Oleh: Rika Jhon
Malam itu Harnum sedang tertidur pulas. Saat sedang tidur ia merasa ada yang memeluk dan mengecup keningnya. Harnum ingin sekali membuka mata, tetapi rasanya sangat berat sekali.
Dia merasa seperti bermimpi sedang tidur dan berpelukan dengan Reno. Wangi mint begitu menusuk hidungnya. Harnum hanya menyunggingngkan senyum dan membalas pelukan tersebut dengan mata yang terpejam. Ia menelusupkan wajahnya di dada bidang yang ia anggap adalah Reno. Dan yang memeluk tubuh Harnum tersebut pun semakin mempererat pelukannya. Harnum pun sama eratnya memeluk tubuh kekar itu.
Hingga waktu menjelang subuh Harnum pun terjaga. Ia langsung bangun dan duduk, matanya mengedari seluruh ruangan kamar. Ia seperti tengah mencari-cari sesuatu. Lalu ia melihat ke arah samping dan ternyata memang kosong tidak ada siapa-siapa. Harnum memegang keningnya, ia masih bisa merasakan bekas kecupan itu.
‘Aneh sekali, mengapa aku merasakan begitu nyata seperti ada yang memelukku dan mencium keningku. Apakah aku bermimpi? Dan itu adalah Mas Reno yang memeluk dan menciumku?’
Harnum segera menuju ke kamar mandi. Ia membersihkan diri dan melaksanakan ibadah dua raka’at. Setelah itu ia langsung menyapu halaman belakang rumah tua yang berada di depan paviliun. Matanya terus tertuju pada paviliun tersebut karena lampunya terlihat menyala. Harnum mengernyitkan kening sembari menatap paviliun.
“Lampu paviliun itu menyala, itu artinya ada orang di dalamnya. Sudah satu bulan ini paviliun itu gelap karena tidak diperbolehkan untuk menyalakan lampu dan memasukinya —”
“Tapi sekarang paviliun itu terlihat sangat terang. Apakah itu artinya Tuan Al sudah kembali? Ya Tuhan, itu artinya aku sudah tidak bisa lagi untuk berziarah ke makam suami dan anakku karena laki-laki iblis itu sudah kembali.”
Ketika Harnum sedang fokus menatap paviliun dan sedang berbicara pada dirinya sendiri, tiba-tiba sesosok tubuh tinggi besar keluar dari dalam paviliun tersebut. Harnum yang tengah melamun merasa sangat terkejut melihatnya. Dia sampai terlonjak kaget dan hampir saja terjengkang.
“Astaghfirullah, Tuan Al, kau mengagetkanku.” Harnum mengelus dadanya.
Albern menatap Harnum tanpa berkedip dan tatapannya tersebut sangat dalam seperti tengah menyimpan sesuatu. Harnum yang melihat itu merasa ada yang aneh dengan tatapan Albern kepada dirinya. Karena baru kali ini Albern menatapnya dengan begitu dalam seperti itu.
Albern berjalan dengan posisi tangan yang dimasukkan ke saku celana, sementara Harnum semakin berjalan mundur hingga punggungnya membentur tembok. Dan tubuh Albern sudah semakin merapat pada tubuhnya.
“Mengapa kau seperti melihat setan saja melihatku, hmm? Mengapa kau sampai terkejut seperti itu melihatku? Apa karena kau sudah merasa nyaman tanpa diriku selama satu bulan in? Benar seperti itu? Karena kau merasa bebas tanpa aku. Karena sudah tidak ada lagi yang menyiksamu, begitu?”
Harnum meneguk ludah dengan susah payah, lalu ia menundukkan wajah sembari memilin-milin jemari tangannya. Karena apa yang Albern katakan itu memang benar adanya, tetapi karena dia tidak berani untuk menjawabnya, maka dia hanya bisa diam saja.
Karena Harnum tidak menjawab akhirnya Albern memegang wajahnya hingga mendongak. Napas hangat Albern yang berbau mint itu begitu terasa oleh Harnum dan dia merasa seperti tidak asing. Dia seperti pernah merasakan hal itu, bau mint dari mulut Albern benar-benar membuat Harnum bingung. Lalu Albern semakin mendekatkan wajahnya pada wajah Harnum.
“Harnum ….”
Harnum sangat terkejut ketika mendengar Albern memanggil namanya. Karena selama ini lelaki itu tidak pernah memanggil namanya. Dia hanya memanggilnya wanita jalang, wanita sialan, dan segala umpatan kasar selalu Albern sebut untuk memanggilnya.
Mata Harnum sampai berkaca-kaca. Entah mengapa perasaannya menjadi seperti merasakan sesuatu ketika mendengar Albern memanggil namanya seperti itu. Dia sendiri bingung mengapa perasaannya menjadi tidak menentu seperti itu.
Karena Harnum tidak menjawab akhirnya Albern memegang dagunya, sehingga membuat Harnum mendongakkan wajah. Napas hangat Albern yang berbau mint itu begitu terasa olehnya dan menyentuh lembut pipinya. Harnum merasa seperti tidak asing dengan wangi mint tersebut, dia seperti pernah merasakan hal itu, tetapi entah kapan dan di mana.
Albern semakin mendekatkan wajahnya pada wajah Harnum. Matanya terus tertuju pada bibir Harnum yang sensual dan seksi. Namun, ketika wajah Albern dan Harnum hampir bersentuhan, mereka dikejutkan oleh kehadiran Mira yang tiba-tiba keluar. Albern langsung memundurkan wajah dan tubuhnya, lalu langsung pergi meninggalkan Harnum.
Sementara Harnum menatap kepergian Albern dengan beribu pertanyaan. Harnum kali ini benar-benar merasa seperti ada yang aneh dan merasa ada yang berbeda pada Albern. Karena dia tidak berkata kasar dan bahkan tidak menyiksanya.
‘Mengapa Tuan Al terlihat sangat berbeda, ya? Dia terlihat sangat aneh, sikapnya juga sangat berubah. Biasanya dia setiap melihatku pasti akan menyiksaku, bukan hanya mengeluarkan kata-kata kasar saja. Namun kali ini mengapa dia hanya berkata seperti itu saja?’
Sementara itu Albern yang sudah masuk ke dalam paviliun langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kedua tangannya menopang di belakang kepala. Matanya menatap ke langit-langit kamar. Pikirannya terus saja tertuju pada Harnum.
‘Ada apa denganku ini? Mengapa setelah satu bulan lamanya aku tidak pernah bertemu dengan wanita jalang itu dan bahkan aku tidak pernah lagi menyiksanya, tetapi di saat aku bertemu kembali dengannya, aku justru tidak bisa seperti dulu lagi? Mengapa seperti ini?’
Mata Albern masih terus menatap langit-langit kamar, pikirannya benar-benar sedang berkecamuk tidak menentu. Dia seperti orang linglung yang sedang dilema serta bimbang. Dan ini merupakan kali pertama dia merasakan kebimbangan seperti itu karena berhubungan dengan Harnum, wanita yang sangat dia benci.
‘Ada apa ini? Bahkan di Italia pun aku merasa tidak tenang, aku selalu memikirkan wanita jalang itu. Jika bukan karena ada pekerjaan yang sangat penting, mungkin aku sudah lama kembali ke Indonesia. Karena aku tidak bisa berlama-lama di Italia.’
Lalu dia beranjak bangun dan meminum segelas air putih untuk menenangkan pikirannya yang sedang kacau. Setelah itu dia kembali merebahkan tubuh sambil menatap ke luar jendela.
Posisi kamarnya berada di bagian depan paviliun dan langsung mengarah ke luar, sehingga dia bisa melihat sosok Harnum yang sedang membersihkan halaman. Matanya terus tertuju pada Harnum.
‘Tetapi aku tidak bisa melakukannya karena klanku sedang membutuhkanku. Ada apa ini? Mengapa semakin hari aku memperhatikan wanita itu seperti ada yang berbeda. Entahlah … wanita jalang itu seperti mengingatkanku pada gadis kecilku di masa lalu. Aakkhh … kepalaku sakit jika mengingat itu.’