Oleh: Muti Anjani
Bab 20. Hasil Tes DNA.
“Zia, kenalkan! Ini Pak Jeremy.” Pak Sailendra memperkenalkan kami.
“Oh, ini yang namanya Zia. Cantik seperti ibunya.” Pak Jeremy mengulurkan tangan nya.
Sesaat aku mengerutkan kening, merasakan aneh dengan ucapan pak Jeremy barusan.
‘Seperti ibunya?’
Aku berpikir, mungkin memang seperti itu. Setiap perkenalan akan melibatkan orang tua. Kalau pria pasti akan di bilang tampan seperti ayahnya.
Aku melengkungkan senyuman manis sambil menerima uluran tangan pria yang sebaya dengan pak Sailendra. Tapi aku sendiri masih bingung dengan arti keberadaan ku disini.
Pak Jeremy berdiri dan berjalan ke mejanya. Dia menarik laci dan mengambil sesuatu dari sana. Map coklat yang biasa aku gunakan untuk melamar pekerjaan, tapi entah apa isi didalam nya.
Map coklat diletakkan di meja, persis didepan pak Sailendra. Kami duduk di sofa panjang empuk diruangan pak Jeremy. Mungkin sofa ini khusus untuk membahas masalah klien. Sedangkan meja kerja nya khusus pribadi yang tak tersentuh oleh siapapun.
“Langsung atau gimana?” tanya pak Jeremy sambil membenahi kaca mata bacanya.
Helaan napas berat terdengar olehku, pak Sailendra juga menoleh sekilas dan tersenyum kecil padaku. Entahlah, kok aku yang merasa aneh sih. Seperti akan ada kabar besar yang mungkin bisa merubah kehidupanku.
Aku mencoba berpikir positif, menghilangkan prasangka buruk yang terkadang menyesatkan. Tapi otakku tak bisa menghindari nya, apalagi aku sedang berada di kantor firma hukum, ngeri kan? Aku hanya takut, jika pak Sailendra mengikatku dengan perjanjian untuk menjaga bu Diana seumur hidup. Bukankah artinya aku tidak akan bisa melakukan apapun? Lalu, bagaimana dengan rencana pembalasan dendam pada Elfayed? Belum lagi mencari orang tua kandungku, kenapa juga mereka membuangku saat bayi. Memikirkan ini rasanya aku ingin segera kabur saja.
“Menurutmu gimana? Apa aku tidak terlalu terburu-buru?”
Pak Jeremy terlihat berpikir, ia pun melihatku sekilas bergantian dengan map coklat dimeja.
“Terserah kamu sih, setiap tindakan pasti ada konsekuensi nya. Cepat atau lambat kebenaran akan terbongkar.”
Aku bisa merasakan nya, Pak Sailendra sedikit bimbang dengan keputusan nya. Meskipun aku tidak tahu apa yang membebani hatinya. Tapi dari yang kulihat, sepasang matanya memancarkan rasa takut kehilangan. Itu tatapan yang sama seperti aku yang takut kehilangan ibu saat itu.
“Langsung aja! Lebih cepat lebih baik. Aku akan menerima konsekuensi nya, baik atau buruk aku siap menerima.” Ada nada kepasrahan dalam setiap katanya. Tapi tekadnya besar meski dikepung ketakutan.
“Ya udah buruan! Aku juga pingin denger, Zia juga kan?”
Aku tidak tahu harus menjawab apa, karena topiknya aja gak tahu sama sekali. Lagian, kenapa orang besar seperti Pak Sailendra harus mengikutsertakan aku yang tidak berpendidikan sih?
Aku hanya tersenyum canggung sebagai jawaban. Habis mau gimana lagi, mau jawab takut salah.
“Loh, kenapa jadi aku? Aku kesini jauh-jauh buat apa? Aku bayar kamu mahal! Cuma buat jadi juru bicara doang, enak kan kerja nya?”
Aku hanya memperhatikan mereka berdua, tak ingin sekalipun ikut campur. Orang rendahan seperti aku mana berani bersuara. Udah untung seluruh kebutuhan ku dijamin oleh nya. Tempat tinggal juga gratis dari Arka. Sekarang aku baru sadar, di balik kemalangan dan penderitaan ada juga kebahagiaan yang diberikan sang Pencipta.
“Hah, iya deh.” Pak Jeremy menarik map coklat dan membuka nya.
Aku juga penasaran, apa sebenarnya yang ada di dalam nya. Mataku tak berkedip memperhatikan gerakan tangan pak Jeremy sampai dikeluarkan nya sebuah dokumen.
‘Hanya dokumen ternyata’
“Oke, kita mulai dari kisah pertama.” Lanjutnya.
Di ruang kerja pak Jeremy yang dipenuhi keheningan, dia duduk dengan postur tegap dan sebuah berkas ditangan nya. Dia adalah seorang pengacara berpengalaman yang dikenal akan kecerdasannya dalam memecahkan kasus-kasus rumit. Dengan suara yang terukur, ia memulai ceritanya.
“Pak Sailendra adalah klienku, seorang pria yang telah kehilangan bayinya karena ulah pembantu yang baru saja dipekerjakannya.”
Aku tak heran, karena memang aku sudah tahu cerita nya langsung dari pak Sailendra. Tapi tunggu dulu! Kenapa pak Jeremy membahas tentang ini? Bukankah pak Sailendra mengatakan ini berhubungan dengan ku?
Otakku sejak pertama kali menginjakkan kaki di Kantor Firma hukum ini dipaksa berpikir dan berpikir. Lama-lama bisa meledak, haduh!
“Namun, setelah penyelidikan yang mendalam oleh tim kepercayaan ku. Ditemukan fakta yang lebih mengejutkan,” ungkap Pak Jeremy, matanya menatapku jeli, sampai aku insecure dan membuang wajahku ke arah lain. Aku berpura-pura melihat lukisan di dinding.
“Dengan berat hati saya harus mengungkapkan bahwa penculikan bayi Pak Sailendra ternyata direncanakan oleh ibu kandungnya sendiri.”
Aku yang semula membuang muka, kini mengalihkan pandangan ke arah pak Sailendra yang duduk disampingku. Iba, kasihan dan prihatin bercampur menjadi satu. Sebelum nya pak Sailendra tidak menceritakan versi full nya. Ternyata ada seorang ibu yang tega memisahkan ibu lain dari anaknya. Ibu macam apa dia?
Aku beruntung memiliki seorang nenek yang lembut, penyayang dan sabar. Meski aku anak pungut, tapi mereka tidak membeda-bedakan.
Budhe Sari, apa kabar dia? Mendadak aku merasa sedih saat teringat kesalahpahaman yang terjadi karena aku.
“Motif di balik tindakan ini adalah ketidakpuasan beliau terhadap menantu perempuannya, nyonya Diana.”
Aku yang sedang sedih sangat terkejut dengan fakta yang diungkapkan oleh Pak Jeremy. Di mataku bu Diana sangat sempurna. Hidungnya lancip dan tinggi, matanya coklat dan kulitnya putih bersih meski gak perawatan di salon selama tinggal di rumah sakit.
Eh, tunggu! Kok, ciri-ciri nya mirip denganku? Yah, ciri-ciri fisik yang disebutkan budhe Sari saat marah saat itu.
Mikir apa sih aku, masa iya aku anaknya bu Diana yang cantik itu.
Pak Jeremy melanjutkan, “Ini bukan hanya kasus penculikan biasa, tapi sebuah konspirasi keluarga yang telah menyakiti banyak hati, terutama Diana yang kehilangan bayi sampai depresi hingga…”
Sebagai seorang sahabat, mungkin pak Jeremy mengerti bagaimana perasaannya pak Sailendra. Hingga ia menelan kembali kalimat yang mungkin bisa menyakiti pak Sailendra.
Sejenak, Pak Jeremy menarik nafas, kemudian dengan tatapan yang penuh emosi, dia menatap lurus ke arahku, membuatku takut saja.
“Dan yang lebih mengejutkan lagi,” lanjutnya dengan suara yang lebih rendah, hampir bisikan, “Bayi malang yang diculik itu…”
Sepertinya bayi bu Diana sudah ditemukan, aku ikut lega kalau begitu. Tapi kenapa aku merasa sedih dan tidak rela? Seperti… Entahlah! Sulit digambarkan.
“Bayi itu sudah ditemukan, dan bukti tes DNA ada disini.”
Sepasang mataku memanas, bukan karena ada yang menyakitiku. Tapi rasanya aku ingin menangis karena tidak terima jika bayi itu gadis lain.
Mimpiku terlalu tinggi!
“Zia,” Panggil Pak Sailendra dengan lembut.
Aku mati-matian menahan air mataku agar tidak tumpah. Mengendalikan diri sebisa mungkin baru bisa menatap pak Sailendra.
“Iya,”
“Kamu nangis?” tanya nya.
Aku sudah sebisa mungkin menahan air mata sial4n ini. Tapi apalah daya, dia merembes begitu saja tanpa ku sadari.