Oleh: Roffiey
Siapa lagi kalau bukan si pria aneh dengan aura dingin yang menakutkan.
“Takdir …” Sembari memegang gelas minuman dia mengucapkan kata itu.
Ternyata langkahnya hari ini sesungguhnya bukan ingin ke cafe tersebut. Harusnya dia sudah mencabut satu nyawa lelaki biadab, penjudi dan juga tukang main perempuan. Tapi sejam sebelum tugas itu dia lakukan, tangisan seorang anak yang memohon keselamatan ayahnya menembus langit. Maka perintah untuk tidak membunuh ayah anak itu langsung turun dari dewa. Membuat si pria aneh yang ternyata adalah seorang malaikat maut, menjadi kesal.
Maka agar tak lari kemana-mana emosinya yang membara, dia putuskan untuk menenggak minuman segar di cafe yang tak sengaja dia temukan. Siapa sangka kalau ternyata dia bertemu dengan Eiko di sana.
Melihat Eiko sibuk diatur oleh temannya, yakni Suezu, membuat pria itu penasaran dan memutuskan untuk mendengar isi kepala Suezu.
“Bersiaplah kau, laki-laki brengsek! Berani menipu dan memfitnah sahabatku, maka tamat riwayatmu, Jun!”
Bertaut alis si malaikat maut. “Jun? Siapa dia?”
Berselang lima menit, orang yang ditunggu pun datang. Seorang lelaki tinggi berkacamata menggunakan kemeja rapi duduk tepat di hadapan Eiko.
“Oh, jadi itu yang namanya Jun,” gumam si malaikat maut.
Berpindah dari Suezu, sekarang dia putuskan untuk mendengar isi kepala Jun.
“Hehehe … Sudah kutebak, kau pasti tidak bisa lepas dariku. Kau terlalu mencintaiku, Eiko. Makanya sekarang kau mengajakku bertemu agar kita balikan.”
“Balikan? Oooh, jadi si dungu ini mantan pacarnya.” Si malaikat maut mengangguk paham. Kembali dia dengarkan isi kepala Jun.
“Sekalipun akhirnya kau tahu kalau aku sudah menikah, tapi pesonaku pasti sulit kau lepas. Sayang, istriku sedang hamil, kalau tidak, aku pasti mau kembali bersamamu, Eiko. Karena jujur, sedikit banyak aku memang mencintaimu.”
Naik sebelah alis si malaikat maut. “Ternyata dia seorang penipu. Brengsek!”
Melipat tangan di dada, si malaikat maut menjentikkan jarinya dan tepat lima menit, Jun melangkah keluar dari cafe itu.
Bergegas Suezu menghampiri Eiko ke mejanya. “Luar biasa, Eiko! Apa yang kau katakan padanya sampai si brengsek itu langsung mengakui semua kesalahan yang dia perbuat?”
Eiko menggeleng. Wajahnya menunjukan kebingungan. “Kan kau letakkan penyadap di gelasku. Aku bahkan belum bicara sepatah kata pun.”
“Aah, tidak masuk di akal.” Suezu mengerutkan dahinya.
“Tapi ya sudah lah, yang penting kita sudah punya bukti rekamannya,” lanjut Sue.
Masih dengan wajah bingung, tanpa sengaja sudut mata Eiko menangkap langkah seseorang yang sepertinya dia kenal. Namun saat ingin melihat lebih jelas, orang itu sudah lebih dulu keluar dari cafe.
“Sue, tunggu sebentar.” Eiko meninggalkan Suezu dan mengejar sosok itu.
Sayang, yang dikejar sampai dia mati pun tak akan mungkin bisa terkejar. Sebab hanya satu kedipan mata saja sudah menghilang.
“Aku yakin melihat dia tadi,” gumam Eiko di pintu masuk cafe.
“Atau … apa aku yang salah lihat, ya.”
Tiba-tiba Eiko teringat kalau dia tidak boleh memikirkan pria itu jika tak ingin dia muncul.
“Astaga! Aku lupa!” Eiko menepuk-nepuk dahinya.
“Hiii, jangan sampai dia muncul.” Sempat merinding, Eiko kembali masuk ke cafe.
Padahal tanpa Eiko tahu kalau sesungguhnya Si Malaikat Maut masih ada di sana. Hanya saja Eiko tak bisa melihatnya. Dia berdiri di balik tiang yang tidak jauh dari pintu keluar cafe.
Bukan sengaja bersembunyi, tapi hanya tidak ingin Eiko sampai tahu, kalau kebodohan Jun yang tiba-tiba mengakui semua kesalahannya adalah berkat bantuan dia.
Si Malaikat Maut menganggap kalau Eiko adalah mitranya sekarang, maka tak ada salahnya sesekali membantu si mitra tersebut.
Tak hanya sampai di situ, si malaikat maut juga membuat Jun menjadi bodoh sepanjang perjalanan. Padahal dia datang mengendarai mobil tapi justru pulang menaiki kereta bawah tanah. Dia meninggalkan mobilnya di parkiran cafe.
Jun baru sadar saat istrinya menelepon dan meminta dijemput.
“Ah, sial! Kenapa aku bisa lupa dengan mobilku!” Maki Jun pada dirinya sendiri.
Putar balik, lelaki brengsek itu justru tersungkur. Terguling tubuhnya di tangga stasiun bawah tanah. Kemejanya sampai terkena tumpahan kopi yang ada di lantai. Sungguh sial nasib Jun hari itu.
“Aaarkh … Brengsek! Ini pasti gara-gara aku bertemu dengan Eiko. Nasibku jadi sial terus menerus!” Lagi Jun memaki. Dia bahkan ikut menyalahkan Eiko.
Namun baru semenit dia menyebut nama Eiko, Jun kembali tersungkur. Bahkan saat dia baru saja hendak bangkit, lagi-lagi dia tersungkur. Berulang terus menerus sampai akhirnya dia pun menangis.
“Huwaaa … Apa-apaan semua ini? Kenapa kakiku jadi lemah begini? Baru berdiri sudah jatuh. Apa ini pertanda aku akan lumpuh? Huwaaaa …” Jun menangis seperti orang gila. Dan saat itulah si malaikat maut pun berhenti mengerjainya.
“Cih, pria bodoh! Kasihan kau, Eiko. Bisa-bisanya terjebak olehnya.” Sambil geleng-geleng kepala, si malaikat maut pergi dari sana.