Oleh: FitriHan
Aku tak perduli dengan suami bajinganku, aku berbalik menahan tangis dan suara Eric terdengar, “Xaviera!” Langkahku semakin cepat saat kurasakan Eric mengejarku. Air mata tiba-tiba menetes saat aku menuruni tangga dengan cepat, Eric masih mengejarku dan memanggil namaku dengan mulutnya yang sialan itu.
“Xaviera!” Eric mencengkram tanganku, ia berhasil menghentikanku. Alih-alih aku menatap matanya dengan tatapan menantang, namun Eric tak bersuara. Sudah kuduga ia tak akan bisa mengatakan apapun lagi, ia tahu ia bersalah padaku dan ia malu.
“Semuanya selesai, biarkan aku pergi,” ucapku dengan ketus. Cengkraman tangan Eric menguat saat aku berusaha melepaskannya. Dari atas sana kulihat Leticia dengan tubuhnya yang dibalut selimut menunjukan seringai dan melambaikan tangan padaku dengan genit.
“Aku tahu kau takut mengecewakan ibuku. Tak apa lepaskan saja aku, biar aku yang bilang kalau aku yang selingkuh.” Saat itu cengkraman tangan Eric mengendur, akhirnya aku tahu perasaan Eric padaku memang hanya karena terikat janji, memang karena tidak enak pada ibuku. Eric hanya mencintai Leticia, ia melepasku dan memilih wanita itu.
Aku keluar dari rumah itu, kali ini tak aku rasakan langkah kaki yang mengikutiku. Saat aku hendak membuka pintu mobil aku melihat Leticia memeluk Eric dari pantulan kaca mobilku. Tak ada lagi keraguan, Eric sudah bersedia untuk dilepas.
Aku memutuskan untuk tidak pulang ke rumah ibu, aku tahu bahwa ibu tahu bagaimana rumah tanggaku saat di pernikahan kami. Tapi aku belum siap untuk mengaku terus terang, mungkin aku akan mengirim ibu sebuah pesan bahwa aku akan bercerai, walaupun aku katakan aku yang berselingkuh, ibu mungkin tidak akan pernah percaya. Tapi aku harap ibu memahami keputusanku.
Aku pergi ke hotel, berencana untuk menginap disana atau sampai Felix menjemputku. Sebelum pergi aku sudah mengirim pesan pada saudaraku Felix bahwa aku akan ikut dengannya. Felix merespon dengan cepat, dia bilang orang suruhannya akan datang menjemputku. Dan tepat, baru beberapa jam aku di hotel orang yang mengaku sebagai orang suruhan Felix tiba di depan kamarku.
“Nona Xaviera, aku akan mengantarmu.” Dia tersenyum manis, dengan jaket kulit hitam yang ia taruh di pundaknya. Ia terlihat lebih muda dari Felix, tapi aku senang karena ia begitu sopan padaku.
“Bagaimana dengan barang-barangku? Aku tidak sempat membawanya.” Aku memberitahunya bahwa aku tidak begitu siap karena tidak bisa mengemas apapun untuk persiapan tinggal disana.
“Jangan khawatir nona, tuan Felix akan menjamin semuanya.” Aku menganggukan kepalaku, ucapan tuan Felix membuatku yakin bahwa pria ini adalah pegawai Felix. Selama perjalanan menuju basement aku tak henti-hentinya menerka apa yang sudah Felix bangun di paris dengan usahanya. Kupikir Felix sudah menjadi kaya raya karena telah mempekerjakan pria-pria muda dan keren.
“Siapa namamu, apa kau pegawai saudaraku?” Aku menengok ke arah pria yang tengah memandu perjalanan kami menuju mobil di basement. Pria itu menoleh, lantas memperkenalkan diri padaku. “Maaf karena tidak memperkenalkan sejak awal. Aku Jean. Dan, ya. Aku bekerja pada tuan Felix.”
Perkenalan yang singkat itu berakhir saat Jean menunjuk mobil yang akan kami pakai menuju bandara. Aku mematung di tempat, sebuah mobil mewah yang tidak akan pernah bisa aku beli sekalipun aku bekerja seumur hidupku. “Kita akan memakai ini?” Aku berusaha meyakinkan, takutnya Jean salah menunjuk mobil. Namun Jean mengangguk, lewat kunci di dalam genggamannya mobil tersebut berbunyi. Jean membukakan pintu untukku, dengan sedikit tak yakin aku masuk ke dalam mobil.
“Tunggu, kau benar-benar orang suruhan saudaraku Felix kan? Bukan seseorang yang mengaku-ngaku hanya untuk menculikku?” Jean setengah tertawa, entah kenapa aku terhenti sejenak untuk menikmati wajah tampannya saat tertawa, sekalipun aku tak mengerti alasannya menertawakan ucapanku.
“Nanti kita hubungi saudaramu di bandara, nona.” Jean menutup pintu mobil di sampingku untuk beralih memasuki mobil lewat sisi kemudi. Jean terlihat karismatik saat memegang stir mobil, padahal aku tidak pernah memuji siapapun kecuali Eric dulu, tapi kali ini aku seolah melihat pria tertampan di dunia.
Kami sampai di bandara lebih cepat dari perkiraanku, Jean memanduku untuk masuk, semua karyawan bandara menyambutnya dengan hangat seakan Jean adalah pemilik bandara yang berkeliaran untuk melihat kinerja pegawainya. Mereka begitu sopan, dan mengantar kami menuju pesawat yang akan kami tumpangi secara pribadi katanya.
Aku menahan seribu tanya dalam benakku sampai kami duduk di dalam pesawat. Saat aku hendak mengutarakannya Jean menahanku dengan sebelah tangannya. Jean mengambil ponselnya dan menelepon seseorang. “Hallo,” suara Felix terdengar, aku tersentak dan mendekati ponsel Jean yang ditaruhnya di atas sebuh meja di hadapan kami.
“Felix, apa semua ini? Kau harus menjelaskannya padaku.” Aku langsung menghujani saudaraku dengan banyak pertanyaan.
“Tenang Xaviera, semuanya aman. Jean adalah anak buahku, ia akan memastikanmu sampai kemari dengan selamat.”
“Tidak, Felix. Maksudku kenapa kau menggunakan semua fasilitas mewah hanya untuk membawaku kesana?” Aku ingin Felix jujur, bertahun-tahun ia pergi meninggalkanku dan ibu dengan dalih untuk mengadu nasib. Felix sering mengabari, mengirim ibu sejumlah uang namun dalam nominal yang wajar. Tapi tiba-tiba Felix mengirim anak buahnya yang gagah, dan memberi fasilitas mewah hanya untuk menjemputku. Apa yang ia sembunyikan?
“Tidak apa-apa. Kau bisa menikmatinya, Xavier.”
“Felix, aku butuh kejelasan!” Protesku.
“Aku ada dalam keadaan yang baik, bahkan jika kau berencana untuk balas dendam, aku bisa membantumu. Aku bahkan bisa mengalahkan seorang polisi, jadi kau tidak perlu takut,” ucap Felix yang membuatku kaget setengah mati. Aku tidak berencana membalaskan dendam, aku hanya ingin menyembuhkan diriku disana. Tapi mendengar tawaran Felix entah mengapa membuatku bergetar.
“Datanglah kemari, dan jangan pernah takut apapun. Aku akan melindungimu.”
“Tapi…” Belum sempat aku membalas tiba-tiba suara ledakan di sebrang telepon tepatnya di tempat kini Felix berada membuatku tersentak.
“FELIX, APA YANG TERJADI?”
Tiba-tiba sambungan telepon mati, aku memprotes kepada Jean yang begitu tenang sedangkan aku panik setengah mati. “Kenapa kau diam saja? Bagaimana jika terjadi sesuatu pada saudaraku?” Dengan santainya Jean menyenderkan kepalanya pada kursi pesawat dan menutupkan matanya seolah ia akan beristirahat.
“Anak buah macam apa kau ini?!” Teriakanku bahkan tak dihiraukan oleh Jean. Penilaian tinggiku pada pria ini menurun drastis, tak ada gunanya memiliki wajah tampan dan kesopanan jika tidak punya empati.
“Jika terjadi sesuatu pada saudaraku maka orang pertama yang akan aku salahkan adalah dirimu!”
“Bisakah kita istirahat saja? Tidak akan terjadi apa-apa pada sudaramu, nona.” Jean masih memejamkan mata, entah kenapa ia terlihat begitu sombong sekarang. Aku akan menamparnya sekarang juga agar ia dapat pelajaran.
“Saudaramu sedang dalam pekerjaannya, itu hal biasa yang dilakukan tuan Felix.” Jean menangkap tanganku dengan mudah, padahal sudah kupastikan gerakan tanganku akan sangat cepat dan menyakitkan.
“Pekerjaannya?” Aku melemas, tangan Jean yang masih menggenggam pergelangan tanganku berhasil menyalamatkanku saat aku hampir terjatuh.
Pesawat lepas landas, dan aku kembali ke kursiku. Aku berusaha untuk menyingkirkan segala pikiran negatif tentang kemungkinan pekerjaan saudaraku di Paris. “Apa saudaraku berkerja sebagai seorang pemburu?” Aku lagi-lagi mengganggu Jean, bayak pekerjaan sebagai seorang penembak yang mungkin dilakukan oleh saudaraku, aku hanya tidak boleh berfikir yang negatif.
“Apa mungkin pekerjaannya adalah…”
“Nona, bisakah kita melakukan perjalanan dengan tenang?” Mata Jean terbuka, tatapannya membuatku sedikit takut, jadi aku menahan kegelisahanku sampai kami tiba di Paris.
Sesampainya kami di Paris Jean langsung membawaku ke rumah saudaraku katanya. Sepertinya diamku membuatnya paham bahwa aku begitu mengkhawatirkan saudaraku. Kami tak bicara apapun sampai mobil berhenti di sebuah rumah besar, mataku melebar. “Apa saudaraku sedang disandera di rumah besar ini?” Kulihat wajah Jean yang menahan tawa, apa ia pikir aku terlihat bodoh dengan pertanyaan tersebut.
“Kenapa kau tidak menjawabku?” Aku mengikuti langkah Jean saat kami sudah turun dari mobil. Jean masih tertawa, dan tanpa sadar kami sudah memasuki rumah megah tadi. Kemegahan dan keindahannya hampir membuatku lupa akan saudaraku, tapi aku harus fokus dan terus menanyai Jean sampai ia mau benar-benar bicara.
“Hey, apa kau tidak bisa bicara?” Kali ini pertanyaanku membuatnya menghentikan langkah, tawanya masih ada, ia menengok kepadaku yang ada di sampingnya sembari tersenyum, dan mendekatkan wajahnya padaku.
“Apa nona Xavier memang selucu ini?” Tiba-tiba jantungku berdebar. Aku tidak bisa mengatakan apapun, Jean terlalu lama menatapku.
“Kau sudah tiba Xaviera.” Itu suara Felix, ketika aku menengok kulihat Felix dengan kemeja berwarna putih yang ia gunakan, juga bercak darah yang ada disekitarnya.