Oleh: Im Yora
Pagi itu Kirana bangun dengan semangat berbeda. Sejak dirinya kembali mengajar sebagai guru paruh waktu di sekolah Key dan Kay, ia merasa hidupnya kembali menemukan arah. Ia tak lagi merasa sekadar menjadi ‘pengisi kekosongan’ dalam rumah tangga Reka dan Serra. Ia mulai berdiri dengan kakinya sendiri, meski di rumah masih harus menghadapi Serra yang dingin dan penuh intrik.
“Key, Kay! Cepat sarapan ya, nanti Mama antar ke sekolah sekalian Mama ngajar,” serunya dari dapur.
“Mama hari ini ngajarnya pelajaran apa?” tanya Key sambil menyantap roti bakar, sarapan yang sudah dihidangkan Kirana.
“Bahasa Indonesia. Kita akan belajar membuat puisi,” jawab Kirana sambil tersenyum hangat.
Di ruang makan, Serra duduk sambil memainkan sendok peraknya. Tatapannya tajam mengarah pada Kirana yang sedang merapikan bekal anak-anak. “Apa kamu merasa lebih tinggi karena kembali bekerja?” tanya Serra datar.
Kirana menoleh pelan. “Aku hanya ingin mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat.”
“Waktu luang? Oh, kamu pikir dengan mengajar di sekolah anak-anak, kamu bisa menguasai semua orang di sana, ya?” cicit Serra dengan suaranya yang tajam.
“Bukan itu tujuanku,” jawab Kirana lembut, berusaha tidak terpancing emosi.
Serra menyeringai tipis. “Bagus. Karena selama aku masih di rumah ini, aku tidak akan membiarkanmu mencuri tempatku.” sarkas Serra.
***
Hari itu di sekolah, Kirana menjalani aktivitasnya dengan semangat. Ia disambut hangat oleh para guru lain dan murid-murid yang menyukai cara mengajarnya. Dalam hati, Kirana merasa bangga. Walau hidupnya penuh luka, setidaknya ia punya tempat untuk tetap berkarya.
Namun, suasana bahagia itu tak bertahan lama. Saat istirahat, salah satu guru menghampirinya dengan ekspresi cemas. Dan langkahnya sangat terburu-buru.
“Bu Kirana, Anda harus lihat ini,” ujar guru itu sambil menunjukkan layar ponselnya.
Di sana terpampang sebuah artikel gosip dengan judul besar:
“Guru Honorer Ini Diduga Istri Kedua CEO Terkemuka, Numpang Hidup di Rumah Istri Sah?”
Kirana terkejut. Isi artikel itu menyebut dirinya sebagai wanita simpanan, menyindir statusnya yang hanya istri kedua, dan membeberkan detail kehidupan rumah tangganya yang tak sepenuhnya benar.
“Aku… aku tidak pernah bicara pada wartawan,” ucap Kirana lemas dan menggelengkan kepalanya, menolak berita tersebut.
“Sepertinya seseorang yang membocorkan ini, Bu,” ucap rekan gurunya yang tahu bagaimana sikap dan sifat Kirana sebenarnya.
Kirana langsung tahu siapa dalangnya. Yaitu, Serra.
***
Sore harinya, Kirana pulang ke rumah lebih awal. Ia ingin menyelesaikan ini dengan Serra secara langsung. Namun sesampainya di rumah, ia justru disambut oleh Max Pradimus, ayah Reka, yang duduk bersama Serra di ruang tamu.
“Kirana,” panggil Max dingin,
“duduklah.” perintah Max dengan suaranya yang tenang tapi tajam.
Kirana menatap Serra yang tersenyum puas, lalu menuruti permintaan itu.
“Jadi kamu sekarang sibuk jadi guru dan masuk berita murahan?” sindir Max.
“Apa kamu tidak sadar bahwa kamu membawa nama keluarga Pradimus?” tanya Max lagi.
“Saya tidak pernah memberikan informasi apapun ke media. Seseorang memanfaatkan situasi,” jawab Kirana tenang dan jujur.
Serra menyelutuk, “Mungkin saja kamu sengaja menyebar itu untuk cari simpati. Supaya dikasihani.”
“Cukup!” ucap Reka tiba-tiba yang baru saja masuk. Suaranya menggema dan membuat semua orang terdiam.
Reka berjalan ke arah Kirana, lalu berdiri di sampingnya. “Papa, Kirana tidak seperti yang Papa kira. Dan Serra, aku sudah tahu kamu yang menghubungi media itu.”
Serra menegang. “Aku… aku hanya ingin kebenaran muncul.” ucapnya yang tidak ingin disalahkan oleh Max Pradimus.
“Bukan kebenaran, tapi kehinaan yang kamu ciptakan untuk menjatuhkan wanita yang tak pernah berniat menyakitimu,” ujar Reka tajam.
Max menggeleng pelan. “Reka, kamu memang keras kepala sejak dulu.” pekik Max.
“Aku hanya ingin bahagia dengan pilihanku. Kirana bukan hanya ibu dari anak-anakku. Tapi juga wanita yang kuat. Aku tidak akan biarkan dia disakiti lagi.” ucap Reka yang membela Kirana di depan ayah dan istri pertamanya.
***
Setelah insiden itu, Reka membawa Kirana dan anak-anak keluar rumah untuk sementara waktu. Mereka tinggal di villa keluarga Pradimus di kawasan pegunungan selama beberapa hari. Reka ingin memberi ruang bagi Kirana agar tenang dan merasa aman.
Di villa, suasana terasa jauh lebih damai. Udara sejuk, suara burung bersahutan, dan jauh dari segala drama.
“Mama, di sini enak ya?” tanya Kay sambil memeluk ibunya.
“Iya, sayang. Di sini kita bisa istirahat,” jawab Kirana sambil mencium kening putrinya.
Reka duduk di beranda, memandangi mereka. Lalu memanggil Kirana untuk duduk di sebelahnya.
“Aku minta maaf karena membiarkan Serra terlalu jauh. Aku seharusnya lebih cepat bersikap.” ucap Reka yang tengah menyesali semua perbuatan Serra.
Kirana menghela napas. “Mungkin ini jalan kita. Aku tidak akan lari, Reka. Tapi aku juga ingin kau tahu, aku bukan perempuan yang akan terus diam jika anak-anakku atau aku disakiti.”
Reka mengangguk. “Aku akan melindungi kalian. Dan aku berencana membuat keputusan besar saat kita kembali ke rumah.”
***
Beberapa hari kemudian, mereka kembali ke rumah. Serra terkejut melihat mereka masuk bersama.
“Kamu kembali? Kukira kamu akan memilih tinggal di villa itu dan menyerah,” sindir Serra sinis.
Kirana menatap wanita itu dengan mata tenang. “Aku tidak menyerah. Aku hanya memberi ruang pada diriku sendiri untuk berpikir lebih jernih.”
Reka melangkah maju. “Dan sekarang saatnya aku membuat keputusan.” ucapnya dingin.
Serra menatapnya. “Apa maksudmu?”
Reka menatap keduanya. “Aku akan membagi rumah ini menjadi dua bagian. Kamu dan aku di satu sisi, Kirana dan anak-anak di sisi lain. Kita hidup berdampingan, tapi dengan batas yang jelas. Tak ada lagi penghinaan, tak ada lagi campur tangan.”
Serra terdiam. Ia tak bisa menolak, karena secara hukum Reka tetap suaminya. Tapi ia tahu, dari sisi hati, ia sudah kalah.
***
Waktu berlalu. Meski tidak mudah, Kirana menjalani hidupnya dengan cara yang kuat. Ia tetap mengajar, membimbing anak-anak, dan perlahan mulai mendapat tempat tersendiri di lingkungan sekolah maupun rumah tangganya.
Suatu sore, ia menerima kabar bahwa dirinya terpilih sebagai salah satu guru inspiratif oleh komunitas pendidikan ibu dan anak. Ia diminta menjadi narasumber di sebuah talkshow televisi.
Ia bercerita tentang perjuangannya sebagai ibu, sebagai wanita, dan sebagai istri kedua yang tidak menyerah pada keadaan. Dan tanpa ia sadari, video itu viral. Banyak orang mengaguminya, memberi semangat, dan menganggapnya inspirasi.
***
Malam itu, Reka masuk ke kamar Kirana sambil membawa laptop.
“Aku lihat video kamu. Kamu luar biasa,” ucapnya.
Kirana tersenyum lemah. “Aku hanya ingin anak-anakku bangga punya ibu seperti aku.”
Reka menggenggam tangannya. “Dan aku juga bangga pernah memilihmu.”
Kirana menatap matanya. “Tapi kita tak akan pernah benar-benar bisa menjadi keluarga yang utuh, Reka. Selama masih ada Serra…”
Reka menunduk. “Aku sedang mengurus semuanya. Percayalah, semua akan berubah. Aku hanya butuh waktu.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya Kirana merasa, mungkin… harapan itu belum sepenuhnya mati.