Oleh: Ainii_Rahmatt
Sejak kecil Marni paling suka pada bunga. Hingga ia tumbuh dewasa akhirnya memilih pekerjaan sebagai pengrajin bunga, sibuk terhadap dunianya sendiri sampai lupa jika orang-orang sebaya dirinya telah menikah.
Marni memiliki kepercayaan bahwa jodoh akan datang sendirinya karena ia sebagai perempuan tidak perlu mengejar laki-laki, itu pemikiran Marni. Ia hidup sebagai anak tunggal, keluarganya juga biasa-biasa saja, tidak miskin, tidak pula kaya, tetapi usaha Marni sebagai pengrajin bunga cukup sukses untuk kehidupan sederhana mereka.
“Marni, kamu sudah 26 tahun, apa tidak ada pria yang mau kamu ajak menikah?”
Tiba-tiba saja di pagi hari yang baru terbit matahari ibunya bertanya hal itu, selama ini Marni tidak pernah mendengar orang tuanya mengungkit soal pernikahan.
“Sampai saat ini, Marni gak kepikiran sama sekali. Belum ada yang cocok,” jawabnya.
“Belum ada yang cocok atau tidak dicari?”
Kedua alis Marni terangkat, “memangnya harus dicari, ya? Kan jodoh di tangan Tuhan, bisa datang sendiri. Kalo Ibu mau, carikan saja jodoh buat Marni, asal tampan, baik, tidak terlalu kaya juga tidak masalah.”
Wanita paruh baya itu mengelus rambut putrinya, ia tersenyum dan mengangguk kecil.
“Kamu yakin?”
“Yakin, dong. Pasti pilihan Ibu gak akan salah, seperti Bapak. Bapak ‘kan baik, Ibu pinter cari jodoh, buat Marni … pasti dicari yang baik juga.”
Marni tertawa manis, ia tidak berpikir bahwa perkataannya akan dianggap serius oleh ibunya. Namun, tiba-tiba saja, setelah seminggu berlalu Marni dipertemukan dengan sosok pria bernama Andra yang datang bersama kedua orang tuanya.
“Mereka siapa, Bu?” bisik Marni di balik pintu dapur.
“Itu Andra, laki-laki yang Ibu dan bapak mau jodohkan sama kamu. Andra putra dari teman Bapak, dia kerja di perusahaan besar, gajinya lumayan, ganteng juga, kan?”
Memang tampan dan gagah, tetapi Marni cukup kaget bila omongannya benar-benar dituruti oleh sang Ibu. Sebab Marni menyadari bahwa hal ini terjadi karena ucapannya sendiri, ia tidak banyak bertanya lagi, melainkan mengikuti takdir yang sudah terjadi.
Awal pertemuan Marni, Andra, beserta keluarga pria itu terbilang sangat baik dan mulus. Bahkan, Marni merasa senang karena ia pikir pilihan ibunya memang tidak akan salah.
Proses pengenalan terjadi selama dua bulan, lalu Marni dan Andra melangsungkan pernikahan sederhananya di KUA, tidak diadakan secara meriah sesuai kesepakatan bersama antara kedua mempelai yang ingin menggunakan biaya pernikahan untuk membeli rumah mereka nantinya.
Hari pertama menjadi seorang istri, Marni melayani suaminya dengan sangat baik, terlebih lagi ia sudah jatuh cinta sejak keduanya melakukan perkenalan selama dua bulan ini. Namun, berbeda dengan Andra, ia masih belum menaruh perasaan untuk Marni, karena alasan itulah ia belum mau menyentuh Marni, tetapi sikapnya tetap baik seperti biasa.
Soal cinta, Marni sadar diri. Dia memberikan ruang pada Andra agar bisa menumbuhkan cinta terhadapnya secara perlahan. Lagi pula, mereka sama-sama tidak pernah berpacaran, pasti Andra bisa mencintainya jika terbiasa bersama, menurut Marni begitu.
Namun, di minggu kedua setelah pernikahan, Andra semakin jarang pulang ke rumah, alasannya lembur, banyak kerjaan di kantor. Marni tetap berpikir positif, apalagi tiap pulang kerja Andra kelihatan lelah.
Seiring berjalan waktu, cinta Marni makin tumbuh besar, juga semakin sedih karena belum melihat tanda cinta dari suaminya. Marni baru pertama kali merasakan jatuh cinta, jadi sulit bagi dia mengendalikan hati sendiri, Andra juga, dia belum mengatakan soal perasaannya, tetapi masih memperlakukan Marni dengan manis hingga menaruh harapan besar terhadap perempuan itu.
Sampai akhirnya ….
“Aku ada kerjaan di luar kota, mungkin akan lama pulangnya, kamu gak pa-pa ‘kan ditinggal sendiri di rumah?” ucap Andra sembari mengemasi barang.
“Mas, selama kita menikah, kamu jarang sekali di rumah, aku tahu kerjaan kamu banyak. Apa gak bisa kamu ambil cuti dulu? Kamu bilang mau belajar mencintaiku, tapi kalo sibuk terus, kapan tumbuhnya rasa cinta kamu?” tanya Marni amat hati-hati, ia sudah lama memendam perkataan ini.
Andra terdiam sejenak, lalu berbalik menghadap Marni.
“Aku menghargai kamu karena kamu putri dari teman baik ayah, aku juga mau bisa mencintai kamu, Marni. Tapi aku memang sibuk tahun ini, lagi pula pernikahan kita baru tiga bulan, masih ada banyak waktu. Kalo aku ambil cuti, bisa-bisa aku nggak naik jabatan di perusahaan, pada akhirnya, keuntungan dari kerja keras aku, kamu bisa ikut ngerasain juga, kan?”
Marni tak lagi bicara, ia cuma mengangguk saja. Lantas, dirinya membiarkan sang suami pergi meninggalkan rumah dengan alasan ‘pekerjaan’.
“Tapi, apa yakin kamu bakal punya waktu buat jatuh cinta sama aku, Mas?” ucapnya setelah melihat kepergian suami.
Satu minggu usai Andra pergi Marni masih sering mengobrol bersama suaminya itu lewat pesan WA atau telepon, tetapi ujung-ujungnya Andra susah dihubungi. Sampai di pertengahan bulan, Marni mendapat kabar bahwa kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan lalu lintas, ia segera bersiap pulang ke rumah orang tuanya dengan perasaan patah hati yang sangat besar.
Dalam kondisi begini, Marni membutuhkan sosok Andra sebagai suami untuk bantu menenangkannya, tetapi Andra tidak dapat dihubungi sama sekali. Hanya kedua mertuanya saja yang mendampingi Marni dalam rasa berduka ini.
Dia hanya wanita yang tidak punya banyak teman, tidak punya sanak saudara, kecuali ayah dan ibunya saja. Kini, ada suami pun seperti bukan suami.
Ketika Andra pulang setelah melalui hampir dua bulan lamanya, lelaki itu makin memperlihatkan watak aslinya, keras, dan tidak peduli terhadap istri sendiri.
“Aku tau kamu udah kerja keras, aku tau kamu punya banyak kerjaan. Aku tau kamu belum mencintaiku, Mas, tapi seenggaknya, sebagai suami, kamu bisa menghibur aku yang masih berduka karena kehilangan orang tua. Gimana pun juga kita suami istri, ibu aku, ibu kamu juga, bapak aku, bapak kamu juga!”
Malam Minggu turun hujan deras bersama tangis Marni yang pecah, dia tidak bisa menahan luapan perasaan yang mendidih dalam hatinya.
“Memangnya kenapa?! Manusia memang bakal mati, Marni! Kalo sudah mati, gak bisa hidup lagi! Kamu mau saya bagaimana? Saya sedang sibuk, jangan manja!”
“Manja kamu bilang? Aku cuman butuh ngobrol sama kamu, sepuluh menit juga cukup, tapi kamu selalu bilang apa? Sibuk? Memangnya kapan kamu gak pernah sibuk, Mas?”
“Ya sudah, bapak sama ibu kamu sudah meninggal. Kamu tidak senang karena kesibukan saya, kamu mau kita pisah?”
Mendengar kata ‘pisah’ membuat Marni terkesima, ia menunduk, meski marah dan kesal, ia tidak membohongi perasaannya, cinta itu ternyata menyakitkan.
“Kamu bilang cinta sama saya, tapi tidak bisa bersabar. Selama ini, saya masih memperlakukanmu dengan baik, kurang apa lagi? Sabar saja sedikit, Marni.”
“Sampai kapan? Kapan kamu cinta sama aku?” Nada bicara Marni lebih rendah dari sebelumnya, suaranya bergetar.
Andra menghela napas berat, ia berjalan meninggalkan Marni tanpa mengatakan apa-apa.
Setelah melihat perilaku Andra, Marni tetap tidak menyerah mencintai suaminya, selalu denial terhadap keadaan yang terjadi. Mungkin karena ini perasaan jatuh cinta pertama baginya sehingga membuat ia begitu polos dalam menghadapi situasi yang meracuni diri sendiri.