Oleh: Im Yora
Pagi itu, matahari menyinari jendela kamar megah di lantai dua rumah Reka Pradimus. Cahaya itu menembus tirai tipis, memantulkan bayangan lembut di lantai marmer putih. Di atas ranjang besar berbalut seprai satin, Kirana perlahan membuka matanya. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar kamar yang begitu asing dan mewah. Hatinya masih terasa berat.
Sejak ia menerima tawaran Reka untuk menjadi istri kedua, hidupnya berubah drastis. Dulu ia hidup sederhana bersama Key dan Kay, kini ia tinggal di rumah megah bersama seorang suami yang membaginya dengan wanita lain, yaitu Serra Yudhistira.
Serra, wanita yang sejak awal bersikap manis di depan Reka, tapi diam-diam seperti duri di daging bagi Kirana. Sudah beberapa kali Kirana merasakan tatapan tajam Serra, ucapan sinis yang disamarkan senyum, dan perlakuan kasar yang dibungkus kepura-puraan.
Pagi itu, Kirana turun ke dapur hendak menyiapkan sarapan untuk Key dan Kay. Namun, begitu sampai di sana, ia melihat Serra sedang berdiri di hadapan para pelayan sambil mengatur berbagai menu dengan suara tinggi.
“Aku sudah bilang, telur orak-arik untuk Tuan Reka, bukan telur mata sapi! Dan kopi hitamnya, tolong yang dari Ethiopia, bukan yang biasa itu!” bentak Serra.
Para pelayan hanya menunduk dan mengangguk, takut akan amarah istri pertama Reka itu.
Ketika Kirana masuk, Serra menoleh dan menyapanya dengan senyum miring. “Oh, Kirana. Maaf, dapur ini bukan tempat bermain. Di rumah ini ada jadwal dan peraturan. Kau tak perlu repot menyiapkan sarapan. Itu urusan kami yang lebih tahu selera Reka.”
Kirana menarik napas dalam, menahan diri agar tak terpancing.
“Aku hanya ingin menyiapkan makanan untuk anak-anakku,” jawab Kirana tenang.
Serra tertawa kecil. “Anak-anak itu juga cucu Max Pradimus. Jadi, biarkan staf kami yang melakukannya. Kau bisa kembali ke kamarmu, istirahat, atau… lakukan hal lain yang tidak merepotkan.”
Perlakuan Serra itu seperti menusuk hati Kirana, tapi ia memilih diam. Ia tahu, mempertahankan harga dirinya lebih penting dari meladeni wanita penuh drama seperti Serra.
***
Di ruang makan, Reka baru saja selesai mengenakan kemeja putih dan dasi navy. Ia turun dengan langkah tegas, auranya tetap dingin namun memikat.
“Kirana sudah bangun?” tanyanya pada salah satu pelayan.
“Sudah, Tuan. Beliau tadi turun ke dapur.”
Reka mengangguk. Ia berjalan ke arah dapur, namun Serra segera menyambutnya dengan dua cangkir kopi di tangannya.
“Sayang, aku sudah buatkan kopi favoritmu,” kata Serra manja.
Reka menerima dengan ekspresi datar. “Terima kasih, Serra.”
“Ngomong-ngomong, Kirana tadi ingin masak di dapur. Aku rasa itu kurang pantas. Aku sudah sampaikan agar dia tak perlu repot,” lanjut Serra sambil tersenyum, meski dalam hatinya ia menunggu reaksi Reka.
Reka menatap Serra dalam. “Dia adalah ibu dari anak-anakku. Dia punya hak untuk melakukan apapun yang membuatnya nyaman, termasuk memasak untuk anaknya sendiri.”
Wajah Serra seketika berubah, tapi ia segera menunduk dan tersenyum lagi. “Tentu. Aku hanya khawatir ia terlalu lelah.”
Reka tak menanggapi. Ia memilih pergi ke kamar anak-anaknya. Di sana, ia menemukan Kirana sedang membantu Key memakai kaus kaki dan Kay sedang memainkan boneka.
“Mau bantu?” tawarnya lembut.
Kirana tersenyum tipis. “Tak perlu. Aku bisa sendiri.”
Reka duduk di samping Key, memeluk anak laki-lakinya itu. “Papa akan mengajak kalian jalan-jalan sore nanti, bagaimana?”
“Yayyy!” sorak Key dan Kay bersamaan.
Senyum merekah di wajah Kirana. Meski rumah ini penuh tekanan, namun anak-anaknya masih bisa tersenyum. Itu cukup menjadi kekuatannya bertahan.
***
Hari-hari berlalu. Serra semakin menjadi. Ia mulai menyusun strategi untuk membuat Kirana keluar dari rumah. Ia menyebar gosip kepada pelayan bahwa Kirana hanya wanita bayaran, bahwa Kirana mengincar harta Reka. Para pelayan mulai menjaga jarak. Kirana merasa semakin terasing.
Suatu malam, Kirana berjalan di koridor menuju dapur karena Kay demam dan ingin minum. Tapi ia mendengar suara Serra dan Max Pradimus sedang berbicara di ruang kerja.
“Papah, Kirana tak pantas di rumah ini. Dia perempuan biasa. Tidak seperti aku, lulusan luar negeri, desainer ternama. Aku bisa mendampingi Reka dalam semua hal,” kata Serra kesal.
“Tapi saham perusahaan kita tergantung pada Reka. Kalau kau membuat keributan, bisa berbahaya,” jawab Max.
“Kalau begitu, buat dia keluar secara perlahan. Tekan dari semua sisi. Dia akan menyerah dengan sendirinya.”
Kirana berhenti di tempatnya. Jantungnya berdegup kencang. Ia tak menyangka Serra dan Max sedemikian tega. Tapi ia tidak ingin lari. Ia akan bertahan.
***
Beberapa hari kemudian, Reka pulang lebih awal dari kantor. Ia langsung mencari Kirana yang sedang duduk di taman bersama Key dan Kay.
“Besok, kita pindah kamar,” kata Reka.
Kirana menatapnya kaget. “Pindah?”
“Aku tidak mau kau terus ditekan di rumah ini. Aku akan siapkan ruangan khusus untukmu dan anak-anak. Jauh dari Serra.”
Kirana menggeleng. “Tidak, Reka. Aku tidak ingin kau memisahkan istrimu hanya karena aku.”
Reka mendekat. “Kau bukan orang lain. Kau istri sahku. Aku mencintaimu, Kirana. Tapi saat ini, aku juga harus menghadapi tekanan dari Papah dan Serra. Aku hanya ingin kau nyaman di rumah ini.”
Kirana menunduk, hatinya sesak. Cinta Reka membuatnya goyah, tapi tekanan di rumah ini perlahan-lahan mengikis semangatnya.
“Aku akan bertahan… demi anak-anak,” katanya lirih.
***
Suatu malam, Kirana menerima kiriman amplop misterius berisi foto-foto. Isinya adalah foto dirinya bersama Reka dan anak-anak, disandingkan dengan foto-foto Serra sedang menangis di depan jendela, dengan tulisan “Perusak rumah tangga”.
Kirana menggenggam amplop itu erat. Ia tahu siapa pelakunya—Serra. Tapi ia memilih menyimpan semuanya sendiri. Ia tidak ingin anak-anaknya melihat ibunya bersedih lagi.
Namun, malam itu juga, Reka menemukan amplop itu di meja.
“Siapa yang kirim ini?” tanyanya tajam.
Kirana berusaha merebutnya, tapi Reka sudah melihat isinya.
“Serra…” gumam Reka. Matanya membara.
“Aku bisa atasi, Reka,” kata Kirana pelan. “Aku tidak ingin rumah ini makin kacau.”
Reka memegang bahunya. “Kirana, kau bukan wanita lemah. Aku tidak akan biarkan siapapun menyakitimu. Termasuk Serra.”
***
Keesokan harinya, terjadi pertengkaran besar di ruang tengah.
“Jangan salahkan aku kalau dia merasa tersingkir!” seru Serra pada Reka. “Aku istrimu yang sah dan pertama!”
“Dan Kirana juga istri sahku! Jangan pikir karena kita dijodohkan oleh Papah, aku akan terus menuruti permainanmu!” bentak Reka.
Serra menangis, tapi kali ini Reka tak lagi luluh.
Kirana hanya berdiri di tangga, memeluk Key dan Kay yang ketakutan mendengar suara pertengkaran.
Hatinya pilu. Tapi dari hari ke hari, ia menyadari, bahwa ia harus kuat. Karena cinta tak selamanya tentang bahagia. Kadang, cinta juga harus diuji oleh luka, pengorbanan, dan keberanian untuk bertahan.