Oleh: RDbanjar
Â
Setelah mengatakan hal itu, Arjun pun benar-benar pergi meninggalkannya sendiri bersama dua maid tersebut.
“Maaf Nona kalau saya menganggu, tapi tuan Muda sudah menunggu Anda,” ucap salah satu maid dengan sopan yang sedikit membungkuk.
Mendengar ucapan dari maid itu, Chalse pun menghela nafas panjang dan berat. Mau tak mau, dirinya pun mengiyakan dan terpaksa mengangguk. Menolak pun juga percuma saja.
Dua maid itu pun mengantarkannya ke tempat Vano berada. Dan dengan terpaksa ia pun mengikuti mereka.
Dari pintu masuk, kini mereka berada di ruang tamu dan terus berlanjut melewati beberapa ruang lainnya. Chalse akui rumah ini benar-benar besar, mewah dan megah. Banyak furniture yang dominannya adalah barang klasik yang mungkin berharga puluhan bahkan ratusan juta, jika dilihat dari bentuk dan kualitasnya yang memang mewah. Dan semua barang itu tersusun rapi di setiap sudut ruangan. Selain itu, banyak juga barang-barang modern yang terpasang dan terpajang. Dan setelah melewati beberapa ruangan, akhirnya mereka berhenti tepat di depan sebuah ruangan.
Menoleh ke arah dua maid itu. “Kenapa berhenti? Apakah sudah sampai?” tanya Chalse, dan mereka pun mengangguk.
“Tuan Muda sudah menunggu di dalam,” kata mereka yang membuatnya menoleh ke arah pintu ruangan tersebut.
“Kalau begitu, kami undur diri dulu. Permisi,” ucap maid yang satu lagi, dan setelah itu mereka pun pergi.
Chalse yang ditinggal sendiri pun kini menatap nanar pintu ruangan itu. Cukup lama ia berdiri di luar tanpa melakukan apa pun kecuali menatap lurus ruangan tersebut.
“Apakah aku harus masuk ruangan itu? Aku takut jika dia akan melakukan hal yang gila padaku,” batinnya yang sangat cemas juga takut.
“Masuk gak, ya?” lanjutnya lagi yang bingung dan frustasi.
Lalu ia pun teringat dengan perkataan dari Arjun. Bahwasannya agar ia sebisa mungkin tidak melakukan hal yang bodoh. Gusar rasanya ia memikirkan itu semua. Namun, demi keselamatan dan kebaikannya maupun Nana, ia pun memilih untuk masuk.
Knop pintu sudah ia pegang, dan sebelum diputar ia pun menarik nafas panjang dan membuangnya secara perlahan.
“Semoga tidak terjadi apa-apa.”
Chalse pun melangkahkan kakinya dengan seluruh keberaniannya, pelan tapi pasti. Dan kini ia pun mulai memasuki ruangan itu. Ruangan yang bernuansa warna hitam putih. Sangat elegan dan dinamis.
Baru saja ia hendak menutup pintu, dirinya sudah di kagetkan dengan kehadiran Vano yang berdiri dibelakang pintu itu. Untung saja ia tidak refleks memukulnya. Jika tidak, mungkin bisa saja tadi tangannya sudah mendarat di salah satu bagian tubuhnya.
“Kenapa kamu ada di sini? Membuat kaget saja. Untung aku tidak memukulmu,” sungutnya yang berusaha untuk tenang.
Bukannya menjawab, justru Vano malah tersenyum miring dan berjalan melewatinya.
“Apa sih maunya nih orang?” batinnya yang sama sekali tidak bisa menebak isi pikiran lelaki itu.
Chalse pun melihat Vano berjalan menuju ke sofa. Dan benar saja, lelaki itu pun duduk di sana dengan kaki yang ia tumpangkan di kaki satunya.
Diambilnya segelas minuman yang sudah ia sediakan di atas meja dan kemudian ia minum sedikit. Sungguh gaya yang sangat elegan di mata Chalse.
“Kau masih ingin berdiri di sana atau duduk menemaniku?” ucapnya tanpa melirik.
“Ma–maaf,” seru Chalse cepat yang kemudian menghampirinya.
Ia pun duduk tepat berseberangan dengan Vano, yang terus memperhatikannya. Merasa tidak enak terus diperhatikan, Chalse pun berdeham sambil merapikan pakainnya. Takut-takut ada bagian tubuhnya yang tidak tertutup.
Vano yang melihat reaksi itu pun hanya berdecih, lalu kembali menegak minumannya.
Hening, tidak ada yang berbicara. Bahkan Chalse pun tidak berani membuka percakapan, ia takut salah bicara dan membuatnya marah.
Namun, tidak lama seorang maid pun masuk dan datang menghampiri mereka, sembari membawa napan berisi minuman juga cemilan. Diletakkannya gelas berisi minuman tersebut di atas meja.
“Silakan diminum, Nona,” ucap maid itu yang kemudian pergi meninggalkan mereka berdua lagi.
Sejenak Chalse menatap minuman tersebut dari temoatnya duduk. Dari warnanya sih sepertinya jus jeruk, dan tidak ada hal aneh lainnya. Lalu, ia pun beralih melirik ke arah Vano yang asik dengan minumannya.
“Kalau kau haus, minum saja. Tidak ada racun di dalamnya. Jadi kau tidak perlu khawatir,” ucapnya tenang dengan suara yang dalam tanpa melihat ke arah perempuan itu.
Mendengar itu, Chalse pun mempelototkan kedua matanya tidak percaya akan apa yang baru saja ia dengar. Bisa-bisanya Vano berkata seperti itu di hadapannya. Seolah-olah dia pernah melakukannya. Atau memang sudah?
Kembali ia lirik gelas minuman itu, lalu ia pun beralih pada vano lagi. Chalse sungguh menjadi ragu untuk meminumnya, apa lagi setelah apa yang orang itu katakan. Apakah dirinya harus meminumnya, atau tidak?
“Ck. Kau sangat penakut ternyata, tidak seperti tempo hari,” sindirnya yang tersenyum remeh.
Chalse pun mengerutkan dahinya. “Jadi, dia meremehkan ku?” batinnya sedikit jengkel. Apa lagi ketika melihat raut wajah Vano yang sangat meremehkan itu.
“Bagaimana aku tidak takut? kau saja menakutiku dengan mengatakan gelas ini tidak ada racunnya. Apa maksudnya itu? Jangan-jangan kau pernah meracuni gelas seseorang?” dan ia pun hanya terkekeh kecil.
“Ternyata, kau pintar juga,” cetusnya sembari meletakkan gelasnya yang kosong. Dan hal itu berhasil membuat tubuh Chalse menegang.
“Jadi, kau sungguh-sungguh pernah meracuni orang?” gugupnya yang kembali merasa takut.
“Kenapa tidak?” jawabnya yang membuat Chalse menjadi terdiam seperti patung.
“Harus aku sebut apakah orang yang di hadapanku ini sekarang? Manusia ‘kah, atau bukan? Atau jangan-jangan, ia iblis yang menyamar jadi manusia?” batinnya yang sangat kebingungan.
Vano yang melihat Chalse tegang dengan raut wajah yang entah seperti apa pun aku tidak tahu, yang pasti lelaki itu hanya terkekeh kecil. Lalu ia pun mengambil gelas minuman milik Chalse, dan menuangnya sedikit di gelasnya yang kosong. Dan kemudian meminumnya hingga tandas.
“Lihat. Aku tidak mati.”
Chalse pun memperhatikannya sesat untuk memastikan, apakah ada reaksi gejala keracunan atau tidak. Dan ternyata tidak ada reaksi apa pun yang diperlihatkan oleh Vano. Dia duduk santai sambil terus memperhatikannya.
:Sepertinya dia benar. Hanya saja, aku yang terlalu takut dan over thinking,” batinnya lagi.
Ia pun melirik kembali gelas itu, dan tanpa berpikir lagi ia mengambil dan meminumnya hingga tandas. karena menang ia sudah sangat merasa haus sedari perjalanan tadi. Diletakkannya kembali gelas yang kosong itu di meja, dan kemudian melihat ke arah Vano lagi.
“Enak. Minuman apa ini?” tanyanya polos, yang kemudian dirinya seperti merasakan sesuatu yang aneh.
“Hanya jus, yang di beri sedikit bumbu,” jawabnya menyeringai.
“Bumbu, apa?” tanya Chalse lagi dengan kepala yang sangat berat. Entah kenapa, setelah meminum jus itu kepalanya begitu terasa sangat berat dan badanku pun terasa sangat lemas dan ada sensasi panas.
“Ada apa denganku?” batinnya dengan mata yang sudah mulai memburam.
Sebelum ia kehilangan kesadaran, dapat Chalse lihat Vano yang berdiri dan berjalan ke arahnya. Lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Chalse.
“Racun,” bisiknya. Dan setelah itu, Chalse pun kehilangan kesadarannya sepenuhnya.