Oleh: Fairy Tia
Bab 16 Mempermalukan
Saat pesanan kedua datang, aku benar-benar terkejut melihat tumpukan hidangan mewah bergantian disajikan di atas meja kami. Aku tidak bisa menahan rasa cemasku. Jika seperti ini, uang yang kubawa pasti tidak cukup untuk membayar semua makanan itu.
Kutarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tidak menunjukkan rasa kekesalan di wajahku saat melihat ekspresi kemenangan di mata Rani. Aku merasa marah, tetapi aku harus tetap tenang. Aku tidak boleh membiarkan emosi menguasai diriku.
Rani yang duduk di sebrang meja, tampak tersenyum seolah tahu kecemasanku. “Ajeng, kenapa kamu diam saja? Ayo nikmati hidangannya? Kamu harus cobain sate ini.”
Rani mencondongkan tubuhnya dan meletakkan satu tindik sate di atas piringku. Dia berkata dengan nada yang amat manis, tapi aku bisa merasakan kebohongan di balik senyumnya. Dia sengaja bersikap manis untuk mengejekku, mengelabuhi semua orang.
Padahal aku tahu tujuannya. Dia ingin membuatku malu di depan teman-temanku, agar aku tidak bisa membayar makanan ini. Aku merasa ditantang olehnya.
“Terima kasih,” kataku singkat, lalu mengambil sate yang sempat diletakkan Rani, lalu memakannya dengan elegan. Aku tidak boleh menunjukkan kecemasanku.
“Wah, kalian terlihat akur,” celetuk salah satu temanku.
Belum sempat aku menyahut, Rani lebih dulu bersuara. “Sejak dulu kita memang akur. Bahkan kami berbagi satu sama lain. Bukankah begitu, Ajeng?”
Aku tahu betul arti perkataannya. Berbagi satu sama lain yang dimaksud Rani adalah tentang Mas Bagas. Dan aku begitu bodoh karena terlambat menyadarinya.
“Itu benar. Tapi sayangnya aku tidak akan melakukan hal itu lagi,” jawabku dengan tenang.
“Ajeng, bukankah berbagi itu indah?” balas Rani masih berusaha memprovokasiku.
“Dalam hal apa?” sahutku cepat.
“Apa saja.” Rani menjawab sekenanya.
“Dari cara bicaramu, kamu persis seorang peminta-minta, menginginkan barang orang lain. Padahal tidak semua hal bisa dibagi,” balasku dengan tajam.
Rani tampak terdiam. Sepertinya dia tersinggung dengan ucapanku. Beberapa penghuni meja pun berbisik satu sama lain, membicarakan aku dan Rani. Aku tidak mempedulikan gunjingan mereka. Yang terpenting aku sudah membalas telak ucapan mantan sahabat busukku itu.
“Aku ke tolilet,” ucapku lalu bangkit dari kursi. Aku menatap sebentar ke arah Rani. Kulihat ada kilat kemarahan di bola matanya. Namun tidak sampai tiga detik, aku melenggang pergi menuju pojok ruangan kafe.
Sebenarnya tujuanku ke toilet adalah ingin menghubungi Mas Abian. Aku ingin meminta tolong padanya untuk datang ke kafe. Aku hanya ingin berjaga-jaga saja jika nantinya uangku tidak cukup. Tentu saja aku tidak ingin malu, karena tidak bisa membayar tagihan makanan teman-temanku.
“Hallo, Mas.”
Aku langsung menghubungi Mas Abian ketika sudah di toilet. Kudengar suara berat yang begitu khas menggema di telingaku. Tanpa sadar aku tersenyum. Efek suara Mas Abian begitu luar biasa. Emosi yang sempat menguasi diriku, perlahan pupus saat mendengar suara tenang suamiku.
“Mas bisa ke sini sekarang nggak?” tanyaku pelan.
“Bisa. Apa kamu sudah selesai acaranya?”
“Belum,” jawabku cepat.
“Lalu?”
“Mas punya uang lebih nggak?” Aku bertanya dengan hati-hati.
“Ya, Mas ada.”
“Boleh pinjam dulu? Aku hanya bawa uang kas dan sepertinya kurang untuk membayar makanan teman-temanku,” kataku menjelaskan.
“Tidak usah pinjam. Mas akan berangkat ke sana sekarang.”
Aku pun mengakhiri panggilan, lalu membenarkan hijab di depan cermin wastafel. Suasana hatiku pun cukup tenang menikmati keheningan di ruangan itu. Namun keheningan tersebut terganggu ketika Rani masuk ke dalam toilet dan langsung menghampiriku dengan ekspresi wajah yang penuh kemarahan.
“Mau apa?” tanyaku dengan dingin.
Rani tersenyum sinis, lalu mendorong bahuku hingga punggungku membentur tembok. “Di depan banyak orang, berani sekali kamu mempermalukanku.”
“Kenapa? Apa kamu ingin terlihat baik dengan menginjak orang lain?” balasku dengan tenang. “Lagi pula bukan aku yang mempermalukanmu. Tapi kamu sendiri. Harusnya kamu ngaca!” lanjutku dengan suara tegas.
Rani mundur satu langkah ke belakang. Dia menggelengkan kepala dengan kasar, lalu menunjuk wajahku. “Kamu pikir bisa lepas begitu saja? Aku tidak akan tinggal diam. Lihat saja, aku akan membuatmu kehilangan muka dan dijauhi teman-temanmu.”
Aku tersenyum tipis. “Tidak perlu mengancamku. Karena apa pun yang akan kamu lakukan, aku pastikan tidak akan berhasil.”
Rani kembali mendekat. Jari yang sempat menunjuk wajahku kini beralih menunjuk kepalanya sendiri. “Kamu begitu yakin seolah bisa membaca pikiranku.”
“Tentu saja. Bukankah pikiranmu isinya negatif semua?” balasku sambil melengkungkan sudut bibirku.
Rani bungkam, tidak bisa membalas perkataanku. Mulutnya tampak bergerak-gerak ingin mengatakan sesuatu. Namun beberapa detik terlewat, tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya.
“Jika kamu kesal dan tidak terima, kau bisa kembali membuat perhitungan denganku,” ucapku, lalu mendorong Rani untuk menyingkir. Setelah sempat melemparkan tatapan tajam, aku melenggang pergi dari ruangan tersebut.
Namun, saat aku sudah berada di luar toilet, rasanya masih ada yang tidak beres. Aku merasa seperti ada yang mengikuti dan mengamatiku dari belakang. Kecurigaanku terbukti benar ketika aku melihat Rani melalui jendela kafe. Matanya terus memandangku dengan tatapan penuh dendam yang membuat bulu kudukku merinding.
Aku terus melangkah, mengabaikan Rani yang mengikutiku. Saat aku berpapasan dengan seorang pelayan yang membawa nampan dengan berbagai makanan yang begitu lezat di atasnya, tiba-tiba mataku menangkap pergerakan Rani yang hendak mendorongku.
Dengan refleks cepat, aku menghindar dan menjulurkan satu kakiku untuk menjegal kaki Rani hingga dia kehilangan keseimbangan. Tubuh Rani terhuyung ke depan dan menabrak pelayan yang membawa nampan berisi makanan.
Nampan tersebut terlempar ke udara dan berbagai makanan yang terdapat di atasnya tumpah semua ke tubuh Rani. Salah satu piring pecah dan membuat luka kecil di tangan Rani.
Rani yang terduduk di lantai, merintih kesakitan sambil mencoba membersihkan diri dari berbagai makanan yang menempel di tubuhnya. Aku merasa sedikit prihatin melihatnya, namun dalam hatiku juga ada rasa puas atas balasan yang dia dapat dari perbuatan sebelumnya.
Beberapa orang di kafe mulai mengumpulkan diri dan melihat kejadian yang baru saja terjadi. Mereka saling berbisik-bisik dan menunjuk-nunjuk ke arahku dan Rani.
“Apa yang kau lakukan?!” teriak Rani sambil menunjukku.
Aku menatap Rani dengan tatapan mengejek. “Aku tidak melakukan apa-apa. Kamu saja yang tidak hati-hati.”
Rani bangkit dengan wajah penuh amarah, lalu jari telunjuknya mengarah ke arahku. “Aku akan membalasmu karena telah mempermalukanku.”
Aku mengendikkan bahu, lalu tersenyum dingin ke arahnya. “Silahkan saja. Aku tidak takut.”
Sari dan teman-teman kantorku tampak mengelilingi aku dan Rani. Mereka tampak terlihat bingung dengan insiden yang sempat terjadi. Sepertinya mereka tidak melihat kejadian secara langsung.
Beberapa teman kantor tampak membantu Rani. Sementara Sari tampak menghampiriku dan berbisik pelan.
“Jeng, sebenarnya apa yang terjadi?”