Oleh: FitriHan
“Xaviera, kau hampir melukai seorang bayi!” Respon Eric semakin mengejutkanku, aku tidak dibela oleh suamiku sendiri. Siapa yang menikah dengan siapa disini? Eric semakin terlihat asing dari menit ke menit, sekarang kami terasa jauh.
Tak ada ada Eric yang selalu membelaku dan dengan sigap merawatku, Eric bahkan tidak menanyakan keadaanku yang baru saja terjatuh padahal dulu hal sekecil apapun yang melukaiku tak pernah tidak ia perhatikan. Aku telah kalah penting dari dua wanita itu, mungkin aku memang harus bersiap atas apa yang diucapkan Leticia tadi, yaitu tidak dipilih dan didepak dari sini.
“Aku tidak tahu bagaimana jadinya aku jika terjadi sesuatu pada Patricia barusan.” Leticia menangis tersedu, Eric berulangkali mengecek keadaan Patricia yang kembali menangis. “Xaviera memang tidak pernah memegang bayi, dia masih perlu banyak belajar.” Aku bahkan tidak lagi bisa membedakan apa Eric sedang membelaku atau menghinaku.
Leticia terus menangis sembari menenangkan anaknya yang terus-menerus menangis. “Xaviera apa kau sengaja melakukan ini?” Mataku bertemu dengan Eric, aku tahu Eric sedang marah. Aku hanya tak percaya bahwa Eric tidak mempercayaiku sebagai istrinya, sebagai wanita yang menjalin hubungan lama dengannya.
“Eric kau tahu aku.” Eric mengusap kasar wajahnya. Tiba-tiba bentakan keras terdengar, “TAPI DIA INI BAYI!” jantungku berdegub dengan kencang, mataku memanas dan tiba-tiba air mata sudah tumpah. Kekecewaanku berada di ambang batas, aku tidak bisa menyembunyikan tangisanku lagi.
“Bayinya tidak apa-apa, aku melindunginya dalam pelukanku. Ia hanya kaget.” Aku berusaha menjelaskan, tapi tidak pernah mereka dengar karena mereka anggap aku terlalu awam untuk mengenali gejala dan arti tangisan bayi.
“Kita bawa ke rumah sakit ya.” Eric menenangkan Leticia yang khawatir. Ketika Eric menyentuh pundak Leticia dan menepuknya untuk menenangkan wanita itu, aku bergegas pergi dari sana, membanting pintu sekeras mungkin tak perduli Eric akan semakin marah padaku.
Aku merasa tidak dihargai di rumahku sendiri, padahal aku nyonya di sini. Mungkin aku terlalu baik hati, seharusnya aku bisa menendang wanita itu pergi dari sini atau bahkan keduanya, bersama Eric sekalian. Aku hanya bisa merasakan sulitnya menjadi ibu tunggal, seperti ibuku yang harus merawatku dan Felix tanpa bantuan ayah yang telah tiada saat kami masih sekolah dulu. Sepertinya Leticia harus berterima kasih padaku karena memiliki ingatan dan perasaan seperti ini, jika tidak aku mungkin benar-benar akan menyeretnya keluar dengan paksa.
Akhirnya aku yang mengalah, pergi ke luar tanpa membawa apapun selain tubuhku dan sebuah kunci mobil yang sudah ada di saku celanaku sejak tadi siang. Sebuah musik ballad tiba-tiba terputar saat kunyalakan musik di dalam mobil, tangisanku semakin kencang menyadari liriknya begitu sama dengan apa yang kurasakan sekarang.
Setelah setengah jam melajukan mobil tanpa arah tujuan, akhirnya aku kembali pergi ke bar yang kemarin. Aku memesan beberapa minuman alkohol yang mungkin akan cukup dengan uang cash di celanaku. Aku benar-benar tidak memikirkan apapun dan pergi membawa apapun, hanya kunci mobil dan sisa kembalian di saku celana setelah pergi dari supermarket sore tadi. Mungkin seteguk dua teguk minuman akan sedikit membuyarkan ingatanku tentang kejadian tadi.
Segelas alkohol tiba di hadapanku, baru saja aku akan meminumnya tiba-tiba dua orang yang kukenali menyapaku. “Xaviera? Sedang apa disini?” Aku segera menyembunyikan satu sloki alkohol di belakang punggungku setelah menyadari bahwa dua orang pria ini adalah rekan kerja sesama polisi dengan Eric.
“Tidak salah kah aku melihat seseorang yang baru saja menikah ada di tempat seperti ini?” Mereka tertawa, aku tidak mengerti dengan sikap tak ramah yang mereka tunjukan. Aku tidak mengenal mereka dengan begitu baik, aku hanya tahu mereka adalah rekan kerja Eric dan kami sering bertemu di beberapa kesempatan. Mereka juga hadir di pesta pernikahan kacauku kemarin.
“Pasti karena Leticia, betul? Eric kan sangat mencintainya.” Ucap seorang dari mereka. Dan benar, mereka mengungkit kejadian di pesta pernikahanku dengan Eric kemarin.
“Ya, Leticia wanita yang cantik, dia juga kaya, jelas Eric mencintainya sampai gila. Istrinya harus tahu hari-hari saat Leticia tiba-tiba pergi adalah bagaikan neraka bagi Eric.” Aku mematung di tempat, mencengkram kuat sloki di belakang punggungku hingga sedikit alkoholnya tumpah ke tangan karena cengkramanku. Mereka saling menatap dan tertawa, membuatku ingin mencolok kedua mata mereka dan menyumpal mulutnya dengan botol alkohol.
“Eric seperti orang gila. Ia juga merasa gila karena harus berpura-pura baik-baik saja di hadapan pacar yang sudah tidak ia cintai lagi.” Dan setetes air mata jatuh, kuseka dengan cepat tak akan kubiarkan mereka tahu aku serapuh ini.
“Jika Leticia tidak pergi, pernikahan kemarin tidak akan terjadi. Dan kau tahu bagaimana malam-malam panas yang mereka habiskan disini?” Cukup sudah, aku muak. Dengan sisa alkohol dalam sloki yang kugenggam, kusiram wajah seorang polisi yang tengah mengolok-ngolokku ini.
“Shit! Wanita sialan! Darimana Eric menemukan wanita bar-bar seperti ini? Sialan, kemari kau!” Aku pergi dari bar, meninggalkan teriakan cacian polisi itu yang tidak terima dengan perbuatanku. Aku tak perduli sekalipun mereka mengejarku dan menjebloskanku ke penjara, aku bahkan tak perduli jika aku mati hari ini, aku tidak perduli lagi pada hidupku sendiri.
Kupikir aku akan mendapatkan ketenangan tapi aku malah mengetahui hubungan percintaan antara Eric dan Leticia jauh lebih dalam, dan sebuah pengkhianatan lain dari Eric pada hubungan kami. Eric berhenti mencintaiku sejak Leticia masuk ke kehidupannya, itu yang aku tangkap dari ucapan mereka tadi. Tapi karena Leticia pergi, dan Eric terlanjur berjanji akan menikahiku itu sebabnya pernikahan kemarin terjadi.
Dalam mobil aku menangis kembali, tujuanku membawa semua barangku keluar dari rumah sialan yang diberikan oleh Eric sebagai kado pernikahan kami. Namun saat aku sampai ke rumah, aku mendengar suara tangisan Patricia yang kencang. Tak ada siapapun di sini, aku tidak bisa berpikir apapun karena kukira mereka tadi pergi ke dokter, namun tangisan Patricia masih terdengar begitu kencang di rumah ini. Aku sedikit panik takut terjadi sesuatu pada Patricia. Suaranya terdengar dari kamar Eric, sepertinya Eric tak bisa mengasuhnya.
Aku bergegas masuk ke kamar Eric untuk menghampiri Patricia, aku mungkin bisa sedikit membantu dengan apa yang baru kupelajari sejak tadi pagi. Namun alangkah kagetnya aku saat melihat ternyata Eric dan Leticia sedang bercinta di kamar tersebut, mereka tak menghiraukan tangisan Patricia di ranjang yang sama yang mereka tempati. Patricia tepat berada di samping mereka, namun kedua orang tuanya tak menghiraukan tangisannya, mereka tetap melakukan kegiatan panas mereka tanpa berhenti dan tak perduli guncangan yang mereka timbulkan telah membuat Patricia semakin dekat sisi ranjang hingga nyaris terjatuh.