Oleh: Rika Jhon
“Ehem … sedang apa kau di situ, Rully?!”
Rully terhenyak dan langsung melihat ke arah sumber suara. Ternyata itu adalah suara sang King Mafia. Rully merasa ketar-ketir, ia seperti dipergoki sedang mengintip istri orang. Dengan susah payah ia meneguk ludah.
“Sedang apa kau di situ?”
Albern kembali bertanya sembari memasukkan kedua tangan di saku celana, sementara Rully merasa seperti maling yang tertangkap basah. Dia sedang berpikir keras alasan apa yang tepat agar sang King Mafia tidak murka.
“King, maaf. Karena aku kemari tanpa menghubungimu terlebih dahulu. Aku kemari karena ingin membicarakan tentang bisnis tanah yang sedang kita jalani di pulau seberang.”
“Hmm … bukankah untuk masalah bisnis tanah itu sudah aku serahkan padamu dan aku percayakan padamu? Jadi silakan kau yang mengurusnya karena kau tahu sendiri aku sedang sibuk mengurus urusan pribadiku!”
Albern mengatakan itu seraya menatap Harnum yang tengah fokus membersihkan kolam renang, sedangkan Harnum tidak menyadari kehadiran Albern dan juga Rully.
“Rully, kau pun tahu jika aku sudah tidak ada waktu untuk mengurus bisnis maupun mengurus klan yang ada di Italia. Jadi aku hanya mempercayakan kepada kalian saja. Jika tidak ada yang mendesak aku tidak akan turun tangan. Aku percaya dengan kemampuan kalian.”
“Baik, King. Aku mengerti dan memahami situasimu.”
“Ya sudah, bagaimana kalau kita melakukan horseback archery saja? Aku sudah lama tidak bermain kuda sembari memanah.”
“King, aku juga sudah lama tidak berkuda sembari memanah.”
Akhirnya Albern dan Rully menuju ke horseback riding, yaitu tempat menunggang kuda yang memang tersedia. Albern akan menunggangi kuda jantan berwarna putih kesayangannya, dan dia pun sudah menyiapkan peralatan untuk berkuda sembari memanah.
Albern menggunakan alat panahan seperti bow, arrow, finger tab, armguard, stabilizer, dan side quiver, yaitu busur, panah, pelindung jari, pelindung lengan, peredam getaran dan kantong panah. Lalu dia menaiki kuda kesayangannya tersebut.
Albern memegang horse riding rein atau tali kekang kuda yang digunakan untuk memberikan perintah atau isyarat, seperti memperlambat kecepatan kuda, meminta berhenti, atau mempercepat laju kuda serta laju di belokan.
Kuda pun melaju dengan berlari kencang, sedangkan Albern sudah bersiap-siap untuk membidikkan panahnya ke arah target panahan yang berada di ketinggian dua puluh lima meter. Dia yang sudah lihai dengan kegiatan memanah dengan menunggangi kuda itu sangat semangat meluncurkan panahannya satu demi satu.
Bahkan terkadang Albern langsung membidik dengan dua sampai lima panahan sekaligus. Dan semua panahannya tersebut selalu tepat sasaran. Kuda putih yang ia tunggangi terus saja berlari memutar mengitari target panahan.
Akan tetapi, di saat Albern tengah fokus memanah tiba-tiba ia melihat Harnum yang sedang beristirahat dan meminum air. Amarahnya tiba-tiba langsung memuncak melihat itu.
“Hey! Wanita Sialan! Siapa yang menyuruhmu beristirahat dan minum, hah?! Kau memang harus diberi pelajaran. Kemari kau!”
Harnum bergegas menghampiri Albern. Ia menundukkan wajah, perasaannya sudah was-was dan khawatir dengan hukuman yang akan diberikan oleh Albern.
“Tolong maafkan aku, Tuan Al. Tadi aku sangat haus, jadi aku meminum air.”
“Kau harus aku hukum. Sekarang kau harus berlari mengitari lapangan ini dan aku akan memanahmu, tapi kau harus bisa menghindari anak panahku. Karena jika tidak, maka nyawamu yang terancam dan menjadi taruhannya sebab anak panah ini akan mengenai tubuhmu!”
Harnum pun langsung mengikuti perintah Albern. Dia berlari sekuat tenaga untuk menghindari setiap anak panah yang ditujukan padanya. Sebisa mungkin ia menghindari anak panah tersebut agar tidak mengenai tubuhnya.
Sementara Albern tertawa puas melihat Harnum yang tersiksa dan sudah kelelahan itu, sedangkan Rully menatap iba pada Harnum yang menjadi pelampiasan dendam sang King Mafia.
“King, maaf. Tolong hentikan. Kasihan Nona Harnum, aku tidak tega melihatnya.”
Ketika Albern mendengar ucapan Rully tersebut emosinya semakin memuncak. Ia semakin membabi-buta mengarahkan anak panah secara bertubi-tubi ke arah Harnum. Harnum yang berlari di kejauhan sejauh 30 meter dari tempat Albern itu tidak membuatnya kesulitan. Dia tetap dengan mudah untuk mengenai sasaran.
Sebenarnya jika Albern mau secara langsung mengenai Harnum, sangat mudah baginya. Karena walaupun jarak 50 meter dia masih bisa mengenai sasaran dengan tepat. Namun, dia tidak mau melakukan itu karena tidak mau permainannya segera berakhir. Oleh sebab itu, Albern memperlambat permainan tersebut dengan cara membuat Harnum berlari dengan susah payah untuk menghindari setiap anak panahnya yang ia luncurkan.
“Hahaha … aku sangat puas melihatmu menderita dan tersiksa, Wanita Jalang! Rasakan! Begitulah akibatnya jika kau telah berani mengganggu calon suami kakakku!” Albern semakin membabi-buta memanah Harnum. Ia benar-benar tengah dikuasai oleh amarah dan dendam yang menyelimuti jiwa.
‘Kau sudah menghancurkan kebahagiaan kakakku hingga dia dan keponakanku tiada. Dasar, wanita kalang kau! Reno, lihatlah istri tercintamu ini, nyawanya benar-benar ada dalam genggamanku. Aku sengaja tidak membunuhnya secara langsung karena aku ingin menyiksanya untuk melampiaskan semua dendamku terhadap dirimu!’
Albern terus saja mengarahkan anak panah tersebut ke arah Harnum, sedangkan Harnum sudah sangat kelelahan, napasnya sudah tersengal-sengal, ia hampir kehilangan napas karena benar-benar sangat lelah mengitari lapangan yang begitu luas untuk menghindari anak panah Albern.
‘Ya Tuhan, tolonglah aku. Aku rasanya sudah tidak kuat, aku sudah lelah rasanya. Tubuhku sakit semua. Apa yang harus aku lakukan untuk menghindari ini semua? Mas Reno, tolong aku. Aku sudah tidak kuat lagi, Mas.’
Tungkai kaki Harnum sudah tidak kuat menopang tubuh. Hingga akhirnya dia terjatuh dan terduduk di tanah, sementara Albern tetap mengarahkan anak panah padanya. Rully yang melihat itu membelalakkan mata karena jika Harnum sampai tidak bergerak dari tempat tersebut, maka tubuhnya akan terkena anak panah.
Ketika anak panah Albern sudah melesat mengarah ke arah Harnum, maka Rully pun melesatkan anak panahnya, sehingga kedua anak panah mereka beradu dan tidak mengenai tubuh Harnum. Harnum sangat ketakutan melihat itu dan langsung terkapar tak sadarkan diri. Rully yang melihat itu langsung menjalankan kudanya menuju ke arah Harnum.
Sementara Albern masih terdiam melihat peristiwa tersebut. Namun, ketika ia melihat Rully akan menyentuh tubuh Harnum, ia pun langsung mengarahkan panahnya, tapi menancap di tanah di hadapan Rully. Rully seketika melepaskan tangannya dari tubuh Harnum.
Tubuh Rully gemetar hebat, dia sangat ketakutan melihat kemarahan Albern. Dia sadar jika ini memang kesalahannya karena sudah berani-berani ingin menyentuh Harnum, sementara Albern sudah sering memperingatinya agar tidak menyentuh wanita tawanannya itu. Kini, Rully pasrah akan hukuman dari Albern.
“Jika kau berani menyentuh tubuh wanita itu, maka kedua tanganmu akan aku panah!”