Oleh: Muti Anjani
Bab 11. Iblis Betina.
Api kemarahan menyala dalam dadaku ketika Tari dengan sinis menyebut-nyebut almarhum ibu hanya untuk mengejek. Darahku mendidih, tak terima ibu yang telah tiada dibawa-bawa kedalam masalahku. Dalam sekejap, emosiku meledak tanpa bisa dikendalikan lagi.
Di tengah lingkungan kerja yang seharusnya kondusif, aku sengaja menjambak rambut Tari yang terurai panjang itu dengan kasar. Salsa, yang berada tidak jauh dari kami, segera mencoba melerai. Dia berusaha melepaskan genggaman tanganku dari rambut Tari.
“Tolong! Zia udah setres mau ditinggal kawin. Cepat tolong Tari!” Sambil melerai, mulut nya masih saja sepedas cabai. Aku heran, padahal namanya bagus. Wajahnya juga lumayan cantik, tapi kenapa hatinya begitu jahat. Apa perlakuan itu terkhusus untukku saja? Entahlah, yang jelas Salsa memang dari dulu tidak menyukaiku.
Namun, aku yang dikuasai amarah terlalu kuat. Aku bahkan menggunakan kaki untuk menendang Salsa hingga terjatuh dengan keras ke lantai. Rasa sakit terpancar jelas dari wajah Salsa yang terkejut. Namun, dalam kekacauan itu, Tari berhasil membalas. Dengan cepat, dia menjambak rambutku. Rasa sakit yang tajam langsung menusuk kulit kepalaku.
“Dasar iblis betina! Udah janda aja sok-sokan!” Tari melampiaskan kekesalan nya dan membalasku.
Kini giliran aku yang merasakan sakit, aku meringis merasakan setiap tarikan yang menyakitkan itu. Aku bersusah payah mencoba melepaskan diri, tapi Tari tidak memberiku ampun.
“Kalian, berhenti!” Sebuah peringatan dari kepala pengawas tak langsung membuat Tari melepaskan rambutku.
“Kalian akan dapat surat peringatan karena melanggar ketertiban.”
Aku tidak peduli, mau dikeluarkan juga tidak masalah. Rasanya aku sudah muak bekerja dilingkungan toxic seperti ini. Biar saja sekalian kuseret mereka bersama denganku.
“Dengar, Tari! Nasib kita beda, tapi soal rasa hampir sama. Aku ditalak sebelum merasakan apapun. Aku masih suci dan terhormat. Tapi, kamu…” Aku tersenyum mengejek walau merasakan ngilu di kepala.
Aku sengaja membakar amarah Tari. Seandainya saja aku dikeluarkan dari perusahaan, Tari dan Salsa juga harus ikut denganku.
Aku mendekatkan bibirku ke telinga Tari, meski gerakan ini membuat kulit kepalaku berdenyut nyeri. “Diselingkuhi sampai hamil.” Aku tertawa sumbang di akhir nya. Untuk pertama kalinya aku mengatakan hal jahat pada orang lain, apalagi memiliki rencana buruk seperti ini.
Tapi aku puas melihat raut wajah Tari yang nampak menahan malu dan emosi. Lebih enak mana? Jadi janda suci seperti aku atau dia yang harus berbagi suami dengan wanita lain?
“Kurang aj4r! Wanita sial4n!” Tadi semakin menjadi-jadi. Aku merasa kulit kepalaku mengelupas saking panasnya.
“Tari, berhenti!” Pengawas memperingatkan kembali, tapi Tari tak juga merespon. Amarah sudah menguasai nya, lalu apa telinga bisa mendengar?
“Tari, lepaskan atau kamu akan saya laporkan ke atasan!”
Perlahan genggaman tangan Tari mengendor, rasa sakit mulai berkurang sampai akhirnya aku terbebas dari cengkeraman Tari.
“Urusan kita belum selesai” Tari mengancamku, tapi aku sama sekali tidak takut.
Aku tersenyum simpul, lalu merapikan rambutku yang acak-acakan. Begitupun Tari yang sedang dibantu Salsa.
“Bukan urusan kita yang belum selesai, tapi urusan kamu dan madumu.” Entah mengapa mulut ini sudah mulai terkontaminasi dengan virus jahat mereka.
“Kamu!” Tari menahan geram, namun tidak dengan Salsa yang mendadak menyerangku.
Tiba-tiba aku yang belum siap di dorong dengan kuat dan terjatuh tepat di bawah kaki seseorang. Liontin yang tersembunyi didalam kemeja ikut keluar menyaksikan penderitaan ku.
Di sekeliling kami, rekan kerja yang lain mulai berkumpul, terkejut dan takut akan eskalasi lebih lanjut dari pertengkaran yang memalukan ini.
“Zia!”
Suara Dina terdengar, begitu juga dengan langkah kaki yang mulai mendekat. Namun, aku segera menoleh dan menggelengkan kepalaku.
Aku tidak ingin teman terbaikku terkena dampak dari masalah yang kubuat. Aku terus menggelengkan kepalaku sambil menatap Dina dengan senyuman.
Dina hanya bisa menatap dengan rasa iba, tahu bahwa tidak ada kata yang bisa menghapus kepedihan ini. Hari ini, hanya kesunyian yang menjadi saksi bisu dari sebuah hati yang terkoyak.
“Bawa mereka ke ruangan saya!”
Aku melihat sepatu hitam mengkilap itu berbalik arah setelah memberi perintah. Diikuti yang lainnya dibelakang dengan menjaga jarak. Tanpa melihat wajahnya aku sudah yakin, dia Elfayed. Manager di perusahaan ini yang sangat kubenci.
Inilah akhirnya, pasti aku akan dipecat. Tapi memang itu keinginanku. Dari pada harus bekerja dilingkungan toxic yang lama-lama membuatku mati perlahan.
Aku masih dilantai dengan posisi sama saat terjatuh. Rasanya sekujur tubuhku terasa ngilu. Aku pasrah ketika pengawas membantuku berdiri dan membawaku seperti tahanan.
“Permisi, Pak.” Pengawas mengetuk pintu dengan sopan. Maklumlah, Elfayed atasan mereka. Tapi rasanya aku sangat muak mendengar nya dihormati seperti itu.
Kakiku berat melangkah ketika tiba didepan ruangan Elfayed. Aku tidak akan menunduk seperti Salsa dan Tari. Tapi, aku akan seperti diriku yang sangat benci pada Elfayed.
“Kejadian ini tidak bisa ditolelir. Terlepas siapa yang memulai, kalian bertiga diberhentikan dari perusahaan karena sudah melanggar ketertiban yang berlaku di perusahaan ini.”
Aku masih tenang, inilah harapanku. Terbebas dan menjauh dari pria brengs3k yang sok hebat itu.
“Pak, tolong jangan pecat saya! Ini semua salah Zia. Dia yang memulai, dia yang menghina kami dan menganiaya kami.”
Aku berdecak ketika Tari berbicara manis dengan wajah memelas. Kemana mulut pedasnya yang suka menghina orang lain dan menindas nya?
“Benar, Pak. Kalau ada yang salah dan harus dipecat, itu Zia. Kami hanya membela diri dari keganasan Zia.”
Aku masih bungkam, tidak ada niatku untuk membela diri. Percuma saja aku membela diri dihadapan bajing4n itu.
“Selamat siang, Pak.”
Mendadak muncul seseorang dari balik pintu. Semua orang yang ada diruangan Elfayed berdiri dan memberi hormat. Tapi, tidak denganku. Aku masih duduk dengan posisi sama.
“Zia, ayo memberi hormat!” Pengawas menyentuh lenganku dan mendorong kecil. Tapi aku tetap pada pendirian ku.
Lagi pula aku sudah dipecat, jadi menurutku aku sudah tidak memiliki kewajiban menunduk pada siapapun di perusahaan ini.
“Zia, cepat beri hormat! Dia atasan kita, bos kita, pemilik perusahaan ini.” Perintah pengawas padaku dengan suara kecil setengah berbisik.
Tidak, aku tetap tak bergeming. Aku justru ingin berhadapan langsung dengan bos yang kukira memiliki ikatan dengan ku berdasarkan kalung liontin di leherku.
Pengawas sudah ketakutan setengah mati. Terlihat dari kakinya yang gemetar, tangannya yang saling bertaut dan bergerak asal.
Bos yang bernama Sailendra itu berjalan mendekatiku dan berkacak pinggang tepat disampingku duduk.
“Maafkan saya, Pak. Saya kurang baik dalam mendidik anak buah.” Pengawas terlihat semakin ketakutan karena sikapku yang acuh seperti ini.
Pikir ku, ini adalah kesempatan emas yang kutunggu-tunggu bisa bertemu langsung dengan Sailendra. Lagipula, aku harus membuktikan sesuatu sebelum benar-benar pergi dari perusahaan ini.