Oleh: Y. AIRY
“Apa, Pa?” Lova terlonjak bangkit dari kasur papanya, “Menikah dengan dia?” ia menunjuk Evans yang berdiri di sisi kasur berseberangan dengan dirinya.
Sementara pria itu hanya diam mematung tanpa reaksi apa pun.
“Nggak, Lova nggak mau!”
“Lov, hanya Evans yang bisa menjaga kamu!” suara Simon lemah.
“Tapi nggak harus nikah, Pa. Lagian Lova itu masih sekolah.”
“Kalian bisa menyembunyikan pernikahan kalian dulu, sampai kamu lulus sekolah,” bujuk Simon.
“Tapi Lova nggak mau nikah sama Om-Om kek dia. Lova sudah punya pacar, Pa!”
“Leon bukan pria yang cocok untuk kamu!”
“Terus Papa pikir dia cocok buat Lova, dia itu pasti cuma manfaati Papa aja!”
“Lova.”
Lova berjalan menghampiri Evans, menatapnya penuh benci.
“Apa yang kamu lakuin? Kamu pasti guna-gunain Papa ya, sampai Papa sebegitunya sama kamu. Kamu pingin kuasain harta Papa kan?” tunjuknya.
Evans hanya menatap gadis cantik yang sombong itu. Tapi ia tak mengatakan apa pun.
“Kenapa kamu diem aja? Dasar patung es!”
“Lova, ini sudah keputusan Papa. Suka atau nggak, kamu tetap harus menikah dengan Evans. Minggu depan!”
Lova menoleh Simon seketika, “Minggu depan, Pa?”
“Kalau kamu menolak pernikahan ini, sepeser-pun … kamu nggak akan menerima warisan Papa!” ancam Simon.
Lova membuka mulut lebar tanpa suara. Apa maksud papanya berkata demikian? Ia tak akan mendapatkan warisan apa pun begitu maksudnya?
“Papa serius, semuanya akan Papa serahkan ke yayasan sosial. Kecuali kamu menerima pernikahan ini. Kelak jika kamu sudah cukup umur, Evans akan mengajarimu segalanya dan kamu yang akan memimpin William Group!”
Papanya ingin menyerahkan semua warisannya ke yayasan sosial?
Sejak kecil dirinya sudah terbiasa hidup mewah. Ia tak akan sanggup hidup tanpa memiliki apa pun! Tanpa barang-barang branded dan kemewahan lainnya.
Lova menatap papanya tak percaya, “Papa jahat!” Ia berlalu meninggalkan kamar Simon.
Simon menghela nafas panjang. Meraba dadanya.
“Tuan,” Evans mendekat, duduk di tepian kasur.
“Aku nggak apa-apa, aku tahu reaksinya akan seperti itu.”
“Seharusnya Tuan nggak melakukan ini, jika Tuan ingin menikahkan Nona, saya bisa mencarikan jodoh yang cocok untuk Nona!”
Simon menatap Evans dalam, ia bahkan sudah menganggap Evans seperti putranya sendiri.
“Hanya kamu yang saya percaya, Evans. Saya nggak bisa menyerahkan Lova pada siapa pun. Hanya kamu yang bisa menjaganya. Berjanjilah kamu akan menjaga Lova dengan nyawamu!”
“Nggak perlu Anda minta, Tuan. Saya akan menyerahkan hidup saya untuk keluarga Tuan!” janjinya.
Simon tersenyum. Ia tahu apa yang ia lakukan. Mungkin ini memang terlihat tak adil di mata putri tunggalnya. Tapi ini jalan satu-satunya.
***
Lova menutup pintu begitu kencang karena kesal. Kalau rumah itu tak terlalu kokoh, bisa saja ambruk!
Ia menyilang kedua tangan di dada.
“Papa jahat banget sih, masa’ aku harus nikah sama Om-Om patung es itu. Apa yang mau dibilang temen-temen aku entar?”
Ia menggigiti kuku jempolnya. Berfikir!
Ia tak mau dirinya terjebak pernikahan gila itu! Bisa mati stress nanti kalau punya suami yang tak pernah bisa tersenyum. Kaku, dan juga kejam saat menghadapi rivalnya.
Evans memang tak pernah membantah Simon. Ia selalu melakukan apa yang tuannya itu perintahkan. Dan itu salah satu yang tak disukai Lova. Manusia kok pasrah banget! Patuh banget! Seperti tidak punya prinsip sendiri. Bagaimana mungkin dirinya bisa hidup dengan lelaki seperti itu?
Pasti ada yang tidak beres! Jika papanya ingin dirinya menikah. Kan bisa dijodohkan dengan anak rekan bisnisnya gitu yang selevel. Bukan malah sama kacung yang nurut saja disuruh-suruh. Bisa runtuh pamornya nanti. Bisa-bisa nanti si Lea makin gede kepala dan bakal rebut Leon dari sisinya!
“Leon!” desis Lova, ia pun mengaduk kasur untuk mencari benda pipih warna gold itu. Begitu menemukan ia segera menelpon seseorang.
“Hallo, Leon. Bawa aku lari!”
***
“Apa!”
Leon menghentikan mobil seketika. Untung saja mereka masih di area kompleks.
“Kamu jangan ngaco?”
“Aku serius, Papa jodohin aku sama Evans. Dan kalau aku nolak semua warisan Papa bakal disumbangin ke yayasan sosial!” seru Lova menghentak punggung ke sandaran jok seraya menyilang kedua dada.
“Bokap kamu keterlaluan ya, masa’ kamu mau dikawinin sama Om-Om itu? Seperti nggak ada cowo lain saja di dunia ini?”
“Maksud kamu kalau aku dijodohkan sama cowo lain kamu nggak keberatan? Kamu sayang nggak sih sama aku?”
Leon sedikit gugup.
“Wah, baby … jelaslah aku sayang sama kamu. Maksud aku … ya masa’ Om-Om. Kalau bokap kamu normal sih, kamu pasti bakal dicariin jodoh yang sepadan secara usia juga kedudukkan. Nah ini … dia siapa coba?” Leon mencoba mengompori Lova.
“Cuma kacung bokap kamu, Lov. Apa kata dunia. Lova yang populer nikah sama pesuruh bokapnya sendiri. Sayang, popularitas kamu bisa jatuh loh!”
“Ya aku tahu itu, makanya aku mau kita lari ajah!”
“Lari?” Leon mengerutkan dahi.
“Pura-pura … aku mau sembunyi sampai Papa batalin pernikahan ini. Pokoknya ini bentuk protes keras aku!”
“Tapi Lov, Papa kamu pasti bisa temuin kamu dengan mudah.”
“Itu kita pikirkan nanti, yang jelas sekarang kita cari tempat sembunyi yang aman! Pokoknya aku gak mau nikah sama Evans!”
Leon menggaruk kepalanya. Nasib pacaran sama Nona crazy rich yang manja dan keras kepala memang terkadang membuat kepala mau pecah juga. Leon kembali menjalankan mobil. Mereka tak mungkin menginap di salah satu teman sekolah atau pun hotel. Si patung es itu pasti akan dengan mudah menemukan Lova. Jadi Leon membawa Lova ke villa keluarganya saja. Sebenarnya villa itu hendak dijual? Sudah ada spanduk penjualan terpajang di gerbang. Justru karena hal itu membuat tempat itu menjadi persembunyian yang aman. Siapa yang akan menyangka jika mereka bersembunyi di sana.
Seperti biasa, Evans berdiri tegap di samping Simon. Pria 48 tahun itu sedang menandatangani beberapa berkas. Itu adalah akta penyerahan jabatan sebagai Presdir William Group dari Simon ke Evans. Mulai detik ini Evans yang akan mendudukki jabatan itu, dan itu juga disepakati oleh semua Dewan Direksi yang juga diundang datang ke rumah mewah Simon. Memang, sempat terjadi sedikit perdebatan. Namun sejak 12 tahun terakhir, Simon sudah mengangkat Evans sebagai tangan kanannya yang mengurus segala sesuatu. Evans andal dalam hal itu. Termasuk menyingkirkan musuh! Meski usianya masih terbilang muda saat itu, namun tekad, keberanian dan kesetiaannya tak diragukan lagi. Evans tak pernah membuat Simon kecewa, bahkan sejak Evans berada di sampingnya, William Group berkembang dengan pesat dan menjadi salah satu perusahaan raksasa di separuh dunia.
Baru saja Simon menutup map di tangannya, terdengar bunyi dering ponsel Evans. Ia pun memungut hp di saku jas lalu menekan kursor terima, itu sudah langsung tersambung ke headset yang terpasang di telinganya.
“Ya, Res. Ada apa?” katanya setengah berbisik.
….
“Apa!” Ekspresi terkejut muncul di wajahnya. “Jangan main-main?”
….
“Ok, tunggu aku!”
Ia pun mendekatkan diri ke Simon, “Maaf, Tuan. Ada urusan yang harus saya selesaikan!”
“Ada apa?” Simon menatapnya.
“Hanya masalah kecil,” Evans tak ingin membuat tuannya itu khawatir. Wajahnya sekarang saja sudah sangat pucat dan lemah.
“Jangan bohong, Evans. Ada yang terjadi?”
Evans menghela nafas dalam lalu berbisik di telinga Simon. Seketika tubuh Simon menegang dengan mata melebar. Lalu menatap Evans yang sudah sedikit menjauh. Melihat keseriusan di wajah Evana, tiba-tiba saja dada Simon terasa sesak. Ia merabanya sambil menahan sakit.
“Tuan,” panik Evans memegang tuannya.
Simon tampak mengatur nafas. Semua yang ada di ruangan itu terlihat panik?
“Presdir,” itu suara Pak Devan, Kepala Direksi keuangan.
“Aku baik-baik saja, Evans,” katanya menatap Evans, “Temukan dia, dan segera siapkan pernikahan kalian. Secepatnya!”
***