Oleh: PennaYellow
Setelah sholat zuhur aku buru-buru merapikan mukenaku dan gegas ke majelis untuk mengikuti kajian. Kebetulan Masjid tempatku sholat dan Majelis tempat kajian merupakan satu gedung dan hanya dibatasi dengan tembok, dan begitu aku membuka pintu dan masuk ke dalam Majelis, hampir semua orang yang ada di kajian itu menoleh ke arahku dan melihatku. Ternyata kajian sudah mulai dan tentunya sudah ramai. Sontak aku pun merasa malu dan canggung, terlebih kaum adam pun ikut menoleh dan melihatku. Aku gegas menghambur, menghampiri bagian tempat duduk wanita. Memang tersedia sekat di Majelis itu, sekat yang menggunakan papan pembatas yang tidak begitu tinggi, hanya bertujuan untuk memisahkan antara barisan laki-laki dan perempuan.
“Mbak,” panggil Risa secara berbisik. Aku pun menoleh
“Sini Mbak,” ajaknya.
Dengan gerakan perlahan dan ucapan permisi aku melewati para jemaah perempuan di kajian itu untuk mendekati Risa dan duduk di dekatnya.
“Aku pikir Mbak ga jadi ikut kajian,” bisik Risa.
“Iya, tadi aku ada perlu. Untungnya cuma sebentar sih,” balasku.
“Kalo boleh tau, Mbak habis ke mana emangnya?” tanyanya lagi.
Aku terdiam sejenak seraya menelan salivaku.
“Tadi.. aku diundang buat makan-makan di rumah kerabat, aku ga enak kalo ga dateng,” jawabku.
“Oh,” balas Risa memagut.
Aku tak sengaja menoleh ke samping kananku, terlihat seorang laki-laki yang langsung menunduk begitu aku menoleh. Papan sekat yang membatasi itu hanya sampai di pundak dan leher jamaahnya, sehingga wajah para jamaahnya di kajian itu masih terlihat oleh jamaah yang lainnya. Aku sedikit mengeryit, entah mengapa aku merasa laki-laki itu seperti tengah gugup, ia langsung menyembunyikan wajahnya dengan langsung menunduk. Lalu aku langsung membuka buku catatanku, karena setiap aku mengikuti kajian aku selalu menulisnya agar aku bisa membacanya lagi di rumah.
Setelah kajian selesai, aku dan Risa lanjut sholat Ashar. Kebetulan kajian hari itu sedikit lebih lama hingga sampai ashar.
“Mbak, sekarang mau ke mana dulu?” tanya Risa.
Tumben sekali Risa menanyakan itu, biasanya dia yang paling ingin buru-buru pulang setelah kajian selesai.
“Kemana yah,” jawabku bingung.
Aku pun melihat jam di tanganku.
“Udah sore Ris, kamu tumben nanyain mau ke mana. Biasanya kamu yang suka pengen cepet-cepet pulang,” balasku.
“Iya Mbak, aku lagi pengen jalan-jalan aja. Mumpung cuacanya juga lagi adem,” jawab Risa.
“Tapi kita mau ke mana?” tanyaku seraya melihat sekitarku.
“Mbak, kita duduk dulu yuk, di taman itu,” ajak Risa sambil menunjuk ke arah taman yang jaraknya tidak begitu jauh dari Masjid.
“Oh yaudah, yuk,” jawabku seraya mengangguk.
Aku dan Risa keluar dari Masjid lalu berjalan dan duduk di taman itu. Taman yang mirip seperti taman kanak-kanak dimana ada ayunan dan komedi putar yang terbuat dari besi.
Risa pun duduk diayunan itu lalu mengayunkan dirinya sendiri.
“Aku kayak masa kecil kurang bahagia yah Mbak, duduk di sini?” ujar Risa sambil tetap mengayunkan dirinya.
“Engga lah Ris, naik ayunan kan emang enak. Ga cuma anak kecil aja yang suka,” balasku seraya duduk di ayunan sebelah Risa, aku pun ikut mengayunkan diriku namun tidak sekencang Risa.
“Mas,” panggil Risa pada laki-laki yang tengah berjalan.
Laki-laki itu pun menoleh dan berjalan menghampiri.
“Ya ampun, kayak anak Tk aja mainin ayunan kayak gini,” ujarnya.
Seperti yang pernah ku duga, Risa begitu akrab dengan laki-laki itu. Adryan, sosok kaki-laki yang di dalam kajian tadi. Yang langsung menundukkan wajah dan pandangannya begitu aku menoleh tak sengaja padanya. Dengan tinggi badan yang cukup tinggi, sekitar 173 cm dan berat badan yang ideal menurutku, dia tidak gemuk dan tidak kurus juga. Sosok laki-laki dewasa, dia selalu memakai kemeja yang berwarna sedikit gelap setiap kali kajian. Terlihat tubuhnya yang proposional dan kekar, terdapat juga jenggot yang tipis di bawah dagunya yang menambah aura dan kharismanya
“Yeee, ga apa-apa kali Mas. sekali-kali,” ujar Risa.
“Ya ga apa-apa, silahkan aja. Sekarang puas-puasin aja dulu mainnya, sebelum kamu resmi jadi seorang istri, apalagi kalo nanti langsung dikasih momongan,” ujar Adryan.
Mendengar itu, aku pun terkejut dan sontak langsung menoleh ke Risa. Apa maksud ucapan Adryan? Apa mereka akan segera menikah?
“Mas Adryan tuh yah, orang belum apa-apa juga. Nikah aja belum udah ngomongin momongan,” lontar Risa seraya memainkan ayunannya.
“Apa dugaanku benar? Jadi, sebentar lagi Risa mau menikah? Dengan Adryan?” gumamku dalam hati.
Entah mengapa, perasaanku seperti tidak karuan. Apa ini perasaan iri ku pada Risa, karena Risa akan lebih dulu menikah? Padahal umurnya di bawahku dan masih terbilang muda. Entah apa yang aku rasakan, mendengar Adryan berbicara tentang pernikahan pada Risa aku merasa sedikit cemburu. Tak bisa ku pungkuri, Adryan adalah sosok laki-laki yang baik, ia amat sholeh sejauh yang kulihat. Adryan bukan hanya sering mengikuti kajian, namun cara berpakaiannya pun rapi namun tetap sederhana, sikapnya yang santun, tutur bahasa yang lemah lembut, serta pandangannya yang selalu sopan dan terjaga.
Aku tersenyum kecil seraya menunduk, dibalik rasa cemburuku, tapi aku merasa bahagia ternyata Risa berhasil mencuri hati laki-laki yang ada di depannya. Risa dan Adryan memang sangatlah cocok, keduanya bukan hanya orang baik, namun terlihat seperti pasangan serasi yang saling menjaga satu sama lain dan selalu mengingatkan akan kebaikan. Sungguh, definisi jodoh yang sempurna dimataku.
“Udah sore, Mas duluan yah,” ucap Adryan setelah melihat jam tangannya.
“Iya Mas,”
“Yaudah, kamu hati-hati yah pulangnya, Ris,”
“Iya, Mas. Mas juga hati-hati yah,”
“Iya. Assalamualaikum,” ucap Adryan.
“Walaikumsalam,” jawabku dan Risa dengan kompak.
“Ya udah Mbak, kita juga pulang aja yuk, nanti kesorean lagi,” ajak Risa seraya berdiri.
“Ris,” ucapku dengan ragu.
“Iya, kenapa Mbak?”
“Kamu… mau menikah?” tanyaku.
Rasanya aku tidak sanggup menahan rasa penasaranku pada Risa. Aku merasa, aku sudah lumayan dekat, semenjak ikut kajian bersama Risa, aku banyak mengobrol dengannya. Jadi pikirku, sepertinya tidak ada salahnya jika aku menanyakan hal yang sedikit pribadi itu pada Risa.
Namun Risa langsung tersenyum begitu mendengar pertanyaanku.
“Ya mau lah, Mbak. Kayaknya semua orang juga mau menikah deh, apalagi nikah itu kan ibadah. Mbak juga pasti mau nikah kan?” tanyanya balik.
Aku pun sontak menoleh lalu tersenyum.
“Iya, tapi maksud aku… apa kamu, sebentar lagi mau menikah?” jelasku.
Risa mengernyitkan dahinya, seperti tengah berpikir.
“Kenapa Mbak nanya itu?” tanya Risa.
Aku sedikit terkejut dan juga canggung.
“Yaa.. cuma pengen tau aja. Soalnya kan, tadi kamu ngomongin soal nikah, terus kamu bahas soal bayi juga. Apa kamu.. mau nikah dalam waktu dekat?”
“Oh. Itu.. doain aja yah Mbak, semoga aku cepet dilamar terus dihalalin. Karena aku ga mau pacaran, soalnya kan pacaran itu dosa, bisa mendekati ke zina,” jawab Risa.
Aku tersenyum seraya menunduk.
“Kalo gitu… kenapa kamu ga bahas aja sama Adryan? Siapa tau.. setelah itu kamu langsung dilamar,” saranku.
Risa langsung mengeryit lagi.
“Maksud Mbak?”
“Ya.. coba komunikasiin, aku rasa Adryan juga bakalan ngerti,”
Risa masih mengeryit seraya berpikir.
“Yaudah, ga usah terlalu dipikirin. Itu cuma saran aku aja kok, kita pulang yuk,” ajakku seraya berdiri.
“Aku sebenernya pernah sih, bahas ini sama Mas Adryan. Tapi kan Mas Adryan juga ga bisa berbuat apa-apa. Jadi, aku cuma bisa nunggu,” ujar Risa.
Kini giliranku yang mengeryit.
“Maksud kamu? Mas Adryan ga bisa berbuat apa-apa?” tanyaku.
“Iya. Ya karena kan Mas Adryan…,”
Tiba-tiba ponsel Risa berdering. Risa lalu mengambilnya di dalam tasnya.
“Halo,” ucap Risa.
“Masih di tempat kajian,” ucapnya lagi.
“Hah? Ya ampuun, iya iya. Risa sekarang pulang, iya,” Risa langsung menutup teleponnya dan terlihat panik.
“Kenapa Ris?” tanyaku.
“Bapak Mbak, Bapak katanya asmanya kambuh, terus lebih parah, sampe ga bisa napas,” jawab Risa.
“Ya Allah, Ris,” ucapku.
“Katanya sekarang lagi mau dibawa ke rumah sakit. Ya udah Mbak, aku duluan yah pulang, kayaknya aku mau naik ojek online aja deh biar cepet, ” resah Risa lalu sibuk dengan ponselnya.
“Mudah-mudahan Bapak kamu ga kenapa-napa ya Ris,” ucapku.
“Amin, Mbak. Aku deg-degan deh jadinya. Ini sinyalnya mana lagi, kok tiba-tiba ilang,” ucap Risa.
Risa lalu sibuk menaikan gawainya untuk mencari sinyal.
“Pake Hp aku aja Ris, aku pesenin kamu ojek online yah,” saranku.
“Ya ampun, makasih ya Mbak,” ucap Risa.
Tak butuh waktu lama aku pun berhasil memesan ojek online untuk Risa.
“Udah Ris, ini kebetulan deket, masih disekitar sini,”
“Udah kamu tenang aja yah, kamu berdoa aja biar Bapak kamu ga kenapa-napa,” ucapku karena melihat Risa yang masih panik.
“Iya Mbak, aku tuh suka ga tenang kalo udah urusan orang tua. Apalagi Bapak suka kambuh penyakit asmanya,” tutur Risa.
“Mbak Mira?” ojek online yang ku pesan pun datang, menghampiriku dan Risa.
“Iya,” jawabku.
“Udah dateng Ris, kamu hati-hati yah,” ucapku.
“Makasih ya Mbak. Aku duluan, Mbak hati-hati juga ya pulangnya,” balas Risa.
“Iya,” ucapku seraya mengangguk.
“Assalamualaikum,” ucap Risa.
“Walaikumsalam, hati-hati yah,” jawabku.
Risa pun berlalu dengan menaiki ojek online.Terlihat Risa seperti menjaga jarak dengan duduk yang sedikit jauh dan tasnya ia simpan di tengah untuk membatasi dirinya dengan driver. Aku cukup mengerti mengapa Risa seperti itu. Semenjak ikut kajian, aku semakin mengerti mengenai etika berinteraksi, apalagi dengan lawan jenis. Selain keluarga dan saudara kandung, hubungan dan jarak antara laki-laki dan perempuan memang dilarang berdekatan, kecuali dalam keadaan tertentu atau terdesak.