Oleh: PennaYellow
Aku tengah bersiap untuk berangkat ke kajian, seperti yang sudah ku jadwalnya sebelumnya dengan Risa. Aku memilih baju gamis berwarna kuning kunyit dan dengan kerudung yang senada berwarna kuning, namun bermotif. Ini adalah kali pertamanya aku mengikuti kajian, aku kembali merasakan sesal karena dulu pernah menolak ajakan Ira untuk mengikuti kajian itu. Seharusnya dulu aku tidak terlalu fokus mengejar duniaku, tapi kini aku seakan tersadar bahwa ilmu akherat sangatlah penting untuk keberlangsungan hidupku. Aku melihat diriku di pantulan cermin, aku merapikan kerudungku, dan memastikan bahwa kerudungku sudah menutupi sebagian tubuhku, agar aku juga bisa merasa nyaman dan leluasa saat mengikuti kajian nanti.
Setelah siap aku keluar dari kamar dan bersiap pergi.
“Mbak, mau ke mana Mbak? Rapi banget?” tanya Rena seraya melihat penampilanku dari atas kepala hingga bawah kakiku.
“Mbak mau keluar Ren, Mbak ada janji sama temen Mbak,” jawabku seraya menarik tasku ke atas lenganku.
“Keluar sama Mbak Rini, sama Mbak Meyra?” tanya Rena menebak.
Rena memang tau bagaimana kedekatan dan keakrabanku dengan Rini dan Meyra. Kedua teman kerjaku itu memang beberapa kali pernah berkunjung ke rumah, Rena yang memang ramah dan ceria kerap kali mengobrol dengan mereka, dan ditambah lagi Rini merupakan mantan tetanggaku, meskipun rumah kita sedikit jauh, namun kini Rini sudah pindah dan memutuskan tinggal di rumah mertuanya.
“Bukan, Mbak mau keluar sama temen Mbak yang lain,” jawabku.
“Emang Mbak punya temen yang lain?” celetuk Rena.
Aku langsung menoleh dan sedikit mengeryit.
“Ya punya lah Ren. Dari Sd sampai Mbak kuliah Alhamdulillah, Mbak masih berhubungan baik sama temen-temen Mbak. Oh iya, Bapak mana? Mbak mau pamitan dulu sama Bapak,” tanyaku
“Bapak kayaknya masih di kamar mandi deh,” jawab Rena seraya menoleh ke belakang.
“Ya udah, nanti kamu bilangin aja yah sama Bapak kalo Mbak pergi keluar,” pesanku.
“Iya Mbak, nanti kalo Bapak nanya aku bilangin,” balas Rena.
“Yaudah, Mbak berangkat dulu yah,” ucapku
“Mira..! Udah rapi aja, mau ke mana?” teriak Bu Feni.
“Mau pergi Bu Feni, saya duluan yah,” jawabku dan langsung melengos pergi. Terlihat di ekor mataku, mimik wajah Bu Feni langsung berubah kesal.
Memang Bu Feni terkenal kepo dengan urusan orang lain. Aku sudah malas sekali mendengar ucapan atau pun pertanyaannya, yang terkesan selalu menyindir dan mencibirku. Hidup di kampung memang penuh dengan omongan yang tidak enak, aku sangat terlatih mendengar ucapan dari para tetanggaku, yang kadang kali mengganggu pikiran dan hatiku.
Aku pun sampai di taman anggrek, aku mengedarkan mataku untuk mencari sosok Risa. Namun aku tak melihat sosok wanita muda bergamis yang dikatakan Ira, hanya ada sepasang suami istri yang tengah mengasuh buah hatinya. Aku lalu mengambil ponselku.
“Maaf Mbak, Mbak Mira yah?” tanya seorang gadis yang tiba-tiba menghampiriku. Aku tak sempat mengambil gawaiku, aku melihatnya dari bawah kaki hingga ke kepalanya. Seoranng gadis muda dengan perawakan tinggi dan terlihat ramping.
“Iya, Risa yah?” balasku.
“Iya Mbak, saya Risa temennya Mbak Ira,” jawabnya sambil mengulurkan tangannya.
“Saya Mira. Salam kenal yah,” balasku lalu menjabat tangannya.
Risa yang menggunakan baju gamis yang panjangnya hingga hampir menutupi kakinya, dan juga memakai kerudung panjang sampai ke bagian pinggang, serta memakai tas yang digendong di punggungnya. Ira mengatakan, bahwa Risa suka sekali ikut kajian dan ia juga sangat ramah. Melihat sosok Risa, aku sangat berharap aku punya teman baru yang bisa mengajakku pada kebaikan.
Aku dan Risa lalu masuk ke sebuah majelis taklim, lalu kami mengikuti kajian hari itu. Entah kebetulan atau bukan, kajian saat itu bertema tentang kesabaran dalam hidup. Aku mendengarkannya seraya mengoreksi diriku sendiri, ternyata aku masih jauh dari rasa sabar. Ustadz yang di depan menjelaskan dengan lembut dan bijak, kata-katanya seakan membuat hati terenyuh, ilmu yang disampaikannya pun begitu masuk ke hati dan logika. Selaras dan sejalan dengan kehidupan yang tengah aku alami. Aku merasa, seperti mendapat pencerahan dari kajian itu.
“Ayo, Mbak,” ajak Risa.
Setelah kajian selesai, aku dan Risa keluar dari Majelis dan bersiap untuk pulang.
“Hei Ris,” sapa seorang pria pada Risa.
“Mas? Loh, Mas ikut kajian juga?” balas Risa seakan terkejut dengan kehadiran pria itu.
“Iya, tadi Mas agak telat sih sedikit. Kamu mau kemana?” tanyanya.
“Mau pulang, kan kajian udah selesai,” jawab Risa.
“Emm, kirain mau main,” ucapnya yang terdengar meledek Risa.
“Mau maen kemana,” lontar Risa sedikit malas.
“Besok mau ikut kajian lagi, kan?” tanya pria itu.
“Insya Allah Mas. Mas juga mau ikut?” balas Risa.
“Insya Allah, jika Allah ngasih Mas kesehatan dan kesempatan buat dateng ke sini lagi, Mas usahain dateng, sayang ilmunya kalo dilewatin,” jawabnya.
Risa tersenyum seraya mengangguk.
“Oh iya. Kenalin Mas, ini Mbak Mira, tadi aku dateng sama Mbak Mira. Mbak Mira ini temennya Mbak Ira, Mas masih inget kan?”
“Ira? Oh, yang suka jalan sama kamu itu? Yang dulu, kalo abis pulang kajian, kamu sama dia sering banget jajan bareng?”
“Iya,” jawab Risa tersenyum seraya sedikit. memamerkan giginya.
“Oh iya Mbak, ini namanya Mas Adryan,” sambung Risa.
Aku tersenyum kecil pada pria itu lalu menunduk. Terlihat pria itu juga sedikit menunduk, seakan canggung dan sungkan menatapku.
“Tapi sekarang dia udah ga ikut kajian lagi karena kan udah punya bayi, katanya repot, terus dia kajianya jadi online deh di rumahnya sambil jagain anaknya. Nah, Mbak Mira ini, temen kampusnya Mbak Ira, katanya dulu temen deket pas di kampus, iya kan Mbak?” Sahut Risa membuatku langsung menoleh padanya.
Aku pun tersenyum kecil dan sontak menatap lagi pemuda yang tengah mengobrol dengan Risa itu. Ia pun terlihat seakan sungkan menatapku, pandangannya langsung menoleh ke bawah begitu pun denganku. Aku seperti tak berani menatap lama wajah pemuda itu, meskipun kenyataan tak bisa dibohongi, bahwa wajah pemuda itu amat memikat hati.
“Yaudah Mas, aku duluan yah. Ini udah mau sore aku takut dicariin Bapak,” lanjut Risa.
“Yaudah, kamu hati-hati yah Ris pulangnya,” balas pria bernama Adryan itu.
“Iya Mas. Assalamualaikum,” ucap Risa.
“Walaikumsalam warohmatullahi wabarakatuh,” jawabnya dengan padat.
Aku dan Risa berjalan bersama ke depan jalan Raya, melewati taman anggrek dimana kami janjian dan bertemu disana. Di jalan, terbesit dibenakku untuk menanyakan siapa laki-laki yang menyapa dan mengajak ngobrol Risa tadi. Apa hubungannya laki-laki itu dengan Risa? Kenapa Risa terlihat sangat akrab sekali dengan dia? Dan aku pun melihat jelas, laki-laki itu seperti peduli dengan Risa. Atau memang, Risa ada hubungan spesial dengan laki-laki itu? Namun sepertinya aku tidak punya hak untuk menanyakan hal seperti itu pada Risa, ditambah lagi aku juga baru mengenal Risa dari Ira, rasanya tidak pantas jika aku menanyakan atau membahas urusan pribadinya.