Oleh: Im Yora
Kirana menatap layar ponselnya yang baru saja menampilkan notifikasi pesan dari Reka. Hatinya berdegup kencang, lebih karena kecemasan daripada rindu. Sejak kejadian semalam, Reka menjadi sosok yang jauh berbeda. Tatapannya, perkataannya, bahkan kehangatan yang biasa ia rasakan, semuanya seperti kabur dan menghilang.
Dan hari ini, undangan untuk bertemu langsung datang dari pria itu. Di sebuah restoran mewah di pusat kota.
Kirana datang mengenakan blus putih sederhana dan celana bahan hitam. Rambutnya diikat setengah, memperlihatkan keanggunan yang tidak dibuat-buat. Saat dia masuk ke ruangan VIP restoran tersebut, matanya langsung menangkap sosok Reka yang duduk di sudut ruangan.
Namun, bukan hanya Reka di sana.
Seorang wanita cantik, berpenampilan elegan dengan balutan gaun merah marun dan rambut panjang bergelombang duduk di samping Reka. Matanya tajam, namun senyum yang ia tunjukkan kepada Kirana sangat ramah.
“Hai, Kirana,” sapa Reka dengan suara yang terdengar… aneh. Ada kekakuan.
Kirana duduk, berusaha menyembunyikan gejolak hatinya. “Siapa dia?” tanyanya pelan, langsung pada inti.
Wanita itu yang menjawab, “Aku Serra Yudhistira.” ucapnya dengan senyum mengembang di bibir cantiknya.
Reka menghela napas panjang. “Serra adalah wanita yang dijodohkan papah denganku. Max Pradimus, papahku, sudah menyusun semuanya dengan papah Serra, Rustaf Yudhistira, pemilik saham terbesar di perusahaan MIGAS kami.” ucapnya mencoba menjelaskan pada Kirana.
Kirana membeku. Seperti tertampar keras oleh kenyataan yang datang begitu cepat.
“Aku tidak menyetujui perjodohan ini awalnya,” ucap Reka
Lanjut Reka mencoba menjelaskan lagi, “Karena kupikir, pernikahan harus berdasarkan cinta. Tapi… tekanan dari papahku terlalu besar. Dan… aku goyah.”
Serra menunduk sejenak, lalu menatap Kirana. “Aku tidak datang untuk merebut siapa pun, Kirana. Tapi keluargaku dan keluarganya Reka telah menyusun ini sejak lama. Aku pun tidak bisa menolak sepenuhnya.” ucap Serra yang hanya mementingkan dirinya sendiri.
“Apa maksud kalian?” suara Kirana gemetar menahan isakan tangisnya.
Reka menyodorkan map cokelat ke hadapan Kirana. “Aku ingin tetap bersamamu. Tapi aku tidak bisa menolak keinginan papah. Jadi… aku ingin kamu menjadi istriku juga. Kamu istri kedua. Serra istri pertama.” ucap Reka yang menjelaskan kembali.
“Reka…” ucap Kirana yang perkataannya terpotong.
“Aku tahu ini sulit, sangat sulit. Tapi kamu akan tetap menjadi bagian penting dalam hidupku. Aku juga tidak akan membiarkan kamu dan anak-anak kita hidup dalam kekurangan. Aku siapkan kompensasi 500 juta untukmu, hari ini juga, agar kamu bisa menjalani semua ini tanpa beban.” ucap Reka kembali memotong perkataan Kirana yang memanggilnya.
Mata Kirana memanas. Air matanya hampir jatuh.
“Kamu pikir uang bisa menghapus luka di hati ini?” tanyanya lirih.
Reka menggenggam tangan Kirana. “Aku tidak pernah ingin menyakitimu. Tapi aku juga tidak bisa menolak papahku. Kalau aku menolak, papah bisa mencabut seluruh hakku sebagai pewaris.” ucap Reka yang seperti tidak punya pendirian.
Kirana berdiri. “Dan kamu memilih hak waris daripada hatimu sendiri?”
Reka terdiam. Serra pun hanya menunduk. Suasana dalam ruangan berubah hening mencekam.
***
Di rumah, Kirana duduk di ranjang sambil memeluk Key dan Kay yang sudah tertidur. Wajah anak-anak itu begitu damai, tak tahu apa yang sedang terjadi pada orang tua mereka.
Kepalanya dipenuhi bayangan Reka, Serra, dan map berisi kompensasi itu.
Ia tahu, perasaan tidak bisa dipaksakan. Ia tahu, dunia tempat Reka berasal sangat berbeda dari dirinya. Tapi Kirana juga tidak mau menjadi istri yang hanya ditoleransi.
Namun, demi Key dan Kay… ia harus kuat.
Pagi harinya, Kirana menemui Reka di kediaman pria itu. Ia datang tidak dengan tangisan, tapi dengan keputusan.
“Aku akan terima menjadi istrimu, Reka,” katanya tanpa basa-basi.
Reka menatapnya dengan mata terbuka lebar.
“Tapi bukan karena uang. Aku tidak butuh itu. Aku terima karena aku ingin anak-anakku punya ayah. Aku ingin mereka tetap melihat keluarganya utuh, meski tak sempurna.” ucap Kirana yang menerima keputusan Reka dan sudah memikirkannya matang-matang.
Reka menggenggam tangan Kirana. “Terima kasih…” ucapnya yang juga merasa semuanya tidak adil untuk Kirana.
Kirana menarik tangannya pelan. “Tapi jangan paksa aku untuk berpura-pura bahagia. Aku akan berusaha… tapi aku tidak akan menjanjikan apa-apa.”
***
Hari-hari selanjutnya berjalan seperti di atas tali yang licin. Reka resmi menikahi Serra Yudhistira di sebuah upacara tertutup yang dihadiri para petinggi perusahaan MIGAS. Serra tampak menawan dalam gaun pernikahan khas China modern.
Kirana tidak hadir. Ia memilih tinggal bersama anak-anak di rumah yang disiapkan Reka di pinggiran kota.
Serra resmi menjadi istri pertama Reka.
Sementara Kirana, secara hukum dan agama, menikah sebagai istri kedua. Upacara pernikahannya sederhana, hanya dihadiri beberapa kerabat terdekat, termasuk ibunya yang terus menerus menangis melihat putrinya diperlakukan seperti “cadangan”.
Meski begitu, Kirana tetap bersikap anggun. Ia tidak mau anak-anaknya melihat ibunya sebagai sosok yang lemah.
***
Beberapa minggu kemudian…
Di ruang kerja Reka, Serra masuk sambil membawa desain terbaru untuk proyek fashion kolaboratif antara perusahaannya di China dan perusahaan MIGAS Reka.
“Aku akan tinggal di sini lebih lama,” katanya sambil menyodorkan dokumen.
Reka memijat pelipisnya. “Serra… hubungan kita ini rumit.”
Serra tersenyum pahit. “Kita berdua tahu ini bukan tentang cinta. Tapi tentang tanggung jawab keluarga. Aku pun tidak menuntutmu mencintaiku. Tapi jika suatu hari kamu bisa belajar menyayangiku… aku tidak akan menolak.”
Reka terdiam. Hatinya kembali kacau. Ia tahu dirinya menyayangi Kirana, tapi Serra… Serra punya tempat yang lain. Lebih dalam, lebih terikat oleh nasib dan sejarah keluarganya.
***
Sementara itu di rumah, Kirana sedang mengajari Key dan Kay membaca.
“Bunda, kapan ayah ke sini lagi?” tanya Key polos.
“Sebentar lagi, Sayang. Ayah sibuk kerja.”
Kay menarik lengan Kirana. “Bunda sedih ya?”
Kirana tersenyum, menahan air matanya. “Tidak, Bunda bahagia punya kalian berdua.”
Malam itu, setelah anak-anak tidur, Kirana duduk di teras, menatap langit. Ia tahu hidup ini penuh kejutan. Tapi ia tak pernah membayangkan, laki-laki yang mengisi hatinya… kini harus ia bagi dengan wanita lain.
Namun satu hal yang pasti, Kirana tidak akan menyerah. Demi anak-anaknya. Demi dirinya sendiri.
***
Di kantor MIGAS, Max Pradimus duduk di belakang meja megahnya, menatap Reka yang berdiri kaku di hadapannya.
“Aku harap kamu sudah melakukan tugasmu, Reka. Serra kini istrimu, dan itu artinya perusahaan kita aman
Reka mengepalkan tangannya. “Aku sudah menikahi Serra. Tapi jangan paksa aku memilih hanya dia.”
Max tertawa sinis. “Kamu pikir dunia ini adil? Kita hidup bukan dalam dongeng. Ini dunia nyata. Dan di dunia nyata, warisan dan kekuasaan jauh lebih penting dari cinta.”
Reka berjalan keluar ruangan dengan dada yang sesak. Ia tidak bisa mengubah takdir. Tapi ia bisa memilih… untuk tetap menjaga Kirana dan anak-anaknya, dengan segala konsekuensinya.