Oleh: PennaYellow
Keesokan harinya, aku, Rena dan Bu santi sudah tiba di sana. Rumah yang cukup besar dan ramai didatangi orang-orang.
“Assalamualaikum,” ucap Bu Santi.
“Walaikumsalam, eh Bu Santi akhirnya datang juga,” jawab seorang wanita paruh baya berjalan menghampiri.
Bu Santi disambut hangat oleh perempuan itu.
“Bu,” sapa Rena.
Aku dan Rena pun menyelami wanita yang bernama Narsih itu. Bu Narsih memakai baju gamis yang terlihat mewah dan glamour, serta beberapa cincin yang melingkar di jarinya, juga terdapat gelang serta kalung yang terpajang di tubuhnya.
“Ayok masuk, masuk,” ajak Bu Narsih.
Aku dan Rena lalu mengikuti acara hari itu. Acara yang memang bertemakan syukuran, Ustadz dan para tamu mendoakan untuk kesukseskan putri Bu Narsih. Lalu acara pun selesai sekitar pukul 12.00 siang. Aku dan Rena lalu duduk di taman belakang rumah Bu Narsih, sementara Bu Santi masih asyik mengobrol dengan ibu-ibu yang lain. Untungnya aku sedang datang bulan, jadi aku tidak harus meminjam tempat untuk melakukan ibadah sholat dzuhur.
“Mbak, kita sebenernya mau ngapain sih di sini? Aku udah bosen nih, pengen pulang,” rengek Rena.
“Mbak juga ga tau Ren, Mbak juga pengen cepet-cepet pulang,” balaskku malas.
Lalu Bu Santi dan Bu Narsih berjalan ke arahku dan Rena.
“Ini yang namanya Mira yah?” tanya Bu Narsih seraya menatapku seolah menunjuk dan bertanya kepadaku. Aku dan Rena memang duduk bersebrangan dan sedikit jauh.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum kecil pada Bu Narsih.
“Cantik juga ya ternyata,” fuji Bu Narsih.
“Kalo ini… adiknya yah?” lanjut Bu Narsih menunjuk Rena.
“Iya, Bu,” jawab Rena ramah.
“Wahh, tapi badannya lebih besar adiknya yah,” ujar Bu Narsih melihat tubuh Rena yang memang lebih tinggi dariku.
Aku pun langsung menunduk. Entah kenapa, aku langsung tersindir dengan ucapan Bu Narsih.
“Kalo Rena ini kebetulan memang tinggi, terus badannya juga berisi. Tapi itu kan biasa, rata-rata memang begitu, selalu adiknya yang lebih tinggi daripada kakaknya,” sahut Bu Santi.
“Iya ga apa-apa. Oh iya, Rama mana yah? katanya mau ke sini. Sebentar yah, Ibu panggilin Rama dulu, biar bisa ngobrol juga,” papar Bu Narsih.
“Ram …!” teriak Bu Narsih.
“Kamu yang tenang ya, Mir. Ga usah tegang,” ucap Bu Santi. Aku sedikit mengangguk.
Tak lama Bu Narsih dan sosok laki-laki yang bernama Rama itu pun datang.
“Nah ini anak Ibu, namanya Rama. Rama ini Mira, dan ini adiknya,” ujar Bu Narsih.
Laki-laki dengan tubuh yang tidak terlalu tinggi, sekitar 165 cm dengan kulit yang sawo matang tersenyum kepadaku dan Rena.
“Ya udah, kalian ngobrol-ngobrol aja yah biar lebih akrab. Ibu sama Bu Narsih mau ke dalem, soalnya ada yang mau diomongin. Biasa, obrolan ibu-ibu,” lontar Bu Santi.
Bu Santi dan Bu Narsih meninggalkan aku, Rena dan Rama. Kini kami bertiga tengah duduk bersama.
“Kamu katanya kerja di kantor yah?” tanya Rama membuka topik.
“Iya,”
“Udah lama? Bagian apa?”
“Udah tiga tahunan, bagian managemen produksi,”
“Oh, terus kalo kuliah jurusan apa?”
“Manajemen ekonomi,”
Rama terlihat mengangguk, lalu menoleh ke Rena yang tengah asyik memainkan ponselnya.
“Ini adik kamu?” tanya Rama.
“Iya,” jawabku.
“Mas,” sapa Rena tersenyum.
Aku melihat Rama memandangi Rena dari bawah kaki hingga ke kepala. Aku cukup mengerti bahwa Rama mungkin lebih menyukai penampilan Rena, terlebih tubuh Rena yang lebih tinggi dan berisi. Ditambah Rena juga memakai celana jeans dan kemeja yang terlihat sempit dan ketat, membuat setiap lekukan di tubuhnya terlihat menonjol, tak heran jika para kaum adam tertarik padanya. Sementara aku, memakai gamis terusan dengan hijab yang panjang menutupi dada. Persis seperti aku pergi ke kajian.
“Kalo kamu, kerja di mana?” tanyanya pada Rena.
Rena yang sedikit terkejut, sontak menoleh sejenak kepadaku. Seolah tengah ditodong oleh pertanyaan, karena tengah asyik memainkan gawainya.
“Aku Mas?” tanya Rena.
“Iya, kamu,” balas Rama
“Kalo aku, sekarang kerja jadi SPG kecantikan Mas,” jawab Rena.
“SPG kecantikan?” lanjut Rama.
“Iya, di toko kecantikan gitu, aku bagian sales, nawarin terus ngejelasin produk kalo ada yang nanya soal make up,” balas Rena.
“Oh gitu, pantesan aja. Berarti kamu pinter dandan dong?” sahut Rama.
“Kalo dandan sih bisa, cuma ga jago-jago banget juga, Mas,” balas Rena.
“Tapi kamu kelihatan cantik sih, meskipun make up kamu udah lumayan luntur gitu. Style kamu juga bagus, pas di badan kamu,” tutur Rama.
Rena terlihat mengulum senyumnya seraya melihat baju yang ia kenakan.
“Kalo ini memang sengaja make up tipis-tipis, soalnya tadi disuruh buru-buru,” sahut Rena dengan polosnya.
“Disuruh buru-buru? Sama siapa?” tanyanya.
Rena pun menoleh kepadaku.
“Sama Bapak sih, soalnya takut Bu Santi nungguin,” jawab Rena.
Rama hanya mengangguk.
Saat itu sungguh aku tidak punya pertanyaan apapun tentang Rama, aku juga merasa kurang nyaman, padahal sudah ada Rena yang menemani. Rasanya aku hanya ingin segera pulang. Lagipula, aku merasa Rama lebih tertarik pada Rena, kenapa mereka tidak mengobrol berdua saja?
***
“Assalamu’alaikum,” ucapku.
“Walaikumsalam,” jawab Bapak dari dalam.
Aku dan Rena akhirnya pulang dan sampai di rumah.
“Kalian sudah pulang?” tanya Bapak yang langsung menghampiri.
Aku melihat lagi ada senyum kecili yang terbesit di sudut bibir Bapak.
“Gimana tadi? Ketemu sama anaknya Bu Narsih?” sambung Bapak dengan semangat.
“Iya Pak, ketemu,” jawabku malas seraya duduk.
“Hmmm, ya ampuun capek banget, gerah lagi,” keluh Rena dan merebahkan tubuhnya.
Rena juga langsung melepaskan kerudungnya.
“Terus gimana? Mir, kamu ngobrol apa aja sama anaknya Bu Narsih?” lanjut Bapak seolah penasaran.
“Ya ngobrol biasa aja, Pak,” balasku.
“Biasa aja gimana? Terus kamu Rena, kamu ngapain aja di sana?” Sahut Bapak.
“Jadi kambing conge lah Pak, ngapain lagi,” sungut Rena dengan malas.
“Apaan sih kamu Ren, sama Bapak jawabnya kayak gitu,” decakku.
“Ya abisnya Bapak nanya-nanya terus, udah tau lagi capek. Nanti kalo ada acara-acara kayak gini lagi, Rena ga mau ikut ahh, capek. Mbak Ratih aja tuh,” seru Rena lalu meleos ke kamarnya.
“Anak itu yah,” keluh Bapak.
“Jadi tadi kamu ngobrol Mir, sama anaknya Bu Narsih?” tanya Bapak lagi.
Aku menghela nafasku dulu.
“Iya Pak, tadi Mira emang ngobrol sama Rama. Ya cuma ngobrol biasa aja, kan baru ketemu,” jawabku.
“Terus tadi pulangnya dianterin?” lanjut Bapak.
“Dianterin siapa Pak? Mira kan pulang bareng Rena sama Bu Santi,” balasku.
“Ya kali aja, kamu pulangnya dianterin sama si Rama. Kalo si Rena kan bisa minta jemput ke si Rendi,” lontar Bapak.
“Tadi itu banyak sodaranya Bu Narsih pada dateng, aku sama Rena ga enak, jadi kita mutusin buat pulang. Lagian Bu Santi juga tadi ada perlu katanya, jadi harus buru-buru pulang juga,” balasku.
“Oh, yaudah. Yang penting kamu sekarang udah ketemu sama si Rama itu,” ujar Bapak.
Aku menoleh ke Bapak sebentar.
“Yaudah, Mira ke kamar ya Pak. Mira mau istirahat,”
Akhirnya aku bisa istirahat juga di kamar. Entah esok-esok akan seperti apa lagi, yang penting sekitar Bapak sudah jauh lebih tenang, tidak meraung lagi seperti biasanya kepadaku perihal jodoh. Aku pun jadi bisa beristirahat dengan tenang.