Oleh: Kerry Pu
Vella tertegun di dalam mobil yang tengah melaju membawanya pulang ke rumah, pikirannya masih tertuju pada kata-kata Samudera sebelum dia masuk mobil.
Namun, setelah waktu berlalu beberapa detik, dia pun tersenyum ironi dan bergumam pelan. “Tentu saja.”
Vella merasa sangat terlambat begitu menyadari arti dari namanya, dalam bahasa Finlandia, Vella berarti laut, tak ayal jika Samudera mengatakan bahwa dia adalah bagian dari samudera.
‘Sangat kebetulan,’ batin Vella sembari tersenyum tipis, menyadari kecocokan nama yang dia sandang dengan anak laki-laki yang baru tiga hari ini bertegur sapa.
Pipinya seketika merona dan terasa sedikit panas manakala ingat kejadian di kamar mandi beberapa jam yang lalu.
Sungguh tak akan ada yang berani berpikir, jika Samudera yang biasanya terlihat dingin dan sangat luar biasa, dapat berubah menjadi sangat nakal seperti itu.
Namun, senyum Vella tiba-tiba runtuh manakala mobil tersebut sudah tiba di pelataran rumahnya.
Vella berpikir keras menerka situasi semacam apa yang terjadi di rumahnya setelah dia pergi. Dia yakin Indina sudah mengatakan hal yang tidak-tidak hingga membuat Edgar marah.
Sebelumnya Vella tidak sempat berpikir ingin menghubungi Edgar terlebih dahulu, lantaran semuanya terjadi begitu cepat dan juga semua barang-barangnya disita oleh mafia, termasuk ponsel. Kini Vella hanya bisa menghela napas kasar kala Virgon membukakan pintu mobil.
Dari balik pintu rumah terlihat Edgar, nenek Lola, beserta Indina keluar dari dalam rumah dengan langkah yang tergesa-gesa.
“Vella, bagaimana keadaanmu?” tanya Edgar dengan raut wajah khawatir sesampainya Vella keluar dari dalam mobil.
Cukup terkejut, Vella pikir Edgar akan marah padanya gara-gara dia tidak pulang. Namun, sepertinya situasi saat ini di luar dugaannya.
“Vella, nenek sangat mengkhawatirkanmu. Bagaimana ini bisa terjadi? Sebenarnya kamu pergi ke mana sampai mengalami kecelakaan seperti ini? Untung saja keluarga Baswara menemukanmu.” Nenek Lola juga tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya, hanya Indina yang tak berucap apa-apa membuat Vella tersenyum miring kala melihatnya.
Vella yakin wanita licik itu sedang memutar otak untuk mencari alasan jika Vella mengungkap segalanya, wajah cantik wanita paruh baya itu terlihat sangat keruh dan panik, membuat Vella ingin menghantamnya dengan membuka kebusukan yang wanita itu pendam.
Tapi, belum sempat Vella membuka mulut. Virgon terlihat mendekat sembari menunjukkan beberapa pepper bag di tangannya.
“Ini adalah hadiah kecil dari tuan muda untuk nona Vella, juga permintaan maafnya pada keluarga Arganta karena tidak bisa mengantar nona Vella sendiri pulang ke rumah,” ucap Virgon dengan perangai elegan dan juga tenang.
Segera Vella terkesiap dan tertegun beberapa saat, batinnya pun bergumam lirih. ‘Jadi dia sudah menghubungi papa? Pantas sekarang papa ada di rumah.’
Vella tidak menyangka Samudera bisa bertindak sangat rapi seperti ini, hingga papanya tak mempunyai kesempatan untuk menyalahkannya lantaran tak sengaja menabrak.
Edgar segera menerima uluran tangan Virgon dan berkata, “Terima kasih, ini sudah sangat berlebihan, merawat putri kami dengan baik saja sudah suatu keberuntungan bagi kami. Tidak perlu repot-repot sampai mengantar Vella ke rumah. Kami tahu keluarga Baswara sangat sibuk.”
Virgon mengangguk dan segera pamit, sebelum dia pergi, Virgon sempat berkata pada Vella. “Kata tuan muda, pepper bag warna putih itu khusus untuk Anda, Nona.”
Vella mengangguk dan singkatnya dia segera dibawa masuk ke rumah menuju kamarnya. Nenek Lola dan Indina masih mengikuti di belakang Edgar.
Setelah Vella duduk dengan nyaman bersandar di headboard, Edgar bertanya pelan. “Sebenarnya apa yang terjadi? Bagaimana keluarga Baswara bisa menemukanmu di daerah pinggiran?”
Seketika arah pandang Vella tertuju pada Indina, wanita itu bergerak pelan menuju dekat bufet miliknya dan meraih patung batu giok mutiara milik Vella.
Begitu melihat senyum licik di bibir Indina, Vella pun terkesiap, tubuhnya menegang dan sedikit tegak. Indina semakin puas melihat raut wajah Vella saat ini.
“Vella, jawab pertanyaan papa sayang,” ucap Indina lembut sembari mengelus pelan batu giok yang dia pegang.
Vella sendiri dapat merasakan aura mengintimidasi dari setiap kata yang dilontarkan Indina, dia menelan saliva dengan kasar, kemudian menjawab pelan. “Seseorang menculikku.”
Seketika mata Indina melebar, dia tampak geram. Sementara Edgar menampakan raut wajah keruh dengan binar kemarahan.
“Kamu melihat ciri-ciri orang yang menculikmu?” tanya Edgar dengan penuh selidik.
Gemuruh di hati Indina mulai bergolak, dia sudah bersiap menjatuhkan batu giok di tangannya, sembari menatap Vella lekat.
Vella juga begitu, dia menatap Indina dengan begitu dalam terbersit semburat dendam dari manik indahnya yang berkilat. Kemudian dia berkata datar. “Tidak.”
Seketika senyum kelegaan terbit di bibir Indina. Sementara alis Edgar mulai berkerut.
“Bagaimana kamu tidak melihat orang yang menculikmu? Apa dia menutup kepalamu?” Edgar masih tidak percaya dengan jawaban Vella.
Pandangan Vella masih tertuju pada Indina dengan lekat. “Aku tidak ingat, saat aku pingsan semuanya menjadi gelap,” ucapnya tenang dan datar.
Senyum Indina semakin merekah indah.
“Bisakah Mama meletakkan batu giokku di bufet? Aku takut itu akan jatuh dan melukai kaki, Mama.” Vella menekankan kata ‘melukai kaki’ agar Indina tahu maksud dari ucapannya.
Senyum puas itu kini sedikit mencibir, kemudian berkata dengan lemah lembut. “Tentu saja, sayang. Terima kasih atas perhatianmu.”
Helaan napas Edgar mengalihkan perhatian Vella dari Indina, pria dewasa tersebut sedikit menampakan semburat kekesalan.
“Jika kamu tidak tahu ciri-cirinya bagaimana papa bisa melaporkan pada polisi?” tentu saja itu yang menjadi pertanyaan Edgar.
“Papa fokus saja mencari juri yang mencoba melecehkanku, mungkin itu ada kaitannya.” Mata Vella kembali menatap Indina lekat.
‘Cih … ternyata dia belum menyerah. Membosankan sekali dia bisa lolos dari mafia itu,’ batin Indina sinis.
Tadi malam Indina memang sempat meracuni pikiran Edgar dengan mengatakan hal yang tidak-tidak tentang Vella, terlebih setelah dia tahu bahwa siangnya Vella telah menginjak tangan Andin di sekolah, itu semakin membuatnya geram dan bersikeras membuat Vella mati sampai akar-akarnya.
Namun, sungguh tidak beruntung, ketika ada telepon dari pihak keluarga Baswara yang menyatakan bahwa Vella sekarang berada di kediaman mereka.
Edgar ingin segera menjemput Vella, namun urung dilakukan ketika perwakilan tersebut mengatakan tidak perlu menjemput karena mereka akan mengantar Vella pulang.
Edgar hanya bisa menyetujuinya, terlebih keluarga Baswara juga bukan keluarga yang bisa ditentang, otoritasnya tak perlu diragukan lagi, menyinggungnya hanya akan mematikan lahan bisnis di kota tempat dia tinggal.
“Aku lelah, Pa. Bisakah papa meninggalkanku sendirian?” ucapan Vella menyadarkan lamunan semua orang.
Edgar mengembuskan napas samar, kemudian menyentuh puncak kepala Vella lembut. “Beristirahatlah.”
Nenek Lola yang sejak tadi diam juga berkata demikian kemudian beranjak keluar mengikuti Edgar. Sementara Indina terlihat mendekati Vella dan menunduk membisikan sesuatu di telinga Vella.
“Jadilah anak yang baik, atau aku akan menghancurkan semua kenanganmu bersama Vita, sampai kamu lupa bagaimana rasanya bahagia.”