Oleh: Muti Anjani
Bab 13. Rumah Sakit Jiwa.
Cahaya matahari yang perlahan mulai meninggi memberikan sensasi terasa terbakar di kulitku, namun suasana hatiku lebih membara dari panasnya matahari.
Duduk termenung di bangku taman, saat aku tenggelam dalam kesedihan mendalam atas kepergian orang tercintaku. Tiba-tiba, sebuah bayangan menutupi pandanganku dan sebelum sempat berteriak, segala sesuatu menjadi gelap.
Aku sempat bertanya pada pria asing itu, tapi tangan besarnya sudah membekap ku dan aku kehilangan kesadaran.
Ketika tersadar, kebingungan menyergapku. Aku masih di taman yang sama, namun sesuatu terasa berbeda. Bahuku terasa lemas dan kepalaku pusing seakan baru saja bangun dari tidur panjang. Pakaian yang kupakai sedikit kusut dan ada bekas tangan yang kasar di pergelangan tanganku.
Aku mencoba mengingat apa yang terjadi, namun semua terasa kabur. Aku mencoba berdiri, tapi kakiku terasa lemah. Aku merasa sangat takut, hatiku berdebar kencang, dan mataku tak henti-hentinya menelusuri sekeliling. Taman yang biasanya menjadi tempat pelarian dari kesedihanku, kini seolah menjadi saksi bisu atas peristiwa mengerikan yang baru saja aku alami.
“Anda sudah bangun?” Suara seseorang yang kuyakini pria yang berbeda dari sebelumnya.
Aku memijit kepalaku yang berdenyut nyeri. Mungkin efek dari obat bius. Kulihat langit yang ternyata sudah bergeser menuju tempat peristirahatan. Berapa jam aku pingsan?
“Apa yang terjadi denganku? Kemana pria itu?” tanyaku dengan suara yang sedikit lemah.
Pria yang berdiri disampingku tidak menjawab, hanya menyodorkan sebuah kresek putih yang isinya makanan dan minuman. Dari baunya aku yakin itu masakan restoran padang. Wah, pas banget perutku sudah keroncongan, cacing-cacing diperut sudah tak sabar menanti gurihnya kuah khas masakan restoran itu.
Eh, tunggu dulu! Aku gak boleh terkecoh. Aku bahkan tidak tahu apapun selama pingsan. Mungkin saja pria ini menaruh racun atau apa gitu di nasinya.
“Mbak nya tadi mau diculik, untung saya datang tepat waktu atas perintah atasan saya untuk melindungi dan mengikuti mbak nya.” Jelasnya mengerti kebingungan ku.
Oh, seperti ini. Tapi siapa yang mau menculikku? Aku selalu menjauhi permusuhan, hanya hari ini saja aku bersikap bar-bar dan diluar kendali. Apa secepat itu Tari dan Salsa membalas dendam? Apa mungkin mereka punya uang sebanyak itu untuk menyewa penculik.
“Atasan? Siapa?” tanyaku penasaran.
“Nanti Mbaknya juga tahu.” Pria itu hanya menjawab sesuatu yang semakin membuat ku pusing.
Sudahlah, aku sangat kelaparan. Dan lagi aku butuh tenaga untuk pulang ke apartemen. Gak mungkin kan aku disini sepanjang malam.
Aku menerima kantong kresek dan membuka nya dengan mata berbinar. Baunya aja udah membuat selera makanku meningkat.
“Setelah habis, mbak ikut saya kerumah sakit ya!”
“Eh, gak usah. Setelah makan juga aku udah baik-baik aja kok. Gak usah kerumah sakit segala.” Entah bicaraku jelas atau enggak. Karena mulutku penuh makanan.
Aku menolak tentu saja, cuma pusing sama lemes aja segala kerumah sakit. Sayang uangnya kan? Udah makan juga segeran lagi pasti.
“Anggap aja, mbaknya balas budi karena udah saya tolong. Jadi, nurut saja sama saya!”
Aku menghiraukan pria asing ini. Cuma periksa doang ini lah. Biar saja yang penting aku baik-baik saja sekarang.
Setelah beberapa saat, akhirnya tenaga terisi full. Aku juga baik-baik saja setelah makan. Artinya pria asing ini gak bohong. Gak ada racun di makanan atau minuman nya. Okelah, aku mau diajak kerumah sakit walaupun sebenarnya gak penting.
“Silahkan masuk, Mbak!” Pria asing yang belum ku ketahui namanya membuka pintu mobil di bagian belakang.
Aku masih ragu-ragu untuk masuk, dan hanya menatap bangku kosong yang terlihat empuk dan nyaman.
“Tenang aja! Saya bukan orang jahat.” Pria asing ini mendesak punggung ku hingga aku terdorong ke dalam mobil.
Aku duduk dengan gelisah, tapi pintu mobil sudah terkunci otomatis. Aku sudah kepalang percaya pada orang asing hanya disogok dengan sebungkus nasi dan segelas jus. Aduh! Bodohnya aku.
Bagaimana jika aku dibawa ke tempat lain dan bukan rumah sakit? Lalu, bagaimana jika ternyata pria asing ini hanya mengarang cerita ini dan itu. Dan bodohnya aku yang mudah percaya pada orang yang belum ku kenal.
Perjalanan terasa begitu lama, sedetik terasa sepuluh menit, semenit terasa sejam dengan kegelisahan yang melanda hatiku.
Ciiit!
Mobil berdecit dan berhenti di sebuah parkiran mobil. Aku melihat ke sekeliling yang tidak terlalu ramai orang.
“Silahkan, Mbak!”
Pintu mobil sudah dibuka dan pria asing ini memperlakukan ku dengan baik. Dari stiker yang menempel di dinding aku rasa memang benar ini dirumah sakit.
“Ini rumah sakit?” tanyaku sambil mengikuti langkah pria asing itu.
“Betul, kita mau periksa Mbaknya dulu. Siapa tahu ada yang gak beres sama tubuh Mbaknya.” Jawab pria asing itu tanpa menoleh padaku.
Dilihat dari tampilan nya, seperti nya pria ini seorang asisten atau bodyguard. Rapih dengan senjata lengkap yang tersembunyi di dalam kaos kaki. Hah, aku tentu tahu dan dapat melihatnya walau sekilas.
Kami sampai didepan sebuah ruangan dokter, dan langsung saja masuk tanpa mendaftar dan membayar administrasi dulu. Emang boleh seperti itu?
“Silahkan duduk!” Dokter menyambut dengan ramah. Seolah memang sebelumnya sudah dikonfirmasi atas kedatangan ku. Mungkinkah atasan pria asing ini orang hebat? Tapi siapa? Apa mungkin Arka?
Aku duduk tanpa ragu didepan dokter dan pria asing itu segera pergi keluar meninggalkan kami. Tahu diri juga dia, tidak selalu mengikuti aku.
“Rileks, ya! Saya akan mengambil sedikit darahnya Ibu.”
Aneh menurutku sih, bukankah biasanya periksa tensi, tekanan darah dll. Ini kok main langsung ambil darah. Untuk apa coba?
“Tunggu, Dok! Ini untuk apa darahnya?” tanyaku yang langsung mencegah dokter saat hendak menyuntikkan jarum di salah satu jariku.
Dokter itu nampak tersenyum, aku tahu itu meskipun tertutupi oleh masker hijau khas rumah sakit.
“Ini untuk tes lab. Katanya Ibu hampir diculik? Siapa tahu penculiknya memasukkan sesuatu ke tubuh Ibu.” Penjelasan yang masuk akal sih menurutku. Mungkin hanya perasaan ku saja yang berlebihan.
Pengambilan darah selesai, entah dokter meresepkan apa karena aku tidak bisa membaca tulisan nya yang seperti cacing berkelompok.
Setelah menebus obat, pria asing ini terus melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Aku sedikit ngeri sih, tapi kelihatannya dia sangat handal.
“Emmmh, saya mau pulang. Tolong berhenti di halte depan!” Akan lebih baiknya jika aku pulang saja. Timbang berkeliaran dengan pria asing, aneh rasanya.
“Mbak ikut saya sebentar aja.” Jawabnya tanpa menoleh padaku. Tentu saja dia fokus menyetir. Bawanya mobil aja ngebut gini, meleng dikit ambyar.
“Kemana?” tanyaku lagi. Perasaan aku disini dipaksa harus mau, dengan alasan balas budi. Ah, ini pasti trik nya saja untuk mengelabui aku.
“Kerumah sakit jiwa.”
“Hah?!”