Oleh: Vaia LaVelle
“Pergilah! Jangan lihat ke belakang!”
Suara itu mengawali langkahnya meninggalkan tempat laknat itu.
Diiringi suara hujan yang turun begitu deras menumbuk bumi memecah keheningan malam yang biasanya melingkupi daerah pinggiran yang penuh dengan kemaksiatan.
Duar! Duar!
Kilatan petir memecah awan-awan di atasnya bersaut dengan suara menggelegar yang rasanya sengaja menambah mencekam suasana ini.
Dia mengusap sejenak wajahnya yang sudah basah sepenuhnya. Tak tahu apakah seluruhnya adalah air hujan atau air matanya. Manik matanya berwarna abu-abu tampak sesuram malam ini.
Dia tak lagi bisa merasakan nyeri-nyeri yang menusuk kakinya akibat kerikil-kerikil tajam yang menusuk. Rumput-rumput dengan pinggir tajam menggores halus tubuhnya. Menyisakan perih yang tak lagi dia hiraukan, karena semua itu tidak ada apa-apanya dengan apa yang akan dia hadapi jika dia sampai tertangkap.
Dia langsung mengalihkan wajahnya ke arah belakang. Sejenak memisahkan suara gemuruh hujan dengan langkah kaki dan umpatan-umpatan yang sayup dia dengar.“Luna! Awas kau! Sial! Kau benar-benar merepotkanku!”
Sayupan itu menjadi semakin jelas. Luna, itulah namanya. Gadis dengan wajah pucat dan bibir gemetar hebat, tak tahu apakah karena udara yang mulai membuat tubuhnya beku atau karena rasa takut yang menjalar di seluruh urat nadinya. Dengan cepat dia memulai langkahnya kembali.
Ilalang tinggi di sekitarnya tanpa sedikit pun penerangan. Melangkah hanya dengan desakan menyelamatkan hidupnya membuat Luna tak memperhatikan apa yang ada di depannya. Sebuah batang kayu melintang membuat langkahnya tersandung.
Unduh aplikasi untuk lanjut membaca
