Oleh: PennaYellow
Sesampainya di rumah, Mbak Ratih langsung merebahkan tubuhnya di kursi ruang tamu.”
Capek juga yah,” keluh Mbak Ratih seraya menghela nafasnya.
Aku memandang malas Mbak Ratih karena aku masih merasa kesal padanya.
“Udah pulang?” tanya Bapak dari dalam. Terbesit ada senyum tipis yang mendarat di bibir Bapak.
“Udah Pak, capek banget. Pegel lagi, lumayan jauh juga ternyata rumah Pak Kamil,” sahut Mbak Ratih dengan malas.
“Sekali-kali. Kan ga tiap hari, ini juga demi adik kamu,” cetus Bapak.
“Terus gimana Mir?” tanya Bapak.
“Gimana apanya, Pak?” tanyaku malas.
Selain merasa lelah, aku juga merasa kecewa dengan sikap Bapak. Diam-diam Bapak meminta bantuan Bu Santi untuk merencanakan hal ini.
“Ya itu, setelah kamu diruqiyah, ada perubahan ga?” sambung Bapak.
“Perubahan apa Pak? Mira biasa aja, lagian Bapak sama Mbak Ratih kenapa pake bohong segala sih, sama Mira? Bapak sama Mbak kan bilangnya cuma nemenin Bu Santi aja ke rumah temannya, taunya Mira malah diruqiyah di sana,” keluhku.
“Kalo Bapak jujur, apa kamu mau berangkat?” balas Bapak sembari berjalan untuk duduk.
“Lagian, Bapak ngelakuin ini juga buat kebaikan kamu Mir, biar kamu cepet dapet jodoh, cepet menikah,” lanjut Bapak.
“Iya Mir. Udah deh, kamu jangan banyak protes lagi, yang penting sekarang kamu itu udah bersih,” timpal Mbak Ratih.
“Udah bersih? Emangnya selama ini aku kotor Mbak?” seruku.
“Ya bukan gitu, tapi jin yang ada tubuh kamu ini sekarang udah ilang, kan udah diruqiyah tadi sama Pak Kamil,” balas Mbak Ratih.
Aku menghela napas dalam-dalam dan menelan salivaku sendiri. Aku sendiri masih ragu, apa benar bahwa memanh ada jin kiriman orang yang masuk ke tubuhku?
“Sudah, sudah, lebih baik kalian istirahat sekarang,” perintah Bapak.
Malam harinya aku merasa sangat lelah, setelah selesai sholat Isya aku merasa sangat mengantuk, biasanya sebelum tidur aku selalu membaca novel dulu atau membuka ponselku untuk mengecek apakah ada pesan masuk atau tidak. Namun entah mengapa, malam itu aku langsung terlelap.
Malam pun semakin larut, aku terbangun karena suara seekor jangkrik lagi, aku melihat ponselku, waktu menunjukkan pukul 02.30 dini hari. Lagi-lagi suara jangkrik itu seolah dengan sengaja membangunkanku. Aku bangun, lalu entah mengapa aku langsung teringat kejadian di rumah Pak Kamil. Apa benar ada sesuatu di tubuhku, seperti yang dikatakan Pak Kamil? Aku memutuskan untuk ibadah malam lagi. Selain sholat tahajjud aku pun melakukan sholat taubat, berharap agar dosa-dosaku diampuni, ku tumpahkan semua yang aku rasakan dalam sujud dan doaku.
“Kalo aku tidur lagi aku pasti telat sholat subuhnya,” pikirku setelah melihat ponsel.
Setelah sholat malam, aku membuka lagi kitab suciku, kitab yang sering kulantunkan di setiap malam minggu. Entah mengapa, waktu itu aku merasa ada getaran dalam hatiku ketika aku membaca lembar demi lembar ayat-ayat suci Al-Qur’an. Tak terasa azan subuh pun berkumandang, aku menyudahi membacaku lalu bersiap untuk melakukan sholat sunnah serta wajibku di waktu subuh.
“Ya Allah, apa ini teguran untukku. Rasanya sudah lama aku tidak bangun malam untuk melakukan ibadah, itu pun karena adanya suara jangkrik yang seolah sengaja membangunkanku, dan hanya seminggu sekali pula kulantunkan ayat sucimu. Sekarang, dalam keadaan kalut dan sedihku, tanpa malu aku datang kepadamu. Sungguh, aku merasa tidak tau diri,” lirihku dalam hati.
Tak terasa air mataku berlinang ketika aku menyadari bahwa ternyata aku jauh dari penciptaku. Aku hanya menjalankan ibadah wajib saja lalu fokus untuk urusan duniawiku. Kini aku bertasbih, berharap Allah mengampuni dosa-dosaku.
Hari itu aku bersiap untuk berangkat bekerja. Rasanya tubuhku lemas, mataku juga sedikit sembab karena setelah sholat malam aku memutuskan untuk tak tidur lagi.
Tok tok tok.
Pintu kamarku diketuk.
“Mas Benny,” ucapku setelah membuka pintu.
“Mir, Mas pinjem uang dong. Mas hari ini ga kerja,” ucap kakak laki-laki ku itu.
“Minjem uang? Buat apa Mas?” tanyaku.
“Ya buat makan lah, Mas kan ga kerja. 50 ribu aja, buat makan siang terus buat beli rokok juga,” jawab Mas Benny.
Aku sedikit menghela napas.
“Lagian Mas kenapa ga kerja sih?” tanyaku.
“Mas kesiangan, semalem anak-anak ngajakin nongkrong,” jawab Mas Benny dengan entengnya.
Sebenernya, aku sudah sangat lelah menghadapi kelakuan keluargaku, terutama Mas Benni. Mas Benny memang sedikir bar-bar, mungkin karena faktor pergaulan dan juga lingkungan.
“Ga ada Mas, aku belum gajian,” ujarku. Memang saat itu uangku hanya sisa sedikit, apalagi mau akhir bulan, seperti biasa, aku harus menghemat agar sisa uangku cukup sampai aku gajian bulan berikutnya.
“50 ribu masa ga ada sih Mir? Nanti Mas ganti,” sungut Mas Benny.
“Aku belum gajian Mas, uang aku juga tinggal sedikit. Lagian Mas kan tau, kalo keperluan di rumah ini aku yang tanggung semua, mulai dari makan bahkan Mas Benny juga kadang suka minta uang sama aku buat beli bensin kalo berangkat kerja. Udah aku yang ngerjain semua kerjaan rumah, semua keperluannya juga aku yang nanggung,” keluhku yang rasanya tak tertahankan untuk dipendam.
“Oh, jadi sekarang kamu mau itung-itungan? Kalo ga mau ngasih pinjem yaudah, ga usah pake ngungkit-ngungkit kayak gini,” seru Mas Benny.
“Bukan gitu Mas, aku ga bermaksud mau ngungkit-ngungkit. Tapi kan emang kayak gitu kenyataannya. Kadang aku juga ngerasa capek, semuanya harus aku yang tanggung jawab. Lagian Mas Benny kenapa ga minjem sama Rena aja? Rena kan juga kerja, pengeluaran Rena malah lebih sedikit daripada aku,” saranku.
“Males ahh, minjem ke si Rena cuma capeknya doang. Kalo pun dia punya duit juga, ga bakalan dia mau minjemin, dia kalo abis gajian suka langsung belanja ga jelas. Kamu beneran ga bisa minjemin Mas uang 50 ribu? Nanti Mas ganti, kamu tenang aja,” tanya Mas Benny.
“Mas, uang aku tinggal sedikit lagi dan ini juga buat kebutuhan rumah sehari-hari,” Jawabku.
“Besok Mas ganti, besok Mas kerja, pulang kerja Mas langsung gantiin,” ucap Mas Benny.
“Tapi yang kemarin-kemarin aja Mas belum gantiin. Mas juga selalu janji kayak gini, tapi sampe sekarang belum dibayar juga,” ucapku mengingatkan.
Sebenernya aku sudah mengiklaskan, aku pun tidak sampai hati untuk menagihnya. Bagaimana pun Mas Benny adalah kakakku. Mas Benny memang bukan hanya sekali dua kali meminjam uang seperti ini kepadaku, kadang jika ia ingin pergi nongkrong bersama teman-temannya, Mas Benny kerap kali meminjam uang untuk membeli rokok dan juga kopi. Aku sebenernya tidak keberatan jika Mas Benny ataupun Bapak meminta uangku untuk keperluan mereka, tapi kebiasaan mereka adalah merokok. Setiap kali Bapak dan Mas Benny meminta uang, pasti akan mereka belikan rokok, dan aku sangat tidak senang melihatnya, mengingat rokok dapat membahayakan tubuh.
“Ya ampuun Mir. Yaudah nanti sekalian bayarnya. Mas sekarang ga megang uang sama sekali, lagian kamu kenapa sih pelit banget sama Mas? Kalo orang lain yang minjem aja kamu langsung kasih,” tutur Mas Benny.
“Ya itu karena mereka bener-bener butuh Mas,” jawabku. Memang ada beberapa tetangga yang kadang meminja uang padaku untuk kebutuhan mereka, dan hal itu tidak bisa disembunyikan dari keluargaku.
“Ya Mas juga butuh, sekarang. Udah deh, cuma 50 ribu doang juga. Nanti Mas ganti, kamu ga usah takut,” decak Mas Benny.
Aku menarik napasku dalam-dalam, aku memang sudah terbiasa dengan nada suara Mas Benny yang terdengar kasar.”Gini aja Mas, gimana kalo Mas anterin aku ke kantor. Jadi aku ga perlu naik ojek, nanti aku kasih uang 50 ribu ke Mas Benny,” usulku.
“Jadi kamu mau samain Mas sama tukang ojek? Kamu mau Mas jadi tukang ojek kamu, gitu?” Seru Mas Benny.
“Ga gitu Mas, tapi kan kalo Mas Benny yang nganterin, aku kan jadi lebih irit. Uang aku juga tinggal sedikit,” tuturku.
“Ohh, jadi bener yah yang dibilang orang-orang. Kamu itu sombong, mentang-mentang kuliah, sarjana, kerja di kantoran jadi kamu bisa seenaknya nganggap rendah orang lain,” tuduh Mas Benny.
“Loh, Mas Benny ngomong apa sih Mas, kenapa jadi ngelantur kayak gini?” tanyaku.
“Ngelantur gimana? Emang bener, kalo kamu itu sombong, mentang-mentang kerja di kantoran, sarjana, kamu jadi seenaknya kayak gini, Mas mau minjem duit aja harus anterin kamu dulu,” hardik Mas Benny.
Sungguh aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku hanya bisa menarik nafas panjang dan mencoba untuk memahami kakak laki-laki ku itu.
“Ya udah, aku ambil dulu uangnya,” ucapku pasrah.
Aku meraih tasku, lalu ku ambil uang kertas berwarna biru itu.
“Ini Mas uangnya,”
“Gitu dong, dari tadi kek kamu. Pake harus ribut segala, ribet tau ga,” erang Mas Benny.
Mas Benny langsung pergi, lagi-lagi aku hanya bisa menarik napasku.
Mas Benny bekerja di sebuah toko material. Aku dan Mas Benny dulu satu sekolah, saat itu aku masih kelas 1 SMP, sedangkan Mas Benny sudah kelas 3, karena jarak umur kami hanya selisih 2 tahun. Mas Benny terpaksa dikeluarkan dari sekolah karena ikut aksi tawuran bersama teman-temannya. Mas Benny tidak bisa pindah ke sekolah mana pun, dan tidak ada sekolah yang mau menerimanya, karena saat itu sudah mendekati waktu ujian sekolah. Alhasil, sekolah Mas Benny pun tertunda, dan akhirnya Mas Benny enggan untuk melanjutkan sekolah lagi.
Aku merapikan bajuku dan menarik tasku ke atas pundak.
“Mir, mau berangkat kerja yah?” teriak Bu Lela yang tengah menjemur pakaiannya.
Baru saja aku akan melangkah keluar, sudah ada yang menyapa.
“Iya, Bu Lela,” jawabku sambil tersenyum.
“Rajin banget jam segini udah mau berangkat aja,” ujar Bu Lela.
“Iya. Saya takut macet, makanya berangkatnya lebih pagi,” balasku
“Mir, kalo bisa kamu jangan terlalu sibuk kerja, pikirin juga soal jodoh sama nikah. Itu si Yuni aja udah hamil loh sekarang, padahal umurnya dibawah kamu,” sindir Bu Lela.
Seperti biasa aku hanya tersenyum mendengar ucapan dari tetangga ku itu.
“Iya, tiap orang kan jalan hidupnya beda-beda Bu. Terus soal jodoh juga kita kan ga ada yang tau,” balasku.
“Kamunya kali yang kebanyakan milih. Kata Bapak kamu, kamunya yang sering nolak laki-laki tiap kali dikenalin,” cibir Bu Lela.
Aku pun tersenyum kembali seraya sedikit menunduk.
“Bukannya saya mau pilih-pilih Bu, tapi mungkin belum ada yang cocok aja,” ucapku.
“Kalo ngomongin cocok ya ga akan ada yang cocok Mir, yang ada itu saling melengkapi. Lagian kamu tau dari mana ga cocok? Kamu aja belum ngerasain seperti apa itu menikah,” lanjutnya.
Aku mengulum senyumku seraya sedikit menunduk, entah harus bersikap seperti apa lagi untuk menghadapi tetanggaku ini.
“Iya Bu Lela, doain aja yah. Saya permisi yah Bu, takut telat,” ucapku dan gegas pergi.
Entah sampai kapan orang-orang akan terus mengurusi hidupku. Pagi-pagi yang cerah yang seharusnya bisa ku nikmati untuk bisa lebih bersemangat malah dipatahkan dengan ucapan tetanggaku yang selalu usil.