Oleh: Muti Anjani
Bab 18. Kagum.
Malam ini, aku gelisah bukan main. Tidurku tidak nyenyak sama sekali, aku hanya teringat dengan ucapan Roni semalam. Bahkan otakku bekerja semalaman hanya untuk mengetahui siapa konglomerat kedua di kota tempatku tinggal.
Masalah nya, bukan ingin memanfaatkan seperti yang dilakukan Elfayed. Mendekati wanita demi kekuasaan. Hanya saya, Roni yang terlanjur bilang ‘Orang yang tadi’. Orang tadi yang mana? Banyak orang di sekitarku, haruskah aku tanyai mereka satu persatu?
Searching di google dan media sosial lain untuk mengetahui kebenaran. Tapi identitasnya bahkan tersembunyi. Siapa akhirnya yang jadi sasaranku, pastilah Roni.
‘Good morning’
Mataku membulat ketika pagi ini sebuah chat masuk ke ponselku. Kubuka halaman profilnya, membesarkan foto yang menjadi PPnya.
“Arka,” gumamku.
Lah, dari mana Arka tahu nomor ponselku? Padahal kita belum sempat bertukar nomor sebelum nya. Oh, aku tahu. Pasti saat aku pergi ke toilet, lalu dia diam-diam mencuri nomor di ponselku.
“Malas ah! Sebaiknya aku cari Roni. Enak aja dia bikin aku penasaran begini.” Kuabaikan chat dari Arka.
Aku segera bersiap, karena hari ini harus berkunjung ke rumah sakit jiwa seperti janjiku.
“Roni! Aku sudah siap.”
Roni mengarahkan aku untuk mengikutinya di belakang. Kulihat, bodyguard satu ini selalu terlihat fit dan segar. Padahal istirahat nya kurang nyaman pastinya.
“Ron, mampir ke kafe bentar ya!” Sengaja mengajak nya untuk bertanya lebih lanjut soal percakapan semalam yang belum selesai.
“Iya, Mbak. Emang saya diperintahkan untuk mengajak Mbak Zia ke kafe buat sarapan bareng tuan.”
“Oh, gitu.”
Padahal aku pinginnya bareng Roni, terus kukorek informasi darinya yang membuatku gelisah semalaman. Tapi, ya sudahlah! Mungkin aku bisa bertanya setelah sarapan bareng pak Sailendra.
Beberapa saat, akhirnya kami sampai di kafe dekat apartemen. Roni mempersilahkan aku duduk dan menunggu karena pak Sailendra dalam perjalanan.
“Ron, duduk dulu sini!” Aku menarik kursi, agar Roni duduk disampingku.
Roni tersenyum tipis sambil menggeleng kepala. “Gak, Mbak. Bawahan gak boleh duduk bersama majikan.”
Aku berdecak kesal karena ucapan Roni yang menyinggung. Majikan? Siapa yang dimaksud majikan. Bahkan aku gak punya uang untuk membayarnya.
“Majikan apanya? Aku bukan majikan kamu! Ayo cepat duduk!”
Terpaksa aku menarik tangan Roni dan menuntun nya untuk duduk di kursi, walaupun sebenarnya Roni memberontak dan tidak mau seperti pendiriannya. Tapi aku yang terus memaksa dan akhir nya Roni baru menurut.
“Roni, kamu bilang mau mengatakan nya soal semalam?” tanyaku to the point.
“Oh, lupakan saja, Mbak.”
Aku tidak terima,butuh waktu semalaman sampai aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Lalu, dia bilang sekarang untuk melupakan. Enak aja!
“Katakan, atau aku akan bilang ke pak Sailendra kamu gak becus jagain aku!” Terpaksa aku mengancamnya.
Aku tengah menikmati secangkir kopi hangat ditemani Roni yang masih bungkam. Saat ini, Roni nampak waspada dan memperhatikan sekitar dengan wajah serius.
“Cepat katakan!” Desakku.
“Maaf, Mbak. Tapi Mbak sudah mengenal nya,” ucapnya pelan.
Jantungku berdegup kencang, penasaran dengan apa yang dirahasiakan Roni. Aku semakin mendesaknya, apalagi dia bilang aku mengenalnya.
“Tapi, janji jangan bilang ke siapapun Mbak tahu dari saya.” Suara nya semakin pelan.
“Iya, iya. Janji!” Aku meyakinkan Roni. Seperti nya Roni takut pada seseorang.
Mungkin saja, identitas konglomerat kedua itu dirahasiakan. Jadi, siapa yang menyebar luaskan akan mendapatkan masalah. Begitu mungkin, ini hanya pemikiran seorang Arzia saja. Entahlah apa yang dipikirkan Roni.
Roni menarik napas panjang, “Arka, temanmu itu, dia bukan hanya seorang pria biasa. Dia adalah CEO yang saat ini menjadi sorotan dunia bisnis. Bahkan sepak terjangnya didunia bisnis mampu menyaingi tuan Sailendra. Sebentar lagi, pasti dia akan menjadi nomor satu di dunia bisnis.”
Aku tercengang, tidak percaya. Arka, yang kulihat santai dan sederhana, ternyata memiliki identitas yang luar biasa. Rasa kagumku pada Arka semakin bertambah. Tidak heran dia selalu penuh wawasan dan pandai dalam banyak hal, tetapi yang membuatku lebih terkesan adalah bagaimana dia tidak pernah menunjukkan kesombongan atas apa yang telah dia capai. Arka selalu bersikap ramah, humoris dan membantuku tanpa pamrih, tanpa pernah menunjukkan aura ke-CEO-an yang melekat padanya.
Roni melanjutkan, “Dia ini pesaing tuan Sailendra. Jadi, kalau ada tuan, jangan sebut nama pria itu. Bisa-bisa dia marah besar.”
Aku mengangguk, penuh pengertian. Sudut pandangku terhadap Arka mulai berubah. Malah, aku merasa ingin lebih dekat dengannya, mengetahui bahwa dia memilih untuk tetap rendah hati dan manis meski berada di puncak kesuksesan. Sebuah senyuman tipis terukir di wajahku, bersyukur memiliki teman seperti Arka saat aku sedang terpuruk waktu itu.
Ehem!
Roni buru-buru bangun dari duduknya dan berdiri menjauh sambil menunduk hormat.
Sailendra duduk persis didepan ku, matanya melirik bergantian antara aku dan Roni. Sumpah, auranya membuatku ketakutan. Tapi bila kulihat tatapan matanya, teduh dan penuh kasih.
“Kalian sedang membahas apa?” tanya nya.
Sekilas kulihat Roni yang menggeleng kecil. Masa depan nya bergantung padaku, sekali salah berucap. Pasti akan membuat Sailendra marah. Aku tahu ketakutan nya, aku juga tidak mungkin memperkeruh suasana. Arka, pria itu sangat baik. Aku tidak ingin dia juga tersandung masalah. Sudah cukup aku merepotkan nya.
“Saya hanya bertanya pada Roni, tentang calon tunangan nya Elfayed.” Aku tidak mengada-ngada kan? Memang semalam aku bertanya tentang wanita itu.
Roni sepertinya telah lega, kudengar helaan napasnya yang kasar. Ia pun segera memanggil pelayan kafe untuk melayani kami.
“Namanya Maya, dia putrinya Atmojo. Pebisnis handal dan berpengalaman.”
Udah, itu aja. Aku yakin sekali, pak Sailendra itu mengetahui tabiat buruk Elfayed. Gak mungkin kan pak Sailendra tidak tahu menahu soal kabar Elfayed yang izin menikah, namun pada akhirnya cerai juga.
Atau mungkin pak Sailendra lebih kepada menjaga perasaan ku. Ia tahu, pasti aku akan kembali mengingat luka lama yang belum sembuh ini.
“Setelah sarapan, kamu temui istriku. Dia pasti senang bertemu denganmu.”
Aku hanya mengangguk saja, meskipun sebenarnya aku penasaran kenapa harus aku yang menemui ibu Diana.
Ditengah percakapan, Sailendra mendadak merogoh ponsel nya yang ada disaku jaz. Entahlah, kenapa wajahnya sangat serius kali ini.
“Bagaimana?”
Mukanya yang serius pasti telpon penting. Apalagi suara nya terdengar mengkhawatirkan sesuatu.
“Apa tidak bisa dipercepat hasilnya? Saya ingin besok pagi hasilnya dikirim kekantor! Saya tidak bisa menunggu lama lagi.”
Apa mungkin terjadi masalah di kantor? Setahuku, produksi perusahaan maju pesat. Meskipun aku sudah libur 10 hari, tapi begitu aku masuk justru terjadi perubahan besar.
“Saya tidak mau tahu, Dok! Saya butuh hasil lab itu secepatnya!”
Namanya juga bos besar, apa-apa harus sesuai dengan keinginan nya. Dokter aja dipaksa patuh olehnya. Eh, tapi hasil lab apakah yang dimaksud?