Oleh: Im Yora
Pagi itu, Kirana merasa ada yang berbeda. Biasanya, ia sudah terbiasa dengan rutinitas harian yang monoton, tetapi entah mengapa hari ini perasaannya agak gelisah. Anak-anak sudah berangkat ke sekolah, dan rumah itu terasa kosong meskipun suara detik jam yang bergema di ruang tamu terdengar jelas.
Kirana duduk di ruang tamu sambil menatap jendela yang terbuka sedikit, membiarkan udara segar masuk. Sesekali ia mengusap perutnya yang mulai terasa sedikit berat, tanda-tanda perubahan yang ia tak tahu akan datang atau tidak. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ada sebuah firasat buruk yang datang kepadanya.
Kemudian, telepon di meja kerjanya berdering, memecah keheningan. Kirana langsung meraihnya. Di layar telepon tertulis nama Reka.
Dengan sedikit canggung, ia mengangkat telepon itu. “Halo?”
Suara Reka terdengar sedikit tegang. “Ki, bisa kita bicara? Aku di rumah sekarang.” pinta Reka.
Kirana menelan ludah. Ada sesuatu dalam suara Reka yang membuat hatinya berdetak lebih cepat. “Tentu, aku akan turun.” ucapnya cepat.
Setelah menutup telepon, Kirana menyiapkan dirinya sejenak. Ia tahu bahwa percakapan kali ini tidak akan mudah. Selama ini, ia telah menyimpan segala rasa sakit dan kecewa, tetapi sepertinya sekarang waktunya untuk menghadapinya. Waktunya untuk mendengar keputusan yang mungkin akan mengubah segalanya.
Saat ia melangkah ke ruang makan, Reka sudah duduk di sana, tampak serius. Dia sedang menatap cangkir kopi yang masih mengepul, seperti mencari keberanian dalam tegukan terakhirnya.
“Kirana,” suara Reka terdengar rendah, penuh ketegangan.
“Aku ingin kita berbicara tentang hubungan kita. Tentang keluarga kita.” ucap Reka.
Kirana duduk di hadapannya, menarik napas dalam-dalam. Matanya tak lepas dari wajah Reka yang tampak tertekan. Ia tahu betul bahwa inilah saatnya. Saat di mana ia bisa memilih untuk tetap bertahan atau mengambil langkah yang lebih berani.
“Reka,” kata Kirana pelan.
“Aku sudah cukup lama menunggu jawaban dari kamu. Aku tidak ingin terus hidup dalam kebingunganku. Aku tahu posisi kita sulit, tapi aku hanya ingin yang terbaik untuk anak-anak.” ucapnya lagi.
Reka menatapnya dengan serius, matanya mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya ada dalam hati Kirana. Dia tahu betul bahwa ini bukan percakapan biasa. Kirana selalu memberi ruang untuk hal-hal besar, dan Reka merasa sudah waktunya untuk membuka hatinya sepenuhnya.
“Ki, aku sudah memikirkan semuanya. Kamu tahu aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini menjadi rumit. Aku menikahimu karena aku mencintaimu, dan itu tidak pernah berubah. Tapi ada banyak hal yang harus aku pertimbangkan, banyak keputusan yang harus diambil.” ucap Reka.
Kirana menunduk. “Dan sekarang?” tanya Kirana yang berharap keputusan Reka tepat untuknya.
“Aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat mencintaimu, Ki. Tapi aku juga punya tanggung jawab yang besar. Tidak hanya terhadap keluarga kita, tapi juga terhadap perusahaan. Perusahaan yang ayahku kelola. Aku tidak bisa mengabaikan tanggung jawab itu.” ucapnya lagi.
Kirana merasa tenggorokannya tercekat. Ia tahu ini akan datang. Meskipun cinta Reka nyata, ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa ada banyak kepentingan yang jauh lebih besar di luar cinta mereka.
“Apa maksud kamu, Reka?” tanya Kirana dengan suara bergetar.
Reka menggenggam tangannya. “Ki, aku diberi pilihan. Pilihan yang sulit. Aku harus memilih antara tetap mempertahankan keseimbangan di keluarga ini atau… aku memilih untuk mengejar kebahagiaanku bersama kamu dan anak-anak.” ucap Reka masih bimbang.
Kirana merasa dunia seakan terhenti sejenak. Pilihan itu, bagi Reka, bukan hanya tentang dirinya, tetapi tentang masa depan keluarga besar mereka. Tentang ayahnya, Max Pradimus, yang telah menjodohkan Reka dengan Serra untuk alasan yang sangat kompleks.
“Apa yang kamu maksud dengan ‘mempertahankan keseimbangan’?” tanya Kirana, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Reka.
Reka memejamkan mata sebentar, seakan mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan perasaannya. “Ayahku menekan aku untuk menikahi Serra. Jika aku menolaknya, ada konsekuensi besar yang akan kami hadapi, terutama di perusahaan. Tapi aku tahu… aku tahu ini salah. Aku tidak ingin hidup terjebak antara dua wanita yang aku cintai.”
Kirana merasa hatinya terluka. Reka memang mencintainya, tetapi kecintaan itu sepertinya tak cukup untuk menolak apa yang diinginkan oleh keluarganya. Kirana mulai merasakan betapa beratnya beban yang ditanggung oleh suaminya, tetapi itu bukan berarti ia bisa mengabaikan apa yang ia butuhkan.
“Jadi, apa yang kamu ingin aku lakukan, Reka? Apakah kamu ingin aku tinggal di sini sebagai istri kedua dan hanya menunggu kepastian yang tak pernah ada?” kata Kirana, nada suaranya mulai terdengar pasrah.
Reka menatapnya dengan penuh penyesalan. “Aku tidak ingin itu, Ki. Tapi apa lagi yang bisa aku lakukan? Serra sudah ada di sini, dan aku… aku tidak bisa begitu saja mengabaikannya. Tapi kamu juga bagian dari hidupku, bagian yang sangat besar. Aku tidak tahu harus memilih yang mana.”
Kirana berdiri dari kursinya, meraih tas tangan yang diletakkan di dekat meja. “Reka, aku bukan siapa-siapa di matamu selain seorang wanita yang harus berdiri dalam bayang-bayang perempuan lain. Mungkin ini saatnya aku mencari jalanku sendiri.”
Kirana memutuskan dengan keputusannya sendiri. Ia tidak bisa terus menunggu jawaban yang tak pasti dari Reka Pradimus yang tidak
“Jangan, Ki, aku mohon…” Reka berusaha mencegahnya, tapi Kirana sudah terlalu terluka untuk mendengarkan kata-katanya.
Dengan langkah berat, Kirana melangkah menuju pintu keluar. “Aku tidak tahu harus apa lagi, Reka. Aku hanya tahu satu hal, aku dan anak-anak butuh kejelasan. Kita tidak bisa hidup di ambang ketidakpastian seperti ini.”
Reka merasa hatinya hancur melihat Kirana pergi begitu saja. Dia ingin berlari mengejarnya, tapi dia tahu, dia sedang berada di persimpangan yang sangat sulit. Pilihan itu ada di tangannya. Pilihan yang akan menentukan bagaimana kelanjutan hidup mereka ke depan.
***
Pagi keesokan harinya, Kirana keluar dari rumah, meninggalkan segala hal yang menahannya. Ia memilih untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan passion-nya, mengajar. Sekaligus, ia ingin memberi contoh kepada anak-anaknya, bahwa hidup harus dipenuhi dengan keputusan yang penuh dengan keyakinan, bukan hanya tentang bertahan di tengah ketidakpastian.
Di luar, sinar matahari mulai muncul, menghangatkan bumi yang semalam tampak dingin. Tapi hati Kirana masih dipenuhi oleh kabut kebingungannya. Meskipun ia tahu ia harus menghadapinya, ia juga harus bersiap dengan segala kemungkinan.
Di rumah, Reka kembali duduk di ruang tamu, kali ini sendirian. Ia terdiam, seolah menunggu keputusan dari dirinya sendiri. Hatinya tersiksa, berada dalam dua pilihan yang sulit.
Namun, apa pun yang terjadi, Reka tahu bahwa ia harus memilih. Dan keputusan itu harus segera diambil.