Oleh: Muti Anjani
Bab 16. Seperti Patung.
“Apa-apaan ini?!”
Aku menggerutu dan hanya berjalan mondar-mandir di kamarku sejak pulang dari rumah sakit jiwa. Bagaimana tidak? Didepan pintu apartemenku, si Roni berdiri bagai patung selamat datang.
Bukannya aman, justru aku merasa terganggu. Lagipula, aku sama sekali tidak butuh bodyguard. Aku bisa datang dan pergi ke rumah sakit jiwa menemui bu Diana tanpa pengawalan. Huhft… Menyebalkan!
Telpon di meja ruang tengah berdering, aku segera berlari keluar dan berdiri tepat di sampingnya.
“Eh, ini aku angkat atau enggak ya?”
Aku merasa bingung, soalnya ini bukan apartemen milikku. Dalam pikiranku, pasti seseorang menelpon untuk berbicara pada Arka. Iya kan? Sepertinya kurang sopan kalau aku lancang mengangkat telpon milik orang lain.
“Ah, biarin aja deh! Aku mau mandi.”
Aku mengabaikan telpon yang terus menjerit meminta diperhatikan. Entah berapa kali aku tak tahu, karena setelah dering pertama aku langsung mandi. Bahkan setelah mandi selesai dan aku sudah rapih, telpon itu terus berdering.
“Ya Ampun, itu orang ngebet banget ya nelponin terus.”
Diangkat kesannya gak sopan, tapi kalau dibiarkan aku juga pasti akan terganggu dengan suara nya. Aku berpikir beberapa saat, akhirnya kuputuskan untuk mengangkat telpon nya. Dari pada terganggu oleh suara nya yang tak pantang menyerah.
“Hallo… “
Sesaat hening, tidak ada sahutan dari seberang telpon. Aku penasaran, mungkinkah telponnya mati atau terputus. Kujauhkan gagang telpon dari telinga, memeriksa kabel dan lainnya.
“Gak mati, kok. Tapi ko gak ada suara nya?”
Aku mendekatkan kembali gagang telpon ke dekat telinga. Lalu, aku mencoba menyapa kembali.
“Hallo, ada orang disana?” tanyaku memastikan.
“Zia, ini aku Arka.”
Spontan aku langsung menjauhkan gagang telpon dari telingaku. Aku mengorek telinga, berharap aku yang salah dengar. Tapi, kalau dipikir-pikir mustahil juga si penelpon bukan Arka. Tentu dia tahu nomor telpon apartemen nya kan?
“Zia, apa masih di sana?”
Terdengar suara dari seberang telpon, membuatku sadar dan akhirnya mendekatkan kembali gagang telpon ke dekat telinga.
“Iya, masih.” Jawabku singkat.
“Udah makan malam belum? Ini aku sedang dalam perjalanan ke apartemen mau mampir, kalau boleh sih.”
Sejenak aku berpikir, baik atau enggak makan malam berdua di apartemen dengan laki-laki yang baru kukenal. Tapi, rasanya tidak enak hati menolak ajakan penolongku. Lagipula, tutur katanya penuh kehati-hatian. Pasti takut aku tersinggung dan marah.
“Emmmh, iya boleh deh. Tapi, makannya diluar aja ya!”
Begini lebih baik kan? Timbang makan berdua di dalam apartemen, yang ketiga nya setan. Eh, ada si Roni. Berarti si Roni yang s…
Aku geli sendiri dengan pikiran konyol yang tiba-tiba muncul. Ah, ada-ada aja. Tapi emang bener sih, Roni memang pengganggu. Apa manfaat nya coba dia capek-capek ngawasin aku, berdiri pula.
“Oke, aku tunggu di bawah.”
“Iya.”
Untung saja Arka orang nya gak ribet. Kalau dulu, Elfayed paling anti makan diluar. Maunya dimasakin dan makan dikontrakan. Eh, kalau dipikir-pikir, dia itu pelit atau gimana ya? Gak mau kali keluar uang banyak buat ngasih aku makan. Kan kalau restoran mahal. Baru paham sekarang, aku kemana aja dulu?
Usai berdandan ala kadarnya, aku hanya menyambar sweater agar tidak kedinginan keluar malam-malam. Jeans yang ketat dan kaos pendek model croup menjadi pilihanku.
“Eh, Mbak mau kemana? Tuan memerintahkan saya untuk tidak mengizinkan Mbak keluar kalau gak penting.”
Aku mengangkat sudut bibirku ke atas mendengar penuturan Roni. Bahkan sekarang aku seperti tawanan, gak bisa bebas sesuka hati. Enak saja!
“Bilang ke tuanmu! Aku perginya penting, ngisi perut. Kalau gak diisi, mati kelaparan dong! Mau tanggungjawab?”
Aku sedikit menggertak dengan nada yang kubuat seolah aku sedang marah. Biar aja si Roni ngadu sama bosnya. Emangnya aku siapa nya? Segala diatur, ini namanya perampasan kebebasan secara halus.
“Oke, saya akan temani.”
Aku langsung mengangkat sebelah tanganku tinggi, lalu kugoyangkan tepat didepan mukanya.
“Gak boleh! Aku perginya sama cowok, kamu mau jadi nyamuk emangnya?”
Kulihat ekspresi Roni yang kikuk, diam tak menyahut. Pastilah dia gak bakal mau jadi nyamuk. Akhirnya aku berhasil lolos dari pantauan Roni.
Rasanya aku sangat lega, seperti terbebas dari penjara. Padahal Roni mengikutiku belum genap sehari, tapi rasanya aku sudah dipenjarakan sebulan.
Aku menunggu didepan gerbang apartemen seorang diri, tak lama mobil sedan merah berhenti tepat di depanku. Perlahan kaca yang tidak tembus pandang itu turun dan memperlihatkan pengemudinya.
“Hai… ” Aku menyapa dengan kaku. Maklum saja, kami baru berkenalan semalam.
Arka membalas dengan senyuman, lantas dia keluar dari mobil dan berlarian kecil ke tempatku berdiri.
“Udah nunggu lama?” tanyanya merasa bersalah.
“Oh, enggak kok. Baru aja.” Jawabku canggung. Entahlah! Rasanya aneh aja, padahal aku sudah bertekad untuk tidak mudah percaya pada laki-laki. Tapi, kenapa aku nurut aja ya menerima ajakan Arka.
Dasar plinplan kamu, Zia!
“Ayo, masuk! Diluar dingin.” Arka membukakan pintu mobil untukku. Hal yang tidak pernah Elfayed lakukan. Selalu aku membuka pintu sendiri dan turun seperti layaknya naik angkutan umum. Aduh, kenapa aku mulai membanding-bandingkan Arka dengan Elfayed?
“Itu, sabuk pengaman nya jangan lupa dipakai.” Ucapnya sambil menunjuk seatbelt di kursiku.
Aku hanya mengangguk, lalu menurut apa yang dia katakan. Mobil melaju perlahan, membelah kota yang berkelip lampu berwarna-warni.
“Mau makan apa?”
“Terserah,”
“Loh, kok terserah? Gak ada nama makanan yang namanya terserah.”
Aku tertawa kecil mendengar lelucon pria tampan di sampingku. Ini adalah kali pertama nya seseorang menawari makanan. Biasanya, saat bersama Elfayed dia yang selalu menentukan menu. Itupun dipilih sesuai selera nya. Aku tidak pernah ditanya, ingin makan apa, dimana atau kesukaan aku apa. Cinta memang buta!
“Kok, diem? Nanti kalau sesuai keinginan aku kamu gak suka gimana?” Arka tetap fokus pada jalan raya.
Apa gak masalah ya? Tapi Arka terlihat tulus sih. Dari awal pria ini terlihat baik, tapi aku juga tetap harus waspada.
“Aku ini pemakan segalanya, jadi menu apapun pasti masuk ke perutku.”
Kini giliran Arka yang tertawa, padahal aku sedang tidak melawak. Lucu sih, tiba-tiba bisa seakrab ini.
Kami berhenti di sebuah restoran mewah, setiap desain interior nya tidak ada yang gagal menghipnotis pengunjung. Indah dan mengesankan. Pasti harga menunya sangat mahal, Elfayed mana mau mengajakku kesini dulu. Yang selalu dia katakan harus hemat untuk acara pernikahan kita. Tapi emang iya sih, kemaren semua nya diatur dan dibayar oleh Elfayed. Kupikir karena dia cinta, nyatanya aku ditalak saat itu juga.
Beberapa menu mulai ditata rapih di meja, semua Arka yang pilih karena aku tidak tahu bahasa sebutan dari menu yang ada.
“Makan yang banyak, biar gemuk!”
Aku hanya tersenyum dan mulai memasukkan daging kedalam mulutku dengan garpu. Tapi saat aku mengunyah sepasang mataku menangkap seseorang yang berdiri di kejauhan, seolah sedang mengawasiku.