Oleh: Ailleciana
Livia Aurellia Putri tidak pernah menyangka harinya akan berubah menjadi bencana hanya karena satu kesalahan kecil.
Seharusnya, ini hanyalah hari biasa baginya. Bangun pagi, bergegas ke kampus, bekerja paruh waktu, lalu pulang untuk membantu ibunya di kedai kecil mereka. Namun, takdir sepertinya punya selera humor yang buruk.
“Astaga!” seru gadis itu.
Gelas plastik berisi es kopi yang dia bawa terlepas dari genggamannya, jatuh dengan sempurna ke dada seseorang—dan tentu saja, bukan sembarang orang.
Leonardo Arya Baskara.
Idola kampus. Anak keluarga terpandang. Lelaki yang memiliki wajah tampan dan selalu tampil sempurna. Dan kini, dia berdiri di hadapannya dengan ekspresi terkejut, melihat kemeja putih bersihnya yang kini berubah warna menjadi kecokelatan.
Seluruh kantin langsung menjadi hening. Tatap mata mereka menuju ke satu arah yang sama.
Livia menelan ludah. Napasnya tercekat saat Leo perlahan menatap ke bawah, memperkirakan kerusakan yang baru saja terjadi. Butiran es dari kopinya jatuh ke lantai, menciptakan genangan kecil yang semakin menegaskan kejadian ini.
Livia segera merogoh kantong celananya dan mengeluarkan beberapa lembar tisu. “Maaf! Aku benar-benar tidak sengaja,” ucapnya cepat sambil mengulurkan tisu tersebut ke Leo.
Alih-alih menerimanya, Leo menatap Livia dengan ekspresi datar. “Serius? Tisu? Kau pikir ini cukup?”
Livia mengerjapkan mata. “Aku … aku bisa mencucinya untukmu?” Suara gadis itu terdengar tidak yakin, kebingungan dengan apa yang harus dia lakukan.
Leo mendengus pendek. “Cuci? Kemeja ini harganya lebih mahal bahkan jika kau bekerja paruh waktu. Kau pikir dengan mencucinya, masalah selesai?”
Livia mengepalkan tangannya, menahan kesal. Oke, dia memang bersalah, tetapi apakah perlu lelaki di hadapannya meremehkannya seperti itu? Terlebih lagi, di depan semua orang yang ada di kantin?
“Kalau begitu aku akan menggantinya,” kata Livia dengan suara mantap, meskipun dalam hati dia sadar bahwa mustahil untuknya membeli kemeja itu. Dia juga paham bahwa membeli kemeja yang sama bukanlah hal yang bisa dilakukan dengan mudah.
Leo mengangkat sebelah alis. “Oh, ya? Dengan apa? Uang tabunganmu?”
Tawa kecil terdengar dari beberapa mahasiswa yang menyaksikan kejadian itu. Livia bisa merasakan wajahnya mulai memanas, tetapi dia menahan diri untuk tidak menunjukkan kelemahannya.
“Aku akan mencari cara,” ucap Livia akhirnya.
Leo menatapnya beberapa detik, sebelum akhirnya menghela napas panjang. “Lupakan. Aku tidak mau membuang waktu lebih banyak untuk hal ini.” Dia melepas kemejanya dan memasukkannya ke dalam tas, meninggalkan Livia yang masih berdiri kaku di tempatnya.
Livia mengembuskan napas panjang. Dia menatap noda kopi yang mengotori lantai sebelum buru-buru berjongkok untuk membersihkannya, berusaha mengabaikan tatapan orang-orang di sekitarnya. Hari ini benar-benar bukan hari yang baik.
* * *
Setelah kejadian itu, Livia berpikir bahwa insiden tadi akan segera dilupakan. Namun nyatanya, takdir belum selesai mempermainkannya.
Malam harinya, saat dia sedang membantu ibunya di kedai kecil mereka, segerombol pria berbadan tegap masuk dengan wajah tak bersahabat. Ibunya yang sedang melayani pelanggan langsung terdiam, ekspresinya menegang.
“Bu Dian, sudah waktunya bayar,” salah satu pria itu berkata dengan suara berat.
Livia yang sedang mengelap meja langsung berhenti bergerak. Dia menoleh ke arah ibunya, yang kini tampak lebih pucat dari biasanya.
“Tolong beri kami waktu sedikit lagi, Pak,” pinta ibunya dengan nada hati-hati.
Pria itu mendengus. “Kami sudah memberi cukup banyak waktu. Kalau tidak ada uangnya, lebih baik kedai ini tutup saja.”
Livia mengepalkan tangannya. Dia tahu betul masalah ini. Ayahnya, seorang pria yang sudah lama meninggalkan mereka, masih meninggalkan jejak kejahatannya dalam bentuk utang yang menumpuk. Dan sekarang, ibunya yang harus menanggung akibatnya.
“Kami akan membayarnya,” kata Livia akhirnya, suaranya terdengar lebih tegas daripada yang dia rasakan.
Pria itu menatapnya dengan tatapan meremehkan. “Oh, ya? Dengan apa? Gaji paruh waktumu?”
Livia merasakan déjà vu yang aneh. Kenapa rasanya seperti baru saja mendengar kata-kata itu hari ini?
“Atau mungkin kau akan menjual tubuhmu untuk mendapatkan uang?” ucap pria lainnya yang membuat Livia dan ibunya menoleh cepat kepada mereka.
Wajah Bu Dian, ibu Livia, memerah, geram mendengar ucapan pria tadi terhadap putrinya. Sedangkan Livia menahan dirinya sebisa mungkin agar tidak meledak dalam emosinya.
Saat suasana semakin memanas, suara lain tiba-tiba terdengar dari belakang mereka.
“Ada masalah apa di sini?”
Semua orang menoleh ke arah pintu. Dan di sanalah dia, berdiri dengan elegan, mengenakan pakaian yang semua orang tahu bahwa harganya selangit.
Leonardo Arya Baskara.
Livia memejamkan matanya, nyaris mengutuk nasibnya sendiri.
Leo berjalan mendekat dengan langkah santai, seolah situasi ini bukan apa-apa dan hanyalah hiburan baginya. Pria berbadan tegap itu melirik Leo dengan sedikit curiga, tetapi tidak berkata apa-apa.
“Aku harap kalian tidak sedang mengganggu keluarga ini lagi,” kata Leo dengan nada santai tapi tajam. Matanya menatap pria itu dengan penuh perhitungan.
“Ini bukan urusanmu, anak muda,” pria itu menyahut.
Leo tersenyum tipis. “Oh? Aku hanya bertanya-tanya. Soalnya, tempat ini punya makanan enak. Aku tidak ingin ada masalah yang merusak suasananya.”
Livia mengernyit, tidak mengerti kenapa Leo terlibat—melibatkan diri lebih tepatnya. Pria itu tampak menimbang-nimbang sejenak sebelum akhirnya mendengus dan mengangkat bahu. “Kami akan kembali dalam waktu dekat. Pastikan kalian sudah siap dengan uangnya.”
Setelah mereka pergi, ibunya menarik napas panjang, wajahnya masih tegang. Livia berjalan mendekati ibunya dan merangkul pundak wanita itu pelan. Dia bisa merasakan tubuh ibunya masih tegang. Keterkejutannya barusan bahkan membuatnya tidak menyadari ada Leonardo di sana.
“Ibu bisa masuk dan istirahat sejenak, aku bisa urus kedai sendirian,” ucapnya tenang, tidak ingin membuat sang Ibu lebih khawatir.
“Panggil Ibu jika ada apa-apa,” jawab Bu Dian dan Livia mengangguk.
Setelah memastikan ibunya keluar dari kedai, Livia menoleh ke Leo yang kini menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak.
“Kenapa kau ikut campur?” tanya Livia kemudian.
Leo mengangkat bahu. “Kau berutang padaku untuk kejadian pagi tadi. Anggap saja ini aku menagihnya sebagian.”
Livia memandang Leo dengan tatapan curiga, tetapi dia tahu tidak ada gunanya mendebat lelaki itu. Alih-alih berkata lebih lanjut, Leo menarik kursi dan duduk, menyilangkan tangan di dadanya.
“Aku lapar. Apa ada menu yang bisa kau rekomendasikan?” tanyanya ringan, seakan kejadian barusan tidak ada artinya bahkan tidak terjadi.
Livia mendecak pelan. “Kau pikir tempat ini restoran bintang lima? Kami hanya menjual makanan rumahan.”
Leo tersenyum kecil. “Justru itu. Aku penasaran seperti apa makan makanan milik kedai kecil seperti ini.”
Livia akhirnya menyerah. Dia masuk ke dapur, mengambil sepiring nasi goreng spesial buatan ibunya, lalu menyajikannya di depan Leo.
Leo mengambil sendok dan mencicipinya. Sejenak, ekspresinya berubah. Livia menunggu reaksinya dengan cemas.
“Ini … lebih enak dari yang kuduga,” bisiknya.
Livia menatap Leo dengan heran. Lelaki itu lalu melanjutkan makannya, seakan dia baru saja menemukan tempat makan favorit barunya. Namun, di tengah suapan berikutnya, Leo menatapnya dengan tatapan penuh arti.
“Kau belum tahu, kan?” ujarnya tiba-tiba.
Livia mengerutkan kening. “Tahu apa?”
Leo tersenyum samar, tetapi tak menjawab. Dia hanya melanjutkan makan, meninggalkan Livia yang kini dipenuhi rasa penasaran. Yang ditanya hanya melanjutkan makannya, seakan dia baru saja menemukan tempat makan favorit baru. Sementara itu, Livia hanya bisa menghela napas panjang, bertanya-tanya apa yang sebenarnya dipikirkan oleh lelaki itu.
Entah kenapa, dia merasa bahwa lelaki ini bukan sekadar pelanggan biasa yang mampir untuk makan. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi—sesuatu yang mungkin akan mengubah hidupnya selamanya.