Oleh: Im Yora
Kirana berdiri mematung di depan rumah mewah tiga lantai yang kini menjadi tempat tinggal Reka bersama istrinya yang sah, Serra Yudhistira. Hatinya bergetar hebat. Meskipun telah menyetujui pernikahan kedua sebagai istri Reka dan menerima uang kompensasi sebesar 500 juta, tetap saja ia tidak menyangka harus tinggal serumah dengan wanita yang ternyata begitu mencintai Reka. Awalnya dia bilang tidak mencintai Reka. Pernikahan mereka hanya pernikahan bisnis saja. Tetapi ternyata semua itu tidak sama seperti yang dikatakan oleh Serra. Dan yang sejak awal sudah jelas menolak kehadirannya.
“Silakan masuk, Kirana. Kamu akan tinggal di lantai dua, kamarnya sudah aku siapkan,” kata Reka lembut sambil membantunya menurunkan koper.
“Terima kasih, Reka,” sahut Kirana pelan, matanya menyapu setiap sudut rumah yang tampak seperti istana.
Namun, aura dingin langsung menyambutnya ketika dari arah dapur, muncul seorang wanita cantik berambut panjang, anggun dengan balutan gaun satin warna pastel. Serra Yudhistira. Mata mereka bertemu sesaat. Serra tersenyum, namun senyuman itu tak menyentuh matanya.
“Selamat datang Kirana,” ucap Serra datar, lalu melirik Reka.
“Aku sudah menyiapkan makan malam.” ucapnya pada Reka.
Kirana hanya bisa menunduk. Ia tahu, senyum itu palsu. Kata-kata itu bukan sambutan, tapi pernyataan pengingat: Kau hanya istri kedua.
***
Hari-hari pertama di rumah megah itu berjalan seperti berada dalam perang dingin. Reka yang sibuk bekerja hampir setiap hari hanya berada di rumah pada malam hari, dan saat itulah Kirana merasa sedikit tenang. Hanya saat pria itu ada, Serra menjaga sikap.
Namun di luar jam kerja Reka, Serra berubah menjadi sosok yang menusuk dari balik senyum. Meskipun secara verbal tak pernah membentak, Serra punya cara sendiri untuk menunjukkan ketidaksukaannya.
Seperti pagi itu. Kejadian di dapur membuat Kirana diam.
“Maaf, Kirana. Kopi untuk Reka hanya aku yang bisa menyajikan. Dia tidak suka kopi yang terlalu pahit, kamu tidak perlu repot-repot,” kata Serra sambil menyambar cangkir dari tangan Kirana.
Kirana hanya tersenyum lemah. Padahal, ia baru saja mempelajari resep kesukaan Reka dari Mbok Nah, pembantu lama di rumah itu. Namun semua niat baiknya selalu dimentahkan Serra.
Tidak berhenti di situ, Serra juga mulai menyusun strategi untuk menjatuhkan Kirana secara perlahan.
***
Pada suatu sore, Kirana hendak menjemput Key dan Kay yang baru pulang sekolah. Tapi anehnya, kedua anak itu tidak ada di tempat biasa. Sopir keluarga pun bingung karena mendadak ia tidak mendapat perintah menjemput seperti biasa.
Setelah berkeliling dengan panik, Kirana akhirnya menemukan mereka di taman dekat sekolah, dijemput oleh supir lain yang dikirim oleh Serra. Saat ditanya, si supir hanya berkata, “Bu Serra yang menyuruh. Katanya Bunda Kirana sedang sibuk.”
Kirana mencoba menghubungi Reka, tapi pria itu tidak mengangkat teleponnya. Dan ketika malam tiba, saat ia hendak menjelaskan pada Reka, Serra lebih dulu berbicara.
“Maaf, aku hanya ingin membantu. Kupikir Kirana terlalu lelah, jadi aku urus anak-anak hari ini,” ujar Serra dengan suara lembut, seolah menjadi istri yang penuh perhatian.
Sikapnya sangat membuat Kirana muak. Tapi ia tetap menahannya dan bersabar demi kedua anak kembarnya.
Reka hanya menanggapi dengan anggukan dan pelukan singkat pada Serra. Sementara Kirana menahan air mata di sudut ruangan.
***
Reka mulai melihat perubahan pada Kirana. Wajah wanita itu terlihat lebih pucat, senyumnya makin jarang. Ia mulai sadar bahwa tinggal serumah bukanlah pilihan bijak.
“Kirana, kau terlihat tidak bahagia,” ucap Reka suatu malam saat mereka duduk di balkon.
Kirana menatapnya lemah. “Aku hanya… mencoba beradaptasi.” ucapnya berbohong, menutupi perasaannya yang sedang tidak baik-baik saja.
“Aku tahu Serra bukan orang yang mudah menerima. Tapi aku ingin kamu tetap di sini. Demi anak-anak. Dan demi… kita.”
Kirana menarik napas dalam. Ia mencintai Reka, meski perlahan hatinya remuk karena situasi ini.
“Kalau aku pergi, apakah kamu akan mencari aku?” tanya Kirana lirih.
“Aku tidak akan membiarkanmu pergi,” jawab Reka cepat, menggenggam tangan Kirana.
“Aku akan perbaiki semuanya.” ucap Reka.
Sampai saat ini Reka tidak tahu perlakuan Serra pada Kirana yang tidak baik. Tapi janji Reka tidak mudah diwujudkan. Serra semakin manipulatif.
***
Serra mulai menyebarkan fitnah kecil. Kepada pembantu, ia berkata, “Hati-hati kalau berbicara dengan Kirana. Dia sering mengadu ke Reka. Nanti kamu dipecat, lho.”
Ia juga mulai mengatur posisi perabot di kamar Kirana, memasukkan pakaian mahal dan alat make up ke dalam lemari Kirana seolah ingin “berbagi”, padahal tujuannya jelas, ia ingin membuat Kirana merasa sebagai tamu tak diundang.
Suatu malam, Serra bahkan masuk ke kamar Kirana tanpa mengetuk.
“Oh, maaf, aku lupa ini kamar kamu. Kupikir ini kamar tamu,” katanya dengan senyum tipis dengan menyindir keberadaan Kirana.
“Serra, aku mohon, cukup. Aku tidak pernah berniat merebut apapun darimu,” kata Kirana tegas yang sudah muak dengan tingkah laku Kirana.
Serra menatapnya tajam. “Tapi kamu tetap istri kedua, Kirana. Itu tidak akan pernah berubah.”
***
Sampai pada suatu malam, Reka akhirnya melihat Serra yang sebenarnya.
Saat ia pulang lebih awal dari biasanya, Reka mendengar suara keras dari kamar anak-anak. Ia langsung naik dan mendapati Serra memarahi Key karena menumpahkan jus.
“Anak ini memang tidak punya tata krama! Belajar dari ibunya!” bentak Serra.
Reka langsung menarik Serra menjauh. “Cukup, Serra! Jangan pernah marahi anakku seperti itu lagi!”
Serra terdiam, syok karena Reka akhirnya melihat sisi gelapnya.
“Mereka anak-anak. Kalau kamu tidak bisa menerima mereka, bagaimana aku bisa menerima kamu sepenuhnya?” ucap Reka dingin, lalu menatap Kirana yang memeluk Key dan Kay erat-erat.
***
Malam itu menjadi titik balik.
Reka memutuskan untuk bicara serius pada Kirana dan Serra.
“Aku tidak akan memaksa kalian saling mencintai. Tapi aku tidak akan membiarkan rumah ini menjadi ladang kebencian,” kata Reka dengan suara berat.
“Serra, kamu istri pertama. Tapi Kirana ibu dari anak-anakku. Jika kamu tidak bisa berdamai, maka aku yang akan pergi bersama Kirana dan anak-anak.”
Serra menangis. Ia tidak menyangka Reka akan sampai pada titik itu.
“Tapi aku mencintaimu, Reka…”
“Aku tahu. Tapi cinta yang menyakiti tidak bisa disebut cinta.”
***
Keesokan paginya, Serra tidak menyapa siapa pun. Ia hanya menyuruh pelayan membawakan sarapan ke kamarnya.
Kirana yang hendak membantu menyiapkan sarapan, dihentikan oleh Reka.
“Biarkan saja. Hari ini, kita akan keluar. Hanya kamu, aku, Key, dan Kay.”
Kirana tersenyum lirih. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia merasa ada secercah damai di hatinya.
Mungkin rumah itu tidak akan pernah benar-benar nyaman, tapi ia tahu, selama Reka berpihak padanya dan anak-anak mereka, ia bisa tetap bertahan. Demi cinta. Demi keluarga kecil yang sedang diperjuangkan.