Oleh: Rika Jhon
Harnum menatap tajam pada Rully.
“Mengapa kau menatapku seperti itu, Nona Harnum?”
“Tuan Rully, coba kau ulangi lagi apa yang kau katakan tadi. Apakah aku tidak salah mendengar ucapanmu?”
“Maksudku … aku tahu di mana letak makam suamimu jika kau mau berkunjung atau berziarah, aku bisa mengantarkanmu.”
“Apakah kau bercanda?”
“Tidak, aku tidak bercanda, aku berbicara serius dan bersungguh-sungguh.”
Harnum semakin menatap tajam pada Rully. Ia mengernyitkan kening dan matanya menjadi menyipit, sementara Rully meneguk ludah dengan susah payah, rasanya ia seperti sedang dikuliti oleh Harnum.
“Kau tentu saja bercanda, Tuan Rully. Kau jangan mempermainkanku! Bukankah kau dan anak buahmu sudah membuang mayat suamiku di laut sesuai dengan perintah Bos kalian itu?!”
“Bos kalian itu iblis, bukan manusia! Tidak memiliki hati! Jahat! Kejam! Tidak punya perasaan!”
Tiba-tiba bayangan Reno saat dibunuh oleh Albern kembali menari-nari dalam benaknya. Bagaimana saat dulu Albern memerintahkan kepada Rully dan anak buahnya agar membuang mayat Reno di laut.
Bola-bola kristal sudah membanjiri pipi Harnum. Rully semakin dibuat salah tingkah dan merasa bersalah, serta ikut merasakan kesedihan melihat kondisi Harnum.
“Betul, Nona Harnum. King memang memerintahkan kami untuk membuang mayat suamimu. Namun, aku merasa tidak tega untuk membuangnya, maka aku secara diam-diam memakamkan jasadnya secara layak.”
Tubuh Harnum tiba-tiba lemas mendengarnya. Tungkai kakinya terasa lemah tidak bisa lagi menopang tubuh dan akhirnya jatuh terduduk. Harnum menangis tergugu mendengar ucapan Rully.
Ia tidak menyangka jika ternyata Rully yang merupakan anak buah dari Albern yang sangat kejam itu masih memiliki hati nurani dan rasa kemanusiaan, sehingga secara diam-diam memakamkan jasad Reno.
Rully yang melihat Harnum menangis merasa iba dan ikut merasakan kesedihan yang Harnum rasakan. Perlahan Rully mendekatinya, lalu ingin memegang bahu Harnum, bermaksud ingin memberikan kekuatan padanya. Namun, Rully takut jika tiba-tiba Albern mengetahui perbuatannya tersebut, maka dia akan dihukum.
“Maafkan aku, Nona Harnum. Tapi … hanya itu yang bisa aku lakukan.”
Harnum mengusap air matanya. Bagaimanapun juga dia seharusnya berterima kasih kepada Rully karena berkat kebaikannya dia masih bisa berziarah ke makam sang suami. Setidaknya dia masih bisa untuk bertemu dengan sang suami melalui makamnya. Harnum langsung bangkit dan menghampiri Rully.
“Mengapa kau minta maaf, Tuan Rully? Seharusnya aku yang mengucapkan terima kasih padamu. Terima kasih banyak atas kebaikanmu karena ternyata kau masih memiliki hati nurani dan secara diam-diam memakamkan jasad suamiku tanpa sepengetahuan laki-laki iblis itu.”
Rully menatap Harnum dengan perasaan yang berkecamuk di dada. Ingin rasanya dia memeluk tubuhnya, menghapus air mata dan menjadi pelindun. Namun … semua itu sangatlah tidak mungkin bisa terwujud. Karena hidup dan nyawa Harnum merupakan milik sang king of mafia.
“Tetapi … bagaimana jika laki-laki iblis itu mengetahuinya? Kau bisa dibunuhnya.”
Rully bangkit, matanya menatap ke arah langit. Dia pun sebenarnya sudah memikirkan hal itu. Jika sampai perbuatannya tersebut diketahui oleh Albern, maka nyawanya lah yang menjadi taruhan.
Akan tetapi, sebagai manusia Rully masih memiliki hati, sehingga dia sudah mempersiapkan diri jika sampai dirinya akan dibunuh oleh sang king mafia.
“Jangan pikirkan hal itu. Jika memang sudah takdirku untuk mati di tangan King, maka aku akan menerimanya dengan ikhlas. Yang terpenting sebagai sesama manusia aku sudah melakukan yang terbaik.”
Rully kembali menatap Harnum. “Dan aku justru merasa bangga dan sangat senang karena aku sudah bisa membantu memakamkan jasad suamimu itu, sehingga kau bisa berkunjung ke makamnya.”
Hati Harnum terenyuh mendengarnya. Tanpa sadar bibirnya menyunggingkan senyum. Rully yang baru pertama kali itu melihat Harnum tersenyum semakin merasakan getaran dalam hatinya, bibirnya pun ikut menyunggingkan senyum.
“Terima kasih banyak, Tuan Rully.”
Harnum tidak bisa berkata-kata lagi. Dia sebenarnya masih merasakan sedih, tetapi juga merasakan kebahagiaan yang teramat sangat karena akhirnya bisa berziarah ke makam sang suami.
“Tuan Rully, kapan kau bisa mengantarkanku ke makam suamiku?”
“Terserah kau saja, Nona Harnum. Kapan pun kau menginginkannya, aku siap mengantarnya. Siang, malam, atau kapan pun itu, aku pasti akan bersedia mengantarkanmu.”
“Tetapi, Tuan Rully. Bagaimana jika kita ketahuan oleh Tuan Al? Apa yang akan dia lakukan terhadap kita?”
“Untuk saat ini kita masih bebas dari pantauannya karena King sedang pergi ke luar negeri, jadi kita masih bebas. Namun, kita harus tetap berhati-hati dan waspada jangan sampai ketahuan.”
“Baiklah, Tuan. Terima kasih sekali lagi.”
Wajah Harnum tiba-tiba berubah berseri-seri, dia bersemangat dan sangat berbahagia sekali.
Keesokan harinya, Rully benar-benar menepati janji untuk mengantarkan Harnum ke makam Reno.
Siang itu, Rully dan Harnum pergi secara diam-diam menuju ke sebuah pemakaman. Pemakaman tersebut terdapat di dalam sebuah rumah tua yang jauh dari pemukiman penduduk. Dia sengaja memakamkan Reno di rumah tua itu agar tidak diketahui oleh orang lain dan juga lebih tepatnya agar tidak diketahui oleh Albern.
Makam Reno terlihat sangat layak dan sangat terurus dan sudah diberi marmer. Tubuh Harnum langsung lemas melihat makam Reno. Hampir saja dia tumbang, tetapi dengan sigap Rully menahan tubuhnya. Harnum menangis terisak di dada Rully. Rully memberanikan diri membelai kepalanya untuk memberikan kekuatan.
“Jangan menangis, seharusnya kau berbahagia karena akhirnya kau bisa bertemu dengan suamimu.”
Harnum langsung berlari dan memeluk batu nisan Reno. Dia menangis dengan tersedu-sedan, dadanya terasa sangat sesak. Namun ternyata, kejutan yang diberikan oleh Rully masih ada dan benar-benar di luar dugaan.
Setelah Harnum puas menangis, tanpa sengaja matanya tertuju pada sebuah makam yang sangat kecil, yang berada di samping makam Reno. Mulutnya menganga melihatnya. Ia menatap makam itu dan kemudian bergantian menatap Rully. Rully menganggukkan kepala sembari tersenyum. Harnum masih belum bisa mencerna apa yang sebenarnya terjadi.
“T-tuan Rully, a-apa ini? T-tolong k-katakan de-dengan jelas.”
Rully beranjak menghampiri Harnum dan menuntunnya menuju ke makam mungil itu, sementara otak Harnum masih belum sinkron.
“Ini adalah makam putrimu. Dulu … saat putrimu tiada, aku yang mengambil mayatnya di rumah sakit tanpa sepengetahuan King. Dan aku pun memakamkannya di sini.”
Tangis Harnum pun semakin pecah. Dia berlari memeluk makam sang putri. Dia menangis sambil menekan dadanya yang terasa sakit dan sesak. Rully benar-benar merasa sangat sedih melihat kondisi wanita yang telah berhasil merebut hatinya itu.
“Putriku … suamiku … aku sangat merindukan kalian. Tuhan, mengapa kau tidak mencabut nyawaku saja agar aku tetap berkumpul bersama suami dan anakku di surga.”
“Di dunia ini aku bagaikan di neraka. Hari-hari yang aku lalui hanya menderita, penderitaan dan siksaan yang selalu aku alami dan aku rasakan. Dan semua itu tanpa sebab karena tidak aku ketahui letak kesalahanku di mana dan apa.”