Oleh: Rika Jhon
Albern terus saja mencaci maki Harnum, dan sumpah serapah yang ia lontarkan terdengar oleh Harnum.
Harnum bergegas masuk ke dalam gudang dan langsung membersihkan diri, lalu mengganti pakaian karena waktu sudah maghrib. Karena ia sudah melewati masa nifas, maka ia sudah mulai bisa melakukan ibadah.
Setelah selesai shalat, ia berdoa seraya menangis. Harnum mendoakan anak dan suaminya yang telah tiada. Tidak lupa ia pun mengaji untuk mengirimkan doa pada suami dan anaknya.
Sambil mengaji, tiba-tiba bayangan tragedi berdarah itu memenuhi pikirannya. Tanpa terasa cairan bening mengalir deras di pipinya.
Ketika Harnum sedang mengaji, tiba-tiba Albern masuk dan menendang pintu dengan sangat kencang. Harnum sangat terkejut dan langsung berdiri, sementara Albern yang dalam keadaan mabuk itu langsung menghampirinya.
“Dasar, wanita jalang! Mengapa kau mesti hadir di dalam kehidupanku!”
Harnum sangat terkejut mendengarnya, lalu dia segera melepaskan mukena dan merapikan alat shalatnya. “Tuan Al, ada apa?”
Albern bukannya menjawab pertanyaan Harnum, dia justru langsung menjambak rambut panjangnya dan mendorongnya hingga membentur dinding. Albern menghimpit tubuh Harnum, sehingga tubuh dan wajah mereka sangat berdekatan sekali.
Mata elang Albern terus menatap mata Harnum yang sangat teduh dan sendu. Harnum membalas tatapannya. Albern meremas kuat bahu Harnum dengan tatapan yang sangat sulit diartikan. Harnum memejamkan mata menahan rasa sakit. Namun, tiba-tiba wajah dan kepala Albern terjatuh di pundaknya. Harnum terkejut dan seketika membuka mata, karena Albern tidak melakukan pergerakan sama sekali.
Dengan susah payah dia berusaha mengangkat tubuh Albern yang berperawakan tinggi besar dan sangat bera. Ternyata Albern tidak sadarkan diri. Harnum berusaha menarik tubuhnya dan diletakkan di kasur yang usang. Dia melepaskan sepatu dan kaos kaki Albern yang masih menempel di kakinya.
Harnum memegang dahi Albern dan ternyata sangat panas. ‘Ya Tuhan, suhu tubuh Tuan Al sangat panas sekali, dia sedang demam tinggi. Lebih baik aku mengompresnya.’
Harnum bergegas menuju ke arah dapur. Ia mengambil air hangat dan handuk kecil, lalu dimasukkan ke dalam baskom. Ia mengompres dahi Albern dengan penuh kelembutan dan kesabaran.
Hingga waktu sudah larut malam, tapi Albern masih belum sadar juga. Harnum masih dengan penuh kesabaran dan tulus merawatnya. Walaupun matanya sudah sangat mengantuk dan tubuhnya terasa remuk redam, tetapi sekuat mungkin ia menjaga kesadarannya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Harnum sudah merasa sangat mengantuk tanpa sadar tertidur di samping Albern, tetapi dengan posisi tidur di lantai. Ketika pukul 03.00 dini hari Albern siuman dari pingsannya.
Albern merasa terkejut dan memegang kepalanya yang masih terasa sakit itu. Matanya mengedari sekeliling ruangan gudang hingga matanya tertuju pada sosok Harnum yang meringkuk kedinginan di lantai tanpa alas.
Dia pun bangun. Namun, dirinya terkejut ketika ada sesuatu yang terjatuh dari kening, yaitu handuk bekas kompresan. Albern langsung membuang handuk kecil tersebut, lalu segera bangkit dan berdiri sembari menatap Harnum yang tertidur pulas di lantai.
Albern kembali mengingat apa yang telah terjadi, lalu beranjak keluar dari kamar Harnum. Namun, saat ia telah sampai di ambang pintu, ia berhenti dan kembali melihat ke arah belakang. Ia kembali melihat Harnum yang masih tertidur pulas.
Perlahan kakinya melangkah mendekati Harnum, lalu membopong tubuhnya dan diletakkan di atas kasur. Setelah itu keluar dan masuk ke paviliun. ‘Apa yang telah terjadi padaku? Mengapa aku bisa tidur di kasur usang milik Wanita Jalang itu. Tubuhku pasti akan gatal-gatal karena alergi, huh!’
Ketika siang hari tiba, seperti biasanya Harnum sibuk mengerjakan tugas-tugas rumah. Saat itu dia sedang membersihkan halaman belakang. Namun, tiba-tiba suara lantang milik Albern mengejutkannya.
“Hey! Wanita jalang! Jika kau hanya bekerja seperti itu saja, terlalu enak hidupmu di sini. Sekarang kau ikut aku!”
Harnum seketika menghentikan kegiatannya, ia segera mengikuti Albern dari belakang. Ternyata Albern membawanya ke semak belukar yang masih ditumbuhi rumput-rumput liar. Dan itu merupakan tanah yang sangat luas. Itu semua membuat Harnum bertanya-tanya untuk apa Albern membawanya ke tanah kosong dan lebih tepatnya semak belukar itu?
“Maaf, Tuan Al. Mengapa kau membawaku kemari?”
Albern berkacak pinggang dengan nenatap nyalang pada Harnum. “Mulai sekarang, kau harus bertani!”
Harnum membelalakkan mata karena sangat terkejut. Dia tak habis pikir mengapa Albern selalu saja ada cara untuk menyiksanya. Setiap hari dan bahkan setiap saat Albern selalu saja memiliki ide baru atau lebih tepatnya ide gila untuk mengerjainya dan menyiksanya.
“Bertani bagaimana maksudmu, Tuan?”
“Dasar wanita bodoh! Seperti itu saja kau tidak mengerti. Bagaimana bisa laki-laki laknat itu bisa mencintai wanita murahan dan bodoh sepertimu itu!”
Harnum terdiam mendengarnya. Ia menundukkan wajah, hatinya kembali merasa sakit ketika Albern kembali mengungkit tentang Reno.
“Apakah kau benar-benar tidak mengerti apa itu bertani? Kau ini orang Indonesia, bukan orang luar negeri, bodoh! Jadi sangat tidak masuk di akal jika kau tidak mengerti tentang bertani!”
“Bahkan orang luar negeri pun sangat tahu tentang bertani. Lalu mengapa kau tidak mengerti? Memang dasarnya kau ini bodoh, jadi … sekali bodoh akan tetap dan selalu bodoh!”
Harnum terdiam mendengar bentakan Albern, dia tidak berani untuk menyelanya. “Baik, Tuan. Apa yang harus aku lakukan?”
“Nanti Pak Toni yang akan mengarahkanmu. Dan mulai sekarang kau harus mengerjakannya seorang diri. Aku tidak mau tahu, pokoknya hasil bertanimu harus bisa dipanen!”
Tidak berapa lama kemudian, Toni datang. Lalu ia langsung mengajarkan Harnum bagaimana cara bertani. Dan hari itu pun juga Harnum langsung membersihkan rumput-rumput liar di semak belukar itu. Dia membakar semua rumput-rumput tersebut agar lahan pertanian itu cepat bersih.
Api berkobar dengan begitu besarnya karena membakar lahan yang sangat luas. Albern menatap kobaran api itu, dan tiba-tiba dia memegang kepala yang terasa sangat sakit dan berdenyut nyeri.
“Aaakkhhh!!!”
Albern berteriak kencang. Tubuhnya langsung lemas dan jatuh berlutut sambil memegangi kepala. Ia terus saja berteriak histeris. Harnum langsung berlari menghampiri Albern.
“Tuan Al. Apa yang terjadi padamu?”
Albern mendongakkan wajah. Matanya yang memerah itu menatap Harnum dengan sangat dalam. Harnum yang melihat tatapan tajamnya merasa semakin tidak menentu.
“Pak Toni! Hentikan pembakaran lahan itu! Cepat siram dengan air!” titah Albern.
“Baik, Tuan.”
Toni berlari menghidupkan air dan menyiram kobaran api tersebut dengan menggunakan selang, sementara Harnum beranjak dan berniat untuk membantunya memadamkan pembakaran.
“Siapa yang menyuruhmu pergi, Wanita Jalang?! Atau kau memang sengaja ingin menceburkan dirimu ke dalam kobaran api itu untuk menyusul laki-laki laknat itu? Go … go to hell!”