Oleh: Im Yora
Kirana berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap pantulan dirinya yang tampak lelah. Lingkaran gelap di bawah matanya belum juga hilang meski sudah dua malam ia mencoba tidur lebih awal. Tapi pikirannya tak kunjung tenang.
Ponselnya tergeletak di meja rias, dengan pesan terakhir dari Reka masih terbuka.
‘Aku ingin jadi ayah mereka. Tapi aku juga ingin jadi pelindungmu, Kirana. Meski mungkin aku tak pantas.’
Pesan itu sederhana, namun membekas di dalam hati Kirana. Kalimat yang mampu mengguncang benteng pertahanan yang telah ia bangun selama lima tahun.
Kirana menghela napas berat. Ia tahu bahwa Reka bukan pria yang mudah menyerah. Apalagi dia adalah seorang CEO yang hidupnya hanya kerja dan kerja saja. Kini, ketika ia tahu bahwa Key dan Kay adalah darah dagingnya, mustahil dia akan mundur begitu saja.
***
Beberapa hari setelah kunjungan ke taman kota, Reka Pradimus mulai semakin sering hadir di sekitar sekolah. Awalnya ia datang sebagai sukarelawan yayasan yang membantu kegiatan anak-anak. Tapi lambat laun, perhatiannya lebih sering tertuju pada Kay dan Key.
“Om Reka datang lagi!” seru Key senang suatu pagi melihat kedatangan Reka.
Kirana yang sedang merapikan dasi Kay hanya tersenyum kaku. “Iya, mungkin Om Reka memang suka membantu anak-anak.” ucapnya menyambung perkataan Key.
“Dia baik, Bu. Kay juga suka kalau Om Reka ada,” tambah Key polos.
Kirana tidak tahu bagaimana harus meresponsnya lagi. Di satu sisi, ia senang anak-anak bisa dekat dengan sosok pria dewasa yang memberi kasih sayang. Tapi di sisi lain, ketakutan masa lalu masih membelenggunya.
Saat di sekolah, salah satu rekan guru menghampiri Kirana dengan senyum menggoda.
“Bu Kirana, itu relawan yayasan yang kemarin, ya? Yang tinggi dan ganteng itu? Dia kayaknya perhatian banget sama anak-anak Ibu, lho.” sindir rekan guru Kirana.
Kirana tersentak. “Oh, iya. Dia relawan baru. Kayaknya hanya sementara.” jawab Kirana.
“Padahal cocok, lho, kalau jadi ayah anak-anak itu,” celetuk rekan gurunya sambil tertawa kecil.
Kirana hanya bisa tersenyum hambar.
Kalimat itu kembali terngiang di telinganya sepanjang hari: cocok jadi ayah anak-anak itu.
Tapi apa semudah itu? Apakah Reka memang pantas mendapatkan tempat di hati mereka setelah lima tahun ia pura-pura tidak terjadi apa-apa?
***
Sore harinya, Kirana menerima telepon dari seseorang yang tidak ia sangka, itu adalah Bu Liliana Pradimus, ibu dari Reka.
“Kirana, boleh Ibu ketemu kamu?” suara di seberang terdengar lembut namun tegas.
Kirana terdiam sesaat. Ia tidak menyangka wanita itu masih mengingatnya, apalagi sampai menghubungi langsung.
“Maaf, Bu. Saya sedang agak sibuk akhir-akhir ini,” jawab Kirana hati-hati.
“Ibu tahu kamu pasti terkejut. Tapi Ibu mohon, Kirana. Hanya satu kali saja.”
Kirana akhirnya setuju, dan mereka bertemu di sebuah kafe sederhana di pinggiran kota.
Bu Liliana datang dengan penampilan anggun seperti biasanya. Tapi kerut di wajahnya lebih dalam dari lima tahun lalu.
“Terima kasih sudah mau bertemu, Kirana,” ucapnya lembut.
Kirana hanya mengangguk. Ia masih waspada.
“Aku tahu, aku bukan ibu mertua yang baik saat itu. Aku tidak membelamu ketika semua orang menyalahkanmu. Bahkan aku ikut mengusirmu dari kehidupan Reka,” ucap Bu Liliana, suaranya mulai bergetar menahan isak tangisnya.
“Dan sekarang aku datang bukan untuk menuntut, tapi untuk meminta maaf.” ucap Liliana tulus.
Kirana menunduk. Kata-kata itu menghantam hatinya.
“Reka sudah berubah. Aku tahu itu. Dulu dia egois, hanya pikirkan bisnis dan keluarganya. Tapi sejak tahu tentang Kay dan Key… dia bukan Reka yang dulu.” imbuh Liliana yang memberitahukannya pada Kirana.
Kirana menahan napas.
“Aku mohon, Kirana. Jangan tutup pintu rapat-rapat. Anak-anak butuh sosok ayah, dan aku tahu Reka bisa jadi itu untuk mereka. Kalau kamu belum bisa memaafkannya, tidak apa-apa. Tapi biarkan dia memperbaiki semuanya… dari awal.” pinta Liliana memohon.
***
Malam itu, Kirana duduk di kamar anak-anak sambil menatap mereka yang sudah terlelap. Wajah Kay dan Key tampak tenang, tanpa beban. Tak ada luka di mata mereka seperti yang Kirana simpan dalam hatinya.
Ia membelai rambut mereka pelan.
“Maafkan Ibu, kalau selama ini Ibu terlalu keras menjaga kalian dari dunia. Ibu cuma takut… takut kalau orang-orang yang pernah menyakiti Ibu, juga menyakiti kalian.” ucap Kirana yang tidak ingin kedua anak kembarnya merasakan hal yang sama dengannya.
Ia menunduk, menahan air mata.
Tapi kini, Kirana tak bisa terus sembunyi. Bukan karena dia percaya sepenuhnya pada Reka. Tapi karena dia tak ingin anak-anak kehilangan kesempatan untuk mengenal ayah kandung mereka sendiri.
***
Beberapa hari kemudian, Kirana mengambil langkah berani. Ia mengundang Reka untuk makan malam di rumah. Bukan sebagai tamu biasa. Tapi sebagai ayah dari Key dan Kay.
Reka datang dengan mengenakan kemeja putih sederhana. Wajahnya tampak gugup, namun penuh harap. Hatinya berdegup kencang. Ia tahu kalau ini adalah kesempatan bagus baginya.
Kay dan Key sangat senang. Mereka langsung menarik tangan Reka dan menunjukkan gambar-gambar buatan mereka.
“Ini gambar kita waktu di taman kota!” seru Kay.
“Ini Om Reka yang gendong aku!” tambah Key sambil tertawa.
Kirana menyaksikan semua itu dengan campuran emosi yang rumit. Entah ia harus bahagia atau masih meragukan segalanya yang sudah terjadi saat ini.
Kirana hanya takut kalau suatu saat Reka akan pergi menjauh dan meninggalkan anak-anaknya.
***
Saat makan malam berlangsung, suasana cukup canggung di awal. Tapi perlahan mencair, terutama karena antusiasme Kay dan Key.
Setelah anak-anak tidur, Kirana dan Reka duduk di ruang tamu. Hening cukup lama sebelum akhirnya Kirana membuka suara.
“Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi… aku sadar, aku tidak bisa terus menolak kamu.” ucap Kirana dengan perasaannya yang masih bimbang.
Reka menatap Kirana penuh haru.
“Bukan karena aku sudah memaafkan semuanya. Tapi karena mereka, Kay dan Key, memang berhak mengenal siapa ayah mereka.” timpal Kirana
Reka mengangguk pelan. “Terima kasih, Kirana. Aku tahu ini tidak mudah bagimu.” ucap Reka yang sangat senang dengan keputusan Kirana.
“Tapi satu hal yang harus kamu ingat, Reka. Aku tidak akan biarkan mereka terluka. Jadi kalau kamu datang ke sini hanya untuk sekadar menebus rasa bersalah, lebih baik mundur dari sekarang.” ucap Kirana lagi.
Reka menatap Kirana dalam-dalam.
“Aku datang bukan untuk menebus masa lalu. Aku datang untuk membangun masa depan. Untuk mereka… dan kalau kamu izinkan, juga untukmu.” ucap Reka jujur.
Kirana menunduk. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia tahu hatinya mulai goyah. Dinding yang selama ini ia bangun perlahan mulai retak. Dan ia benci mengakuinya, tapi kehadiran Reka telah mengubah segalanya.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam lima tahun, Kirana merasa… tidak sendiri.