Harnum pun terjaga. Ia langsung bangun dan duduk, matanya mengedari seluruh ruangan kamar. Ia seperti tengah mencari-cari sesuatu. Lalu ia melihat ke arah samping dan ternyata memang kosong tidak ada siapa-siapa. Harnum memegang keningnya, ia masih bisa merasakan bekas kecupan itu.
‘Aneh sekali, mengapa aku merasakan begitu nyata seperti ada yang memelukku dan mencium keningku. Apakah aku bermimpi? Dan itu adalah Mas Reno yang memeluk dan menciumku?’