Oleh: Rika Jhon
Hari itu, Harnum sedang sibuk menanam berbagai macam jenis sayur-mayur karena Albern memerintahkannya, dan dia harus mengerjakannya seorang diri. Albern melarang Toni dan Mira agar tidak membantunya mengerjakan itu semua.
Harnum kelelahan dan sesekali beristirahat. Namun, Albern yang melihat itu akan marah besar dan mencaci makinya dengan melontarkan berbagai macam perkataan dan ucapan yang sangat buruk dan menyakitkan.
“Siapa yang menyuruhmu untuk beristirahat? Jangan bermalas-malasan kau! Di sini kau bukan tinggal gratis! Kau diberi makan dan tempat tidur. Jika kau mengontrak tempat tinggal di tempat lain dan juga makan, kau pasti dimintai bayaran, tetapi di sini tidak, kau gratis!”
Harnum yang tengah beristirahat itu seketika menatap wajah tampan, tapi menyeramkan milik sang King Mafia. Albern semakin bertambah emosi ketika Harnum malah menatapnya.
“Jadi … kau harus tahu diri! Dasar wanita jalang! Kau benar-benar tidak tahu diri! Kau dan laki-laki sialan itu sama saja! Go to hell!!!”
Albern terus berteriak mencaci maki Harnum. Entah mengapa emosinya selalu tidak stabil setiap melihat Harnum, apalagi jika Harnum melakukan kesalahan, maka Albern akan merajalela marah terhadapnya dan bahkan menyiksanya.
Di saat Albern sedang marah pada Harnum, tiba-tiba telepon genggamnya bergetar tanda bahwa ada panggilan masuk. Dia langsung merogoh saku celana dan mengangkatnya sambil pergi menjauh dari Harnum.
Ternyata yang menghubunginya adalah orang kepercayaannya yang berada di Italia, yaitu Willy. Willy meminta Albern agar segera berkunjung ke Italia karena ada kepentingan yang sangat mendesak dan itu tidak bisa ditunda lagi.
Setelah itu Albern langsung menghubungi Rully, orang kepercayaannya yang ada di Indonesia. Setelah itu dia pun pergi dari tempat itu tanpa berkata apa-apa kepada Harnum.
Sementara Harnum hanya terdiam menatap kepergian Albern hingga tubuhnya menghilang dari pandangan. Tidak berapa lama kemudian Toni dan Mira datang menghampirinya. Mereka berinisiatif untuk membantunya berladang, tetapi Harnum menolak.
“Non, lebih baik aku dan istriku membantumu. Karena jika kau mengerjakannya seorang diri, ini tidak akan selesai-selesai. Akan sampai kapan kau menanam pertanian yang sangat luas seperti ini?” Toni menatap Harnum.
“Iya, Non. Biarkan aku dan suamiku membantumu.”
“Jangan, Pak, Bu. Aku tidak mau jika kalian akan terlibat dalam masalahku. Bagaimana jika nanti Tuan Albern mengetahuinya? Aku tidak mau kalian dihukum hanya gara-gara aku.”
Toni dan Mira saling berpandangan. Mereka sangat tahu akan resikonya jika ketahuan membantu pekerjaan Harnum. Namun, mereka juga tidak tega dan tidak bisa membiarkan Harnum yang sedang dalam kesulitan.
“Sudahlah, Pak, Bu. Tidak mengapa, aku bisa mengerjakannya seorang diri. Lagi pula aku sudah tidak kaget lagi mengerjakan hal seperti ini karena aku dulu juga sudah terbiasa bertani.”
“Tapi, Non. Kami tidak tega melihatmu bekerja seorang diri seperti ini. Lagi pula sekarang Tuan Al tidak ada di rumah, jadi kami bebas untuk membantumu.”
“Betul apa yang dikatakan suamiku itu, Non. Jadi … kami bebas membantumu.”
“Jangan, Pak, Bu. Nanti bagaimana jika mata-mata Tuan Al melaporkan semua ini padanya? Aku benar-benar tidak ingin dan tidak mau jika kalian yang menjadi sasaran kemarahannya.”
Harnum tetap bersikeras menolak keinginan sepasang suami istri itu. Namun, Toni dan Mira tidak mempedulikannya. Mereka langsung bergegas membantu menanam.
Ketika mereka sedang fokus menanam, tiba-tiba Rully datang. Rully langsung mendekati Harnum, sementara Toni dan Mira bergegas menjauh, suami istri sengaja memberi ruang dan waktu untuk mereka.
“Nona Harnum, aku akan membantumu menanam tanaman ini.”
Rully langsung menawarkan diri. Harnum yang tengah fokus menanam itu seketika berdiri tegak sembari menatapnya. Tatapan mata Harnum yang teduh itu semakin membuat Rully mengaguminya dalam diam. Rully membalas tatapannya, tetapi Harnum justru memutus kontak mata mereka.
“Tidak usah, Tuan Rully. Biarkan aku saja yang melakukan ini. Aku tidak mau jika Tuan Al akan mengetahuinya dan dia akan menghukummu juga.”
“King sedang pergi ke luar negeri, jadi dia tidak akan mengetahuinya. Kau jangan takut, aku yang akan bertanggung jawab jika sampai King menghukummu.”
‘Oh, jadi laki-laki psycopat itu sedang pergi ke luar negeri? Baguslah kalau begitu, jadi untuk sementara waktu aku akan terbebas darinya.’
Akhirnya Harnum tidak bisa menolak lagi keinginan Rully. Dengan senang hati Rully membantu Harnum menanam berbagai tanaman, sementara Toni dan Mira memilih menanam di tempat yang agak jauh dari tempat Harnum dan Rully karena mereka merasa segan terhadap Rully. Rully tiada henti menatap Harnum, perasaan iba dan juga kagum menjadi satu.
‘Nona Harnum ini selain cantik, dia juga wanita yang kuat, wanita mandiri, dan tangguh. Walaupun dia selalu disiksa oleh King, tetapi dia masih bisa bertahan dan tidak pernah sampai melakukan bunuh diri ataupun melarikan diri.’
Rully terus saja menatap wajah cantik Harnum, perasaannya tiba-tiba semakin membuncah, sementara Harnum yang merasa tengah diperhatikan oleh Rully kembali melanjutkan kegiatannya.
‘Aku salut pada Nona Harnum ini. Sungguh kasihan dia. Suaminya meninggal dibunuh di hadapannya saat sedang hamil tua dan anaknya pun tiada akibat ulah King. Aku yakin Nona ini pasti sangat merindukan suaminya dan bahkan dia sangat ingin berkunjung ke makam suaminya.’
“Nona Harnum, bolehkah aku bertanya sesuatu?”
“Ya, silakan, Tuan.”
“Tapi maaf, kau jangan marah ataupun tersinggung atas pertanyaanku nanti.”
Harnum mengernyitkan kening, tetapi kemudian menjawab. “Baiklah, katakanlah. Kau akan bertanya apa?”
“Nona Harnum, begini … a-apakah kau tidak ingin bertemu dengan suamimu? Mmm … maksudku … berziarah ke makamnya atau apa, begitu.”
Rully menjadi salah tingkah sendiri karena bertanya hal yang bersifat privacy. Harnum langsung berhenti menanam dan menatap Rully dengan tajam. Tatapannya yang tajam semakin membuat Rully salah tingkah.
“Berziarah ke makamnya? Apa maksudmu, Tuan Rully? Bukankah kau dan anak buahmu yang telah membuang mayat suamiku? Membuang jasadnya di laut sesuai perintah Bos kalian itu?!”
Suara Harnum bergetar, matanya sudah berkaca-kaca. Rully merasa sangat bersalah karena telah kembali membuka luka lama sang wanita.
“Nona Harnum, tolong maafkan aku. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku tidak bermaksud mengingatkanmu kepada masa lalumu yang tragis itu. Ta … tapi aku … maksudku … aku ….” Rully menjadi bingung sendiri harus berkata bagaimana. Ia merasa serba salah dan selalu salah tingkah.
Harnum terisak. Ingatannya kembali pada tragedi berdarah yang terjadi beberapa bulan lalu. Ia kehilangan tenaga dan terduduk dengan lemah. “Mungkin jasad suamiku sudah di makan oleh ikan hiu dan buaya di lautan sana. Bukankah begitu, Tuan Rully?”
Rully terdiam. Ia benar-benar bingung dan kehilangan kata-kata. Namun, karena rasa tidak tega dan kasihannya terhadap Harnum, maka ia memaksakan diri untuk mengatakan sesuatu hal yang sangat mengejutkan.
“Aku tahu di mana letak makam suamimu, Nona Harnum.”