Oleh: Muti Anjani
Bab 17. Pasangan Sombong.
Di tengah gemerlap cahaya restauran yang mewah, aku dan Arka duduk berhadapan di meja yang terletak di sudut ruangan. Wajahku yang semula berseri-seri perlahan berubah menjadi keruh ketika mataku menangkap sosok Roni yang berdiri tak jauh dari kami, mengawasi setiap gerakan yang kami lakukan.
Aku berdecak dan mengunyah cepat. Atau lebih tepatnya mengunyah dengan perasaan kesal. Dari semenjak keluar apartemen, kupikir aku ini sudah bebas dari pantauan. Eh, ternyata Roni mengikuti sampai restoran ini. Astaga!
Arka menoleh sejenak, kemudian menatapku dengan tatapan yang mengandung simpati, “kamu liat apaan, Zi?”
Aku menghela napas berat sambil menggenggam kuat garpu ditanganku. Gelagatku memang mencurigakan, karena sejak tadi aku justru mengawasi Roni dari dalam restoran dibanding berinteraksi dengan Arka.
“Gak apa-apa, itu tadi yang lewat kayak kenal.” Jawabku asal.
“Panggil aja kalau kenal.”
Aku menggeleng, “Aku salah orang.” Gak mungkin aku cerita ke Arka tentang apa yang sudah terjadi seharian ini. Toh, dia hanya teman baru yang biasa saja.
Ya sudahlah, mungkin Roni juga mengikuti perintah pak Sailendra. Dia tidak bersalah dalam hal ini, yang penting kehadirannya tidak menganggu. Aku mulai menikmati makan malam, kami mengobrol santai biar lebih akrab. Ternyata Arka orang yang asyik untuk diajak ngobrol. Bahkan, selera humornya lumayan bagus. Suasana canggung mencair karena pembawaannya yang memang ceria.
“O, hooo… Rupanya kamu udah dapet cowok baru. Lumayan juga.”
Aku memutar bola mataku mengikuti suara laki-laki yang pastinya menyindirku. Bahkan dunia terasa begitu sempit, di kota yang luas ini lagi-lagi bertemu dengan Elfayed.
Dia datang bersama seorang wanita yang merangkul lengannya dengan manja. Lumayan cantik sih, tapi mungil banget. Coba lebih tinggi lagi, pasti kelihatan ideal bersanding dengan Elfayed yang tinggi. Jadi, begini selera sesungguhnya Elfayed? Menurutku standar wanita sih, cantik enggak, jelek juga enggak. Tapi kalau dilihat dari penampilan nya yang wah, sudah pasti anak konglomerat. Makan malam aja dress nya menyala dengan bling-bling disetiap bagian nya. Udah kayak mau ke pesta gak tuh? Lah aku, cuma pakai sweater dan jeans biasa. Pasti jauh lah ya, bagai langit dan bumi.
Aku memilih mengabaikan mereka, biar saja mereka mau apa. Yang penting perutku malam ini kenyang.
“Sayang, dia wanita yang kamu ceraikan saat malam resepsi itu?” Suara wanita yang bersama Elfayed terdengar sangat manja, tapi bagiku justru terkesan lebay.
Mulutku berhenti mengunyah, kuletakkan garpu dan pisau kecil di atas piring. Mood makan yang semula nafsu, kini rusak karenanya.
“Penampilan nya itu loh, iuuuuh… “
Selain mungil ternyata memilki hati yang culas. Cocok banget sama Elfayed. Pantas kalau mereka jadi jodoh.
Wanita itu kutatap dengan senyum misterius. Kedua tanganku bersidekap didepan dada. Siapa bilang aku tidak bisa membalas kata-katanya yang pedas.
“Iya, Mbak. Aku wanita pertama yang dicampakkan oleh dia!” Kutunjuk muka Elfayed dengan jari telunjukku.
“Dan mungkin, Mbak akan jadi yang kedua. Hati-hati, bisa jadi setelah ijab qobul pria ini kehilangan kewarasan lalu… Jatuh talaq deh.”
Aku memperhatikan dahi wanita itu berkerut dan sepasang matanya menyipit. Aku yakin, pasti hatinya mulai gelisah.
“Sayang…” Manja banget suara nya, apalagi ekspresi wajahnya. Iuuuuh, menyebalkan. Dan lagi, Elfayed mau aja tubuhnya digoyang-goyang gitu kayak anak kecil.
“Huuust, udah. Jangan dengerin wanita stres ini. Aku tidak akan mencampakkan kamu, aku sangat mencintaimu.” Elfayed mencoba menenangkan wanitanya. Tapi hal ini justru membuatku tertawa geli, rasanya aku belum puas jika tidak melihat mereka berselisih.
“Nah, itu tuh… Pria ini juga setiap hari bilang I Love You. Tapi setelah ijab qobul, I Hate You.” Sengaja aku membakar api kecil dihati wanita itu. Berharap semakin besar dengan sendirinya.
Kulirik Arka yang menahan tawa, wajahnya kemerahan dengan mulut terkunci rapat yang ditutup dengan tangan nya. Mungkin dia takut Elfayed tersinggung, sebab itu mati-matian dia menahan tawanya agar tidak lepas kendali.
“Kamu gak gitu ‘kan? Awas loh! Aku aduin nanti sama papah!”
Wanita yang belum kuketahui nama nya itu merajuk, persis seperti anak kecil manja yang dikit-dikit ada masalah ngadu ke bapak nya.
“Udah, jangan dengerin dia. Ayo kita cari tempat duduk!”
“Janji dulu kamu akan setia sama aku!”
“Iya, aku janji.”
Elfayed ngomong gitu aja wanita itu sudah percaya. Wajahnya kembali berseri-seri bahagia.
Aku kembali tertawa sumbang, membuat mereka semakin kesal padaku. Apalagi si wanita, mungkin dia pingin ngaduin aku ke bapak nya kali.
“Dulu banget, dia juga setiap hari ngomong gitu. Setia, dan hanya ada aku dimatanya. Tapi nyatanya, sekarang ada kamu tuh. Apa kamu yakin dia ngomong jujur?”
“Kenapa dia harus ada di sini sih, Mas?” bisik wanita itu dengan nada kesal, seraya menatap tajam ke arahku yang tampak santai memainkan sendok dan garpu.
Kulihat Elfayed menarik wanita nya pergi. Dia yang semula ingin menjatuhkan harga diriku, jadi kalang kabut dengan serangan balik dariku. Rasain!
Usai kepergian mereka, Arka tertawa lepas. Bahkan dia mengacungkan jempol nya tanpa sedikitpun rasa risih karena duduk bersama wanita seperti aku. Wanita yang terhina di malam pernikahannya.
Dia cukup pengertian untuk tidak bertanya tentang masa lalu. Apalagi mengungkit luka lama. Justru dia terlihat biasa saja, mungkin karena niatnya memang murni berteman denganku.
Sampai pulang, kami bercerita banyak hal yang lucu sampai membuatku lelah karena tertawa. Yah, untuk pertama kalinya aku merasa nyaman berteman dengan seorang pria. Arka juga tahu batasan nya, dia mengantarku sampai depan apartemen saja. Sementara aku harus berjalan sendirian untuk sampai kedepan kamarku.
“Mbak, lain kali jauhi pertengkaran!”
Aku tidak tahu sejak kapan Roni di belakangku. Namanya juga bodyguard, pasti gesit dan cakap dalam segala hal.
“Yang mau bertengkar siapa? Mereka yang mulai.” Jawabku apa adanya tanpa menoleh ke belakang. Karena sudah jelas itu suara Roni.
“Tapi itu bahaya buat keselamatan Mbak. Ayah wanita yang Mbak singgung itu salah satu pengusaha ternama di kota ini.”
Aku mengerutkan kening dan menghentikan langkahku seketika. Setelah nya aku mengangguk-anggukkan kepala bukan berarti menurut dengan nasihat Roni. Hanya saja aku mengetahui fakta, mungkin Elfayed mendekati wanita manja itu demi kekuasaan. Rakus emang!
Aku berbalik badan, kutatap Roni karena ada pertanyaan yang ingin ku lontarkan pada nya.
“Ayahnya pengusaha nomor berapa?” tanyaku.
“Kalau gak salah nomor tiga.”
“Kalau bos kamu nomor berapa?” tanyaku yang juga penasaran dengan deretan nomor urut konglomerat di kota aku merantau ini.
“Tentu saja number one.”
Pantas saja, gaji karyawan biasa seperti aku bisa menghidupi ibuku dikampung. Bahkan sebagian uang yang kukirim disimpan oleh ibu dan dibelikan sepetak tanah kosong dekat rumah. Ada perasaan menyesal sih, karena saat ini aku seorang pengangguran.
“Nomor duanya, siapa?” tanyaku lagi.
“Orang tadi.” Roni menjawab singkat. Tapi sukses membuatku bingung.
Orang tadi yang mana maksud Roni? Banyak orang yang kutemui sepanjang perjalanan. Apa aku harus menebak diantara puluhan orang bahkan ratusan, atau bertanya langsung aja ya?