Oleh: Im Yora
Matahari sudah tinggi ketika Kirana membuka matanya. Suara burung-burung di luar jendela seolah tak mampu menenangkan hatinya yang gundah. Hari ini adalah hari pertama ia mengantar Key dan Kay ke sekolah setelah satu minggu mereka libur karena flu.
Kirana menatap dua anak kembarnya yang sedang duduk di meja makan, menyantap roti dan susu dengan ceria. Sesekali mereka tertawa kecil saat saling menyuapi. Senyum Kirana pun terbit, meski hanya sesaat. Ia tahu, dibalik senyum mereka, ada dunia rumit yang kini sedang ia jalani.
Setelah mengantar Key dan Kay ke sekolah, Kirana kembali ke rumah mewah milik Reka. Rumah itu begitu megah, tapi dingin. Dingin karena adanya Serra Yudhistira. Wanita itu tampak lembut di depan Reka, tapi berbeda sekali saat Reka tak berada di rumah.
Kirana masih mengingat jelas semalam, bagaimana Serra menyenggol nampan berisi sup panas hingga isinya tumpah ke kakinya. Tapi dengan aktingnya yang lihai, Serra berteriak seolah Kirana yang ceroboh. Reka hanya diam, lalu menenangkan keduanya, dan pergi begitu saja. Kirana menahan sakit dan tangis sendirian.
Pagi ini, saat Kirana melangkah masuk ke dapur, Serra sudah berdiri dengan wajah dingin. Mengenakan dress putih bermotif bunga sakura, wanita itu seperti peri cantik dalam dongeng, tapi dengan hati yang penuh racun.
“Kirana, kamu tidak perlu masak lagi mulai hari ini. Aku sudah menyuruh catering khusus untuk makanan keluarga ini,” ucap Serra sambil menatap sinis.
Kirana hanya tersenyum tipis. “Baik, Mbak Serra.”
“Jangan panggil aku ‘mbak’. Aku istri pertama Reka. Kamu hanya… istri kedua,” desis Serra sambil berjalan melewati Kirana dengan aroma parfum yang menyengat.
Kirana mengepalkan tangannya. Bukan karena marah, tapi karena ingin tetap kuat. Ia tahu, hidupnya kini bukan hanya miliknya. Ada Key dan Kay yang harus ia lindungi. Ia tidak bisa pergi begitu saja meski hatinya terluka.
Siang harinya, Reka pulang lebih cepat dari kantor. Kirana yang sedang membaca buku di taman belakang, terkejut saat suara langkah kaki menghampirinya.
“Kirana,” panggil Reka pelan.
Ia menoleh dan tersenyum, meski matanya menyimpan letih. “Ada apa, Reka?”
“Aku ingin bicara serius. Tapi bukan di sini. Ayo ikut aku.” Reka menggenggam tangannya dan membawanya ke ruang kerja.
Di dalam ruangan, Reka duduk di kursi besar, memijat pelipisnya. Wajahnya terlihat lelah dan bingung.
“Aku tahu kamu tidak nyaman tinggal satu rumah dengan Serra,” ujar Reka akhirnya.
Kirana diam. Ia menunduk.
“Tapi aku juga terjebak. Papah menekanku terus. Serra, dia terlalu berpengaruh di perusahaan Papah karena Papahnya adalah pemilik saham terbesar. Aku tidak ingin menikahinya awalnya, kamu tahu itu. Tapi… aku juga tidak ingin melihat kamu tersiksa.”
“Lalu?” suara Kirana lirih.
Reka menghela napas panjang. “Aku sudah memikirkan solusinya. Kamu bisa tinggal di rumah villa milikku di pinggiran kota. Aku akan sering ke sana. Tapi kamu dan anak-anak bisa lebih tenang tanpa tekanan Serra. Di sini, kamu… terlalu menderita.”
Kirana terdiam. Haruskah ia mengiyakan? Bukankah itu berarti ia menyerah?
“Key dan Kay bagaimana?” tanya Kirana pelan.
“Aku akan minta mereka dijemput supir khusus, atau mungkin aku yang antar kalau sempat. Mereka tetap bisa sekolah di tempat yang sama,” jawab Reka.
Kirana menatap Reka. Matanya dalam, penuh luka yang tak terlihat oleh mata biasa.
“Baiklah, aku setuju. Tapi aku ingin keputusan ini tidak membuat Serra makin menang. Jangan pernah membuatku tampak seperti wanita yang kalah, Reka. Aku bukan wanita yang datang karena uangmu. Aku datang karena cinta.”
Reka menatap Kirana. Ada kegetiran di matanya.
“Aku tahu. Dan itu yang membuatmu tetap ada di sini. Maafkan aku, Kirana.”
***
Hari-hari berikutnya, Kirana mulai tinggal di villa milik Reka di pinggiran kota. Villa itu sunyi dan tenang, dikelilingi pepohonan pinus dan taman kecil yang indah. Setiap pagi, ia mengantar Key dan Kay ke sekolah, lalu kembali menulis di ruang kerja kecil yang ia desain sendiri.
Kirana mulai menulis cerita anak-anak. Ia bahkan sempat mengirimkan beberapa naskah ke penerbit. Itu caranya bertahan. Itu caranya membuktikan bahwa ia bukan hanya istri kedua. Ia adalah Kirana, perempuan yang punya mimpi, punya cinta, dan punya kekuatan sendiri.
Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama.
Suatu pagi, saat ia sedang menyiram bunga, datanglah seorang wanita tua bersama seorang pengawal. Wanita itu mengenakan kain batik halus dan perhiasan mewah. Dari wajahnya yang tajam, Kirana langsung tahu—itu pasti ibunya Reka.
“Kamu Kirana?” tanyanya dingin.
Kirana menunduk hormat. “Iya, saya.”
“Wanita yang sudah membuat cucu-cucuku lahir tanpa pernikahan resmi?”
Kirana tercekat. “Saya sudah menikah dengan Reka… meski hanya secara siri.”
“Justru itu!” suaranya naik. “Kamu tahu siapa Reka? Dia pewaris utama keluarga kami. Kamu pikir dengan menikah diam-diam dan melahirkan anak, kamu bisa duduk di singgasana keluarga Pradimus?”
Kirana menunduk. Ia tidak ingin berdebat.
“Aku akan mengadakan pertemuan keluarga. Aku ingin kamu hadir, membawa dua anakmu. Kita akan tes DNA, dan jika benar mereka darah daging Reka, kita urus semuanya sesuai hukum. Tapi jangan berharap menjadi wanita resmi di keluarga kami.”
Wanita itu kemudian pergi begitu saja. Kirana berdiri kaku, tangannya gemetar.
Tes DNA? Pertemuan keluarga?
Hari-hari setelah itu, Kirana merasa hancur. Tapi ia tidak mau kalah. Ia yakin Key dan Kay adalah anak Reka. Ia tahu apa yang terjadi malam itu, lima tahun lalu, bukan sekadar kesalahan. Itu takdir.
Ia menelepon Reka malam itu.
“Apa Ibumu benar-benar ingin tes DNA?”
“Ya… aku minta maaf. Ibu tidak percaya siapa pun kecuali Serra.”
“Terserah. Aku tidak takut.”
***
Hari pertemuan keluarga pun tiba. Di rumah utama keluarga Pradimus, semua anggota keluarga hadir. Termasuk Serra yang duduk manis di samping Max Pradimus.
Key dan Kay terlihat gugup. Tapi Kirana menggenggam tangan mereka.
“Tidak apa-apa. Kalian hebat, dan Mama bangga.”
Proses tes DNA berlangsung cepat. Hanya pengambilan sampel ludah. Hasil akan keluar tiga hari ke depan.
Setelah acara, Kirana hendak pulang, tapi Serra menyusul ke luar rumah.
“Kamu pikir kamu bisa memenangkan hati Reka hanya dengan dua anak kecil itu?” tanya Serra sinis.
“Aku tidak pernah berniat menang. Aku hanya ingin hidup tenang bersama anak-anakku.”
“Dan kamu pikir Reka akan terus datang padamu? Dia akan kembali padaku sepenuhnya saat Papahmu tahu siapa pemilik rumah sebenarnya!”
Kirana tersenyum tenang. “Aku tidak butuh rumah mewah. Aku hanya butuh Reka dan anak-anak bahagia.”
Serra mendengus dan pergi.
Kirana menatap langit. Malam itu mendung, tapi ia tahu, sebentar lagi hujan akan berhenti. Dan pelangi akan datang.