Oleh: Yuan_bee
Asep pun membuka pintu, dan rupanya ada sebuah mobil yang sedang parkir di halaman rumah Maman.
“Apa Kakang punya kenalan atau keluarga yang punya mobil tersebut?” tanya Asep.
“Tidak punya, coba kamu samperi dia, tanyakan, apa maksud serta tujuannya datang ke kampung ini!” suruh Maman.
“Saya tidak berani, Kang. Takut kalau dia orang jahat.”
“Apa mungkin temanmu dari kota yang menjemputmu pulang?” tanya Maman.
“Sejauh ini aku tidak punya teman yang punya mobil. Aku hanya mahasiswa biasa.”
“Lantas, siapa ya, malam-malam kok datang ke kampung ini?”
Berhubung Asep tidak berani mendekat ke mobil itu, Maman sendiri yang terpaksa harus melakukannya. Dia mengetuk pintu mobil itu, seketika pintu itu terbuka dan muncullah seorang pria berpenampilan rapi.
“Siapa kau? Kok malam-malam ke sini? Ini sangat berbahaya.”
“Aku Dicky, datang dari kota untuk mencari Dukun Pardi, tadinya dia berjanji akan berangkat bersama, tapi dia sampai ke sini terlebih dahulu,” jawabnya sambil meminta jabat tangan.
“Aku Maman, warga kampung Suropati. Sepertinya Dukun Pardi sedang mengejar hantu,” ujar Maman menerima ajakan bersalaman.
“Dasar Dukun sial, apa Bapak tahu dia ada di mana?”
“Entah, sampai sekarang dia belum kembali lagi. Mari kita bicarakan di rumahku saja sambil menunggu Dukun itu kembali. Kebetulan, aku juga punya tamu.”
“Baik,” sahut Dicky menyanggupi ajakan Maman. Dia keluar dari mobil, lalu berjalan mengikuti Maman.
Sebenarnya, di dalam hati Maman, ada rasa curiga dengan pemuda yang tadi dia temui. Bisa jadi, dia punya niat jahat yang terselubung di dalam hatinya.
Di dalam rumah Maman, Dicky bertemu Eko dan Asep yang sedang mengobrol tentang boneka yang misterius. Dicky yang penasaran pun berkata kepada Asep.
“Boneka misterius apa?”
“Itu lho, boneka setan yang meneror desa ini setiap malam,” ungkap Asep.
“Menarik,” celetuk Dicky.
“Aku pun datang dari kota, jauh-jauh untuk mengkaji hantu tersebut,” sela Eko.
“Untuk apa kau mengkaji itu?” tanya Dicky.
“Penasaran aja, Bang.”
“Penasaran gimana? Kau siapa? Di mana kau menempuh pendidikan?”
“Saya Eko, dari Universitas Gajah Duduk (UGD), Mas.”
Dicky mengerutkan keningnya, sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu yang kembali muncul di ingatan masa lalunya.
Sementara itu, Eko belum puas dengan jawaban dari Maman tadi. Sebab, penjelasannya terhenti setelah kedatangan Dicky. Sehingga, Eko masih menunggu saat yang tepat, untuk bisa mencari informasi lagi.
Setelah itu, mereka kembali mengobrol dengan topik lain, hingga tak terasa sudah akan menjelang pagi. Mereka semua terlihat akrab, meski baru saja bertemu.
Sementara itu, anak dan istri Maman sudah bangun dari pingsan. Maman bersyukur karena boneka itu tidak merenggut nyawa keduanya, meskipun tadi malam Maman dibuat panik oleh hantu tersebut. Sampai-sampai, dia terjaga karena pikirannya masih was-was apabila hantu itu kembali lagi, meskipun di sana ada banyak orang.
Pagi itu, ada dua orang yang akan memasuki rumahnya. Maman bisa melihat keduanya dari jendela yang mengarah ke depan halaman rumahnya. Rupanya ada Bejo dan Dukun Pardi.
“Sudah berhasil?” tanya Maman.
“Belum, aku kesulitan untuk menangkapnya, karena hantu itu bisa terbang dari pohon ke pohon dengan lincah,” jawab Dukun Pardi.
“Bejo, kau juga ikut menangkap hantu tersebut?”
“Tadinya, tapi gagal.”
Dicky yang mendengar ada orang mengobrol pun terbangun dari tidurnya. Diikuti Eko dan Asep yang juga ikutan bangun.
“Pardi, kamu kuperintahkan datang ke kampung ini bukan untuk memburu hantu, melainkan untuk mencari jasad tunanganku!” seru Dicky, “kamu juga ngapain, memberi tarif kepada warga sini demi menangkap hantu itu? Aku kan sudah membayarmu.”
“Maaf Mas Bos, aku …,” kata Pardi menunduk.
“Oke, aku memaafkanmu, tapi ingat tujuan kita berdua datang ke desa ini!”
“Baik, Mas Bos.”
Eko dan Maman saling memandang, mereka berdua baru saja mendengar fakta baru yang membuatnya kaget.
“Maksudmu, tunanganmu mati di kampung ini?” tanya Eko penasaran.
“Kemungkinan besar. Tunanganku dibunuh oleh para penjahat dan mayatnya dibuang entah ke mana,” jelas Dicky dengan nada sedih.
“Apa mungkin hantu wanita itu adalah arwah dari tunanganmu yang gentayangan karena tidak dikubur dengan layak?” tebak Asep.
“Mana mungkin, sejak beberapa bulan yang lalu, tidak ada kabar mengenai penemuan mayat atau pembuangan jasad manusia,” sangkal Maman.
“Menurutku benar kata Asep, Kang. Penyebab teror kan hantu wanita, Kang. Bisa jadi jasadnya dibuang di suatu tempat dan belum ditemukan, sehingga arwahnya punya niat balas dendam,” sela Bejo.
“Tujuanku datang ke desa ini karena ada kabar tentang pembuangan mayat di sekitar daerah ini. Maka dari itu, aku tugaskan Pardi untuk ke sini untuk mencarinya,” kata Dicky.
“Sayangnya, aku tidak bisa mendeteksi keberadaan mayat itu di daerah sini. Indraku tidak mampu menerawangnya,” ungkap Pardi.
“Menurutku ini aneh, kalau memang ada hantu gentayangan, pasti ada penyebabnya,” pikir Maman.
“Lantas, kita harus bagaimana, Kang? Sudah banyak korban yang tewas. Aku tidak mau wargaku jadi korban hantu itu lagi,” ucap Bejo.
“Tidak ada cara lain lagi, selain kita pancing dia, lalu tangkap hantu itu terlebih dahulu, siapa tahu hantu wanita itu ada kaitannya dengan jasad tunanganmu,” saran Pardi.
“Boleh, nanti malam kita kumpul lagi di sini untuk menangkapnya,” kata Maman.
“Aku akan ikut, demi tunanganku,” sela Dicky.
“Aku juga akan ikut,” sahut Eko yang dari tadi mendengar saja.
“Namun, kalian bertiga bukan warga asli sini. Aku tidak mau terjadi apa pun kepada kalian,” ucap Maman.
“Aku akan mempertaruhkan jiwa ragaku demi tunanganku agar tenang di alam sana,” ujar Dicky.
“Aku akan membantumu, Mas Bos,” sahut Pardi.
“Aku juga akan turut serta,” kata Eko.
Mereka semua berencana untuk menyerang hantu itu nanti malam. Setelah itu, mereka semua bubar. Pagi pun menjelang siang. Matahari memancarkan cahayanya dengan terik. Dicky dan Pardi kembali mencari jasad tunangan Dicky yang hilang.
*Kembali ke Revan*
“Tumben Eko belum datang juga, biasanya dia berangkat lebih awal,” ucap Revan menunggu kedatangan temannya. Ada raut wajah kekhawatiran yang tergambar pada wajahnya.
Dia pun curiga, hingga jam kuliah tiba, Eko pun tak kunjung hadir. Setelah jam kuliah selesai, dia pun menelepon Eko.
“Kamu ke mana saja, kok tidak berangkat kuliah?”
“Aku sedang agak sibuk nih.”
“Palingan cuman mager di kamar aja kan?”
“Kata siapa? Aku sudah tahu, apa itu Suro Dlemok, sekarang di sini.”
“Tidakkah berbahaya? Di situ kan banyak demit berkeliaran.”
“Tenang saja, Kawan. Aku sudah hafal ayat kursi.”
“Baiklah kalau begitu, tapi kau harus tetap hati-hati dengan hantu itu. Siapa tahu mereka akan memakanmu.”
“So pasti. Kamu tenang saja, aku tidak akan dimakan oleh mereka,” kata Eko mengakhiri percakapannya.
Telepon pun terputus dan Revan kembali menuju kontrakan untuk beristirahat, akibat rasa lelah pada dirinya.
Tidak seperti biasanya, saat itu dia pulang dari kampus sudah larut malam. Suasana di sudut kota cukup sepi, karena kebanyakan orang sudah beristirahat.
Entah kenapa, Revan merasa lapar dan ingin membeli camilan. Di menuju ke minimarket terdekat terlebih dahulu. Setelah itu, dia memasuki gang kumuh sebelum masuk ke kontrakan. Seperti kejadian sebelumnya, Revan selalu diganggu oleh sosok misterius yang mengikuti langkah kakinya.
“Woy hantu! Jangan ganggu aku lagi! Sekarang tunjukkan wujudmu! Aku sudah tidak takut!” tantang Revan.
Setelah Revan mengatakannya, ada angin yang berembus menerpa lehernya. Buluk kuduk Revan pun berdiri karena merinding. Apalagi saat itu dia pulang saat malam hari.
Revan melihat ke sekelilingnya, tapi tidak ada apa-apa di sana. Lalu, dia kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar kontrakan. Baru saja dia memijakkan kaki beberapa langkah, ada seseorang yang menutup kedua mata Revan dari belakang ….